Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Panji, Harta Karun yang Terlupakan

23 Desember 2015   10:49 Diperbarui: 14 Juli 2016   07:09 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ke 11 (sebelas), Cerita Panji itu lahir lantaran masyarakat pada saat itu merindukan bersatunya dua kerajaan, Jenggala dan Kadiri yang dipimpin oleh dua raja bersaudara yang sama-sama keturunan Airlangga. Pada mulanya, ketika Airlangga hendak mengundurkan diri sebagai Raja Jenggala lantaran usia lanjut, dia kebingungan lantaran memiliki dua orang putera yang dianggap sama-sama berhak menjadi Raja. Sementara puteri sulungnya, Dewi Kilisuci,  tidak berminat menjadi pewaris dan memilih bertapa sebagai Bikhu. Singkat cerita, meski kerajaan kemudian sudah dibagi dua untuk kakak beradik, namun keduanya masih sering berseteru karena menganggap tidak adil. Dan hal ini berlangsung hingga keturunan ketiga. Maka lahirnya Cerita Panji adalah sebuah simbolisme agar kedua bersaudara itu berdamai dengan cara menjodohkan masing-masing putera dan puterinya.[9]

Bukankah dalam sejarah seringkali terjadi “pernikahan politik” demi bersatunya dua kerajaan? Pada titik inilah maka Cerita Panji memiliki makna sebagai simbolisme penyatuan dua pihak yang berseteru,  bukan hanya dua kerajaan saja. Bisa saja dimaknai antara Bonek dan Arema, antara Bebotoh Persib dan Jack Mania, antara dua suku, dua kampung, dua organisasi bahkan dua negara atau juga antara KIH dan KMP, dan sebagainya.  

Ke 12 (dua belas). Cerita Panji berkembang pesat bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan Majapahit menjadi kerajaan klasik terbesar dan terakhir di nusantara. Majapahit sebagai kerajaan besar yang berkuasa di kepulauan tentunya dihormati oleh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara. Pada masa itulah Kisah Panji secara berangsur-angsur menyebar berbarengan dengan keharuman nama Majapahit di Asia Tenggara. Penduduk wilayah Asia Tenggara dan semenanjung tentu rela mengadopsi Kisah Panji sebagai salah satu khasanah sastra mereka. Jadi Kisah Panji sebenarnya adalah simbol kejayaan Majapahit itu sendiri, adalah simbol pencapaian peradaban kedaton-kedaton di Jawa bagian timur dalam era Majapahit berkuasa.[10]

Ke 13 (tiga belas). Ternyata, meski sudah terkenal ternyata tidak diketahui siapa pencipta Cerita Panji.  Bandingkan dengan Negara Krtagama (Mpu Prapanca),  kakawin Sutasoma (Mpu Tantular), kakawin Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Serat Dewa Ruci (Empu Siwamurti). Meskipun Kitab Pararaton dan Kidung Sudamala juga tidak diketahui penulisnya, namun Cerita Panji merupakan mahakarya susastra yang digubah secara bersama-sama oleh masyarakat Jawa Kuna, bukan oleh satu dua Mpu. Kisah Panji telah mengalami penambahan dan perluasan narasi yang berbeda-beda sesuai dengan selera pujangga penggubahnya.[11] Bahkan sampai sekarang pun Cerita Panji ini masih terus berkembang dengan versi-versi baru yang digubah sendiri dalam pementasan Wayang Topeng di Malang dan juga beberapa novel populer.   

Ke 14 (empat belas). Berbeda dengan naskah-naskah kuno tersebut di atas, popularitas Cerita Panji diceritakan dalam berbagai bentuk seni, termasuk cerita rakyat yang menandakan cerita ini juga tersebar di kalangan rakyat dan bukan hanya menjadi karya intelektual yang hanya dikonsumsi kalangan elit dan terbatas. Cerita Panji tidak hanya berhenti pada naskah namun berkembang sebagai cerita anak-anak yang juga disukai orang kebanyakan.

Ke 15 (lima belas). Perpustakaan Nasional saat ini sudah menyimpan 80 naskah Panji dari berbagai tradisi (Jawa, Bali, Lombok dan Melayu) meski yang dalam kondisi baik hanya setengahnya. Ternyata masih sangat banyak naskah Panji lain yang belum tersimpan, bahkan mencapai jumlah ratusan naskah. Pendataan yang pernah dilakukan sampai ditemukan lebih dari 200 naskah Panji yang sebagian besar tersimpan di Belanda. Menurut J.J. Ras, adanya begitu banyak naskah tentang Panji karena ada anggapan Cerita Panji dianggap sebagai sastra ritual, yang setiap kali dikarang manakala ada perkawinan antara putera-puteri kerajaan di daerah Melayu.

Ke 16 (enam belas), terkait dengan sekian banyak versi Cerita Panji maka seringkali satu sama lain menyajikan data yang berbeda. Bahkan versi dengan judul yang sama ternyata isinya juga berbeda. Justru kelebihan Cerita Panji itu ada pada perbedaannya. Misalnya saja, siapakah yang lebih tua, Raja Janggala atau Kadiri, dalam cerita yang berbeda bisa terbolak-balik. Ada yang menyebut Raden Panji Asmarabangun adalah cucu raja Airlangga, namun dalam cerita lainnya merupakan keturunan keempat. Bahkan, Purbotjaroko malah menyebut bahwa Raden Panji  itu putera Kediri, sedangkan Candrakirana adalah puteri Raja Jenggala. Hal ini berkebalikan dengan Cerita Panji pada umumnya. Tetapi meski datanya berbeda, toh substansi ceritanya tetap sama saja.

Ke 17 (tujuh belas). Membaca Cerita Panji yang menyebut nama-nama kerajaan yang secara faktual memang pernah ada, juga sejumlah nama yang juga tercatat dalam sejarah, membuat pembaca mudah terhanyut seperti sedang membaca kisah sejarah. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Dwi Cahyono, Cerita Panji telah banyak mengalami transformasi dalam kurun waktu panjang. Ada tokoh dan nama kerajaan yang campuraduk dalam kurun waktu yang sama. Kesejarahan yang anakronis dicampur-aduk, bukan kronologis.[12]

Ke 18 (delapan belas). Seiring dengan dilangsungkannya Festival Panji oleh Perpustakaan Nasional (Oktober 2014) maka Perpusnas mengusulkan salah satu naskah panji, yakni Panji Anggraeni yang berada di Palembang diajukan ke UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai ikon memori bangsa dan dunia bagi Indonesia (Memory of Nation and Memory of The World). Hal ini merupakan sebuah inisiatif internasional yang diluncurkan UNESCO untuk menjaga warisan suatu bangsa, terutama berbentuk teks tertulis yang berisi nilai-nilai kemanusiaan, dari ancaman amnesia kolektif, kelalaian, kerusakan akibat waktu dan kondisi iklim, dan perusakan yang tidak disengaja. Tetapi dalam forum seminar yang diselenggarakan dalam acara yang sama, Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti dalam makalahnya berpendapat, Kisah Panji dalam keberagamannya itulah yang secara bersama-sama menjadi milik bangsa Indonesia. Keseluruhan Kisah Panji dan berbagai keturunannya itulah yang harus diajukan sebagai Memory of the World (MOW)milik bangsa Indonesia,jadi tidak hanya satu atau dua naskah Panji saja.

Ke-19 (sembilan belas), Dewan Kesenian Jawa Timur  (DK Jatim) sudah pernah mengusulkan Cerita Panji sebagai ikon provinsi Jawa Timur. Tahun 2008 sudah digagas Program Konservasi Budaya Panji. Namun sayang sekali usulan itu tidak pernah bergaung lagi dan Pemerintah Provinsi Jatim agaknya belum menganggapnya hal itu penting. Yang jelas, Pemerintah Kabupaten Kediri sudah mengklaim sebagai Bumi Panji, sedangkan Kota Kediri menyebut identitasnya sebagai Kota Panji. Bagaimana realisasinya, itu satu hal yang layak dibicarakan tersendiri.

Dan kalau mau alasan lain untuk menguatkannya, berikut ini  simpulan (theorema) yang disampaikan Agus Aris Munandar dalam makalahnya di Seminar “Panji dalam Berbagai Tradisi Nusantara” di Yogyakarta bulan Mei 2014,[13] yang sekaligus ditambahkan dalam urutan keistimewaan Cerita Panji.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun