Generasi tua memanglah suci dan benar. Kalau kami mengkritik, nanti malah dibilang durhaka dan diancam neraka. Katanya, Tuhan bakal memberi kebaikkan, kalau generasi muda hormat kepada orang tua. Memangnya, kebaikkan macam apa yang akan datang kalau seseorang hanya hormat kepada orang tua, tanpa berusaha dan berkarya?
Mengapa generasi muda sekarang banyak yang mengadopsi budaya-budaya luar dalam dirinya? Sederhana jawabannya, karena tidak ada karya bernuansa lokal yang berkualitas, sehingga generasi muda terpaksa mencari yang berkualitas dari luar negeri. Karena suka dengan karya-karya luar negeri itu, tanpa sadar, mereka pun menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung ke dalam dirinya.
Di dalam karya pasti ada nilai budaya karena yang membuatnya adalah manusia yang tidak pernah lepas dari budaya. Anime Jepang, tentu mengandung nilai-nilai kesopanan dan penuh kerja keras dari orang Jepang. Lihatlah Naruto yang selama 20 tahun terus berjuang untuk menjadi Hokage. Demikian juga karya-karya dari luar negeri lainnya.
Sampai saat ini, belum ada karya berkualitas yang menyampaikan nilai-nilai lokal. Inilah penyebab utama dari lemahnya Budaya Indonesia yang berujung pada maraknya kebarat-baratan, kekorea-koreaan, kejepang-kejepangan, dan kearab-araban.
Padahal, kita semua tahu bahwa karya seni merupakan media untuk menyampaikan budaya. Negara lain telah mengemas budayanya menjadi karya seni yang berhasil memberi sentuhan kuat kepada emosi penontonnya. Sedangkan Indonesia? Masih Jauh!
Budaya dianggap sebagai kesakralan dogmatis yang harus dilestarikan. Lantas, adakah cara lain yang lebih efektif untuk melestarikannya daripada menyajikannya dalam bentuk karya yang menyentuh dan menghibur hati manusia?
Cukup sekian. Saya takut terbawa emosi dan dijerat UU ITE apabila meneruskan artikel ini, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H