Entah sudah berapa ratus jurus yang dilahapnya. Sang Guru yang kelihatannya sudah sepuh dengan rambut putih dan jenggot putih pula hanya manggut-manggut kagum pada kemajuan muridnya.
Hari itu adalah hari terakhir pemuda itu berguru di Padepokan Bayusuci. Esok harinya pemuda itu harus kembali pulang ke desanya.
Perpisahan dengan Sang Guru seyogyanya sangat mengharukan namun Sang Guru tidak mau muridnya hanyut dalam rasa haru yang berlebihan.
“Sudahlah Nak jangan menangis. Aki mendoakan agar kamu mampu mengembara dan membela kebenaran” kata Sang Guru menyebut dirinya Aki yang artinya kakek.
Sebenarnya nama Sang Guru itu adalah Kyai Furqon, seorang pemuka agama di daerah Anyer Kidul.
Beliau adalah mantan prajurit perang Dipenogoro dan murid Kiyai Mlangi salah seorang ulama yang mendukung perjuangan Diponegoro melawan Kolonial Belanda di Boyolali.
Saat itu para demang, bekel, kiai terkenal seperti Kiai Mojo, Kiai Mlangi, Kiai Kwaron,Kiai Taptoyani, serta para ulama sahabatnya dari berbagai daerah menyokong gerakan perang yang dilakukan Pangeran Diponegoro melawan kesewenangan Kolonial Belanda.
“Iya Ki!” suara pemuda itu parau tersendat di kerongkongan menahan kesedihan harus berpisah dengan Sang Guru setelah lima tahun terakhir ini bersamanya.
Namun perpisahan ini tidak bisa dielakan dan pemuda itu harus melangkah meninggalkan Padepokan Bayusuci dengan berat hati.
Nama lengkap pemuda itu adalah Bayu Gandana. Rambutnya yang panjang dengan ikat kepala berwarna hitam nampak lusuh.
Demikian pula pakaian yang dikenakannya menunjukkan bahwa pemuda ini baru saja melakukan perjalanan jauh.