Mohon tunggu...
AKIHensa
AKIHensa Mohon Tunggu... Penulis - PENSIUNAN sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

KAKEK yang hobi menulis hanya sekedar mengisi hari-hari pensiun bersama cucu sambil melawan pikun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Luka Di Taman Seberang Gereja Katedral

11 November 2018   19:12 Diperbarui: 19 Juni 2020   21:39 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Katedral Bandung (Foto Wikimedia,Org)

Minggu pagi denyut nadi Kota Bandung masih terasa menggigil kedinginan namun aku sudah berada di depan Gereja Katedral di jalan Merdeka yang dibangun tahun 1895 itu. 

Erika selalu mengikuti Misa setiap Minggu pagi yang berakhir sekitar pukul 8.00 WIB. Aku seperti biasa menunggunya di seberang jalan Merdeka dekat Taman Balai Kota. 

Pagi itu Erika berlari kecil menghampiriku dan duduk disampingku.

"Sudah selesai misa pagi ini Rika?" sapaku. 

Erika hanya mengangguk sambil tersenyum. Pertemuan dengan Erika hanya bisa dilakukan di sini di Taman seberang Gereja Katedral. 

Sejak hubunganku tidak direstui keluarga Erika, sangat jarang aku bisa bertemu dan melepaskan rindu seperti pada setiap Minggu pagi ini.

Di Sekolah, kami memang sekelas tetapi tidak begitu leluasa mengobrol sebebas saat di Minggu pagi ini. 

Erika selalu diantar dan dijemput sopir pribadi  keluarganya. Saat jam istirahatpun sangat minim waktu untuk mengobrol.

"Hen kita mau menjalani hubungan seperti ini sampai kapan?"  Kata Erika. 

Mata indahnya tajam memandangku seolah memberi arti sangat dalam tentang cintanya. Jujur aku benar-benar tidak bisa menjawab pertanyaannya.

"Rika, sebenarnya aku lebih menyukai kalau kita harus berani menghadapi kenyataan. Kamu tidak boleh menolak apa yang sudah dipilih Ayah dan Ibumu."

Aku melihat Erika tertunduk. Wajahnya terlihat pasrah. Bibirnya yang mungil itu membisu sementara tetesan air mata mulai membasahi pipinya. 

Erika terisak dan aku hanya mampu mamandang wajah teduhnya. Mungkin dia menganggap aku pria pengecut karena tidak berani mengambil solusi misalnya membawanya lari.

Tetapi aku harus realistis walaupun aku tidak bisa membayangkan saat dirinya harus bersanding dengan suami pilihan orang tuanya. 

Mungkin menurutku inilah keberanianku melawan kenyataan cinta yang ada diantara aku dan Erika.

Sejak lulus dari SMA 3 itu aku sudah tidak lagi bertemu dengan Erika. Aku juga sudah mulai berani melupakannya. 

Tidak mudah memang namun paling tidak semua kenangan di Taman seberang Gereja Katedral itu sedikti demi sedikit mulai menepi dari bingkai kenanganku. Taman itu meninggalkan luka di hati. Luka itu memang ada namun aku mebiarkannya tetap di sana.

Empat puluh lima tahun kemudian tidak pernah aku menyangka Minggu pagi ini aku kembali berada di bangku Taman seberang Gereja Katedral ini. 

Ini adalah jamnya Erika keluar dari Gereja Katedral di seberang jalan itu. Aku memandang ke arah halaman parkir Gereja. 

Banyak Jemaah mulai memasuki kendaraan mereka masing-masing dan pulang meninggalkan pelataran parkir.

Aku masih menatap ke sana dan membayangkan Erika ada di sana berlari menuju ke arahku sambil terenyum manis di pagi Minggu ceria ini. 

Tak berkedip mataku memandang ke arah Gereja itu. Benar tak berkedip mataku memandang sosok yang sangat aku kenal. 

Benar di sana Erika berjalan memandangku. Aku terpana karena menduga ini hanya fatamorgana.

"Erika!" Aku memanggil namanya. 

Wanita yang sangat aku cintai ini hanya melambaikan tangannya sambil berlari kecil menghampiriku.

"Hen, setiap aku selesai Misa tidak pernah aku lewatkan untuk memandang ke arah Taman sambil berharap kamu ada di sana, " kata Erika sambil tersenyum.

Senyum damai yang membawa tentram hati seperti 45 tahun lalu. Wajah Erika tetap cantik tidak berubah sama sekali. Hanya ada sedikit kerutan usia tua namun tidak mengurangi keteduhan dan kecantikannya.

Kami saling berpandangan tanpa sebuah katapun keluar dari bibir ini. Aku hanya mampu memandang tajam mata indah Erika dengan sepenuh cinta. Hanya sepi yang ada. Ketika sebuah kata itu akhirnya memecah kesunyian.

"Hen, aku masih sendiri," suara Erika tersekat dikerongkongan. Serangkai kalimatnya sangat mebahagiakanku. Akupun tersenyum mendengarnya.

"Rika, aku juga masih sendiri." Tegas sekali kalimat itu aku ucapkan.

Aku memang menunggunya selama 45 tahun dan yang tidak pernah aku sangka Erikapun menungguku selama 45 tahun. 

Walaupun kami saling setia dalam penantian, tetapi kami tidak mungkin bisa menyatukan cinta kami.

Karena kami berbeda keyakinan. 

Biarlah luka ini kembali menganga di Taman seberang Gereja Katedral ini. Di sana kami hanya mampu saling pandang membunuh kerinduan selama 45 tahun.

#hensa #kompasiana

Cerpen ini khusus untuk event Fiksi Luka Itu Apa

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun