Aku melihat Erika tertunduk. Wajahnya terlihat pasrah. Bibirnya yang mungil itu membisu sementara tetesan air mata mulai membasahi pipinya.Â
Erika terisak dan aku hanya mampu mamandang wajah teduhnya. Mungkin dia menganggap aku pria pengecut karena tidak berani mengambil solusi misalnya membawanya lari.
Tetapi aku harus realistis walaupun aku tidak bisa membayangkan saat dirinya harus bersanding dengan suami pilihan orang tuanya.Â
Mungkin menurutku inilah keberanianku melawan kenyataan cinta yang ada diantara aku dan Erika.
Sejak lulus dari SMA 3 itu aku sudah tidak lagi bertemu dengan Erika. Aku juga sudah mulai berani melupakannya.Â
Tidak mudah memang namun paling tidak semua kenangan di Taman seberang Gereja Katedral itu sedikti demi sedikit mulai menepi dari bingkai kenanganku. Taman itu meninggalkan luka di hati. Luka itu memang ada namun aku mebiarkannya tetap di sana.
Empat puluh lima tahun kemudian tidak pernah aku menyangka Minggu pagi ini aku kembali berada di bangku Taman seberang Gereja Katedral ini.Â
Ini adalah jamnya Erika keluar dari Gereja Katedral di seberang jalan itu. Aku memandang ke arah halaman parkir Gereja.Â
Banyak Jemaah mulai memasuki kendaraan mereka masing-masing dan pulang meninggalkan pelataran parkir.
Aku masih menatap ke sana dan membayangkan Erika ada di sana berlari menuju ke arahku sambil terenyum manis di pagi Minggu ceria ini.Â
Tak berkedip mataku memandang ke arah Gereja itu. Benar tak berkedip mataku memandang sosok yang sangat aku kenal.Â