Istilah kebarat-baratan tengah populer terdengar di masyarakat. Liberal, tidak-Indonesia, bahkan tidak taat agama kerap berasosiasi dengan istilah kebarat-baratan. Banyak yang menganggap bahwa kebarat-baratan bukanlah Indonesia dan Indonesia dengan sejalan dengan nilai-nilai Barat.
Namun, kebarat-baratan telah berasosiasi di kalangan anak muda. Bahkan, ada sebagian generasi tua yang beranggapan bahwa generasi muda sudah rusak karena tercampur dengan paham-paham Barat.
Memanglah harus diakui bahwa generasi muda Indonesia telah terpapar berbagai budaya luar. Tidak hanya kebarat-baratan, kekorea-korean, kejepang-jepangan, dan kearab-araban pun sudah banyak diadopsi oleh masyrakat Indonesia, bahkan hingga kepada sebagian generasi tua.
Akibatnya, generasi tua --yang merasa "Indonesia banget" itu-- pun sering marah. Katanya, budaya Indonesia sedang hancur. Katanya, Indonesia masih "dijajah" dengan dirusak mental anak mudanya. Katanya, generasi muda kelak akan menghancurkan Indonesia. Padahal sebenarnya, siapakah yang menghancurkan Indonesia, atau setidaknya budaya Indonesia itu sendiri?
Budaya Barat telah menghibur generasi muda dengan karya-karyanya. Sampai-sampai, generasi muda rela mengeluarkan Rp50.000 untuk menikmati film Barat di bioskop. Padahal di rumahnya, ada tontonan gratis, yang terdiri dari ratusan episode itu, yang kata generasi tua, itulah yang disebut "Indonesia banget".
Kata mereka, sinetron mengajarkan nilai-nilai luhur dan sopan santun, sehingga itulah yang perlu diadopsi oleh generasi muda sekarang. Lantas, mengapa Rp50.000 tidak berat untuk dikeluarkan hanya untuk menyaksikan tayangan selama dua jam?Â
Lebih jauh, boyband dan girlband Korea yang bernyanyi dan menari dengan energik pun telah banyak digemari oleh generasi muda Indonesia. Katanya, fans korea ini tidaklah nasionalis. Karena terlalu fanatiknya, mereka sampai rela menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Korea secara mandiri (misalnya, dari internet, ikut les di tempat-tempat tertentu, dll). Padahal, "Bahasa Korea" tidak ada pada mata pelajarannya di sekolah.
Padahal, kita semua tahu bahwa huruf-huruf bahasa Korea itu bentuknya sangat aneh dan sulit dihapalkan bagi orang Indonesia. Generasi tua pun menjadi geram dengan ujaran "Mengapa tidak belajar aksara Jawa saja?"Â
Anime, film animasi dari Jepang pun telah banyak digemari oleh generasi muda. Sampai-sampai, semua generasi muda pasti tahu bahwa kage bunshin no jutsu adalah jurus seribu bayangan yang menjadi andalan Naruto untuk mengecoh lawan ketika bertarung dengan musuh-musuh Desa Konoha.
Kata generasi tua, kartun seperti ini tidak mendidik karena mengandung kekerasan dan tidak masuk akal. Kata generasi tua yang berada di Komisi Penyiaran Indonesia, sinetron azab jauh lebih mendidik karena mengandung nilai-nilai luhur dan kebaikan, sehingga bermanfaat untuk perkembangan moral bangsa (lihat: Q&A: ANTARA KPI DAN SPONGEBOB (2/6)).
Lantas, mengapa banyak generasi muda yang berteriak "kembalikan tayangan hari Minggu pagi di Indosiar seperti dahulu kala!" di media sosial?Â
Generasi tua memanglah suci dan benar. Kalau kami mengkritik, nanti malah dibilang durhaka dan diancam neraka. Katanya, Tuhan bakal memberi kebaikkan, kalau generasi muda hormat kepada orang tua. Memangnya, kebaikkan macam apa yang akan datang kalau seseorang hanya hormat kepada orang tua, tanpa berusaha dan berkarya?
Mengapa generasi muda sekarang banyak yang mengadopsi budaya-budaya luar dalam dirinya? Sederhana jawabannya, karena tidak ada karya bernuansa lokal yang berkualitas, sehingga generasi muda terpaksa mencari yang berkualitas dari luar negeri. Karena suka dengan karya-karya luar negeri itu, tanpa sadar, mereka pun menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung ke dalam dirinya.
Di dalam karya pasti ada nilai budaya karena yang membuatnya adalah manusia yang tidak pernah lepas dari budaya. Anime Jepang, tentu mengandung nilai-nilai kesopanan dan penuh kerja keras dari orang Jepang. Lihatlah Naruto yang selama 20 tahun terus berjuang untuk menjadi Hokage. Demikian juga karya-karya dari luar negeri lainnya.
Sampai saat ini, belum ada karya berkualitas yang menyampaikan nilai-nilai lokal. Inilah penyebab utama dari lemahnya Budaya Indonesia yang berujung pada maraknya kebarat-baratan, kekorea-koreaan, kejepang-kejepangan, dan kearab-araban.
Padahal, kita semua tahu bahwa karya seni merupakan media untuk menyampaikan budaya. Negara lain telah mengemas budayanya menjadi karya seni yang berhasil memberi sentuhan kuat kepada emosi penontonnya. Sedangkan Indonesia? Masih Jauh!
Budaya dianggap sebagai kesakralan dogmatis yang harus dilestarikan. Lantas, adakah cara lain yang lebih efektif untuk melestarikannya daripada menyajikannya dalam bentuk karya yang menyentuh dan menghibur hati manusia?
Cukup sekian. Saya takut terbawa emosi dan dijerat UU ITE apabila meneruskan artikel ini, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H