Mohon tunggu...
Henri Nurcahyo
Henri Nurcahyo Mohon Tunggu... -

Menulis apa saja, sepanjang memungkinkan. Lebih lengkap tentang saya, sila klik: http://henrinurcahyo.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Panji, Harta Karun yang Terlupakan

23 Desember 2015   10:49 Diperbarui: 14 Juli 2016   07:09 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibandingkan dengan cerita atau dongeng percintaan lainnya, Cerita Panji memang bukan dongeng yang biasa. Berikut ini adalah sejumlah keistimewaan Cerita Panji.

Pertama (1), kalau toh kisah induk dari Cerita Panji itu ada yang tidak mengenalnya, bukan tidak mungkin banyak yang pernah mendengar adanya dongeng Ande-ande Lumut, Timun Mas, Keong Mas, Enthit, Panji Laras, Golek Kencana dan sebagainya. Asal tahu saja, bahwa berbagai cerita yang selama ini dikenal sebagai dongeng anak-anak itu adalah bagian atau varian dari Cerita Panji. Inilah salah satu keistimewaan Cerita Panji dibandingkan dengan yang lainnya. Jadi kalau ada orang yang mengaku tidak mengenal Cerita Panji, sangat mungkin mereka mengenal atau pernah mendengar perihal dongeng-dongeng tersebut di atas. Dengan kata lain, banyak orang yang sebetulnya sudah tahu mengenai (sebagian) Cerita Panji namun mereka tidak menyadari bahwa yang mereka tahu itu adalah termasuk Cerita Panji.

Ke 2 (dua), Cerita Panji merupakan budaya populer yang didokumentasikan dalam berbagai media, yaitu naskah kuno, relief, tradisi lisan, sastra tulis dan seni pertunjukan. Bandingkan dengan naskah-naskah kuno lainnya yang hanya dikenal sebagai literatur di naskah lontar atau hanya dibukukan sebagai naskah kuno yang tersimpan rapi di museum atau perpustakaan.

Ke 3 (tiga) banyak pertunjukan rakyat yang menjadikan Cerita Panji sebagai bahan sajiannya, bahkan ada yang menjadikan Cerita Panji sebagai satu-satunya kisah yang disajikan. Beberapa contoh seni pertunjukan itu misalnya Wayang Topeng (Malang), Wayang Beber (Pacitan), Wayang Timplong (Nganjuk), Wayang Gedog, Wayang Krucil (Kediri), Wayang Thengul (Bojonegoro), Kethek Ogleng (Pacitan, Wonogiri), Jaranan (Trenggalek, Tulungagung), Reog Ponorogo (asal dari Ponorogo, yang menyebar kemana-mana), dan Lutung Kasarung (Jabar). Bahkan di Bali Cerita Panji menyebar dalam wujud berbagai kesenian seperti tari Legong Kraton Lasem, Drama Gong, Gambuh atau juga Bondres.

Ke 4 (empat), Cerita Panji merupakan cerita asli Indonesia yang bersumber dari kerajaan Kadiri dan Jenggala ini ternyata menyebar ke seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara, menyeberang ke Sumatra, Kalimantan, bahkan hingga ke negara-negara Malaysia (semenanjung Melayu), Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar.  Asal tahu saja, Cerita Panji malah lebih memasyarakat di Thailand, dikenalkan di bangku sekolah dan buku Cerita Panji itu sendiri ditulis oleh raja Thailand sendiri, yaitu Raja Rama. Di Thailand Cerita Panji dikenal sebagai Cerita Inao, berasal dari kata Inu Kertapati. “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada hasil kesusasteraan yang bersemangat Jawa yang penyebarannya di seluruh Kepulauan Nusantara menyamai penyebaran Cerita Panji.” (Poerbatjaraka, 1968: 409-410) Bahkan sangat dimungkinkan sastra Panji merupakan satu-satunya karya sastra Indonesia yang hingga saat ini paling banyak dipelajari oleh berbagai bangsa di dunia.[3]

Ke 5 (lima), senada dengan hal itu maka guru besar Universitas Malaya, Abdul Rahman Kaeh, dalam seminar internasional Budaya Panji di Malang (2010) memberi kesaksian, bahwa: Orang Jawa boleh berbangga dengan Cerita Panji. Cerita ini memang asli kepunyaan mereka. Cerita-cerita seperti Ramayana, Mahabarata, Adiparwa, Wirataparwa, Kakawin Arjuna Wiwaha, Kakawin Smaradahana, Hikayat Seri Rama, Hikayat Sang Boma, dan sebagainya,  tidak dapat dikatakan asli kepunyaan mereka, kerana cerita-cerita tersebut walaupun telah digubah dan disesuaikan dengan lingkungan alam Jawa, tetapi kita masih dapat mengetahui negeri asalnya, iaitu India. Sebaliknya kalau kita mau mencari negeri asal Cerita Panji ini di tempat lain tentulah tidak mugkin, kerana cerita yang bersifat demikian hanya bisa kita temui di Jawa saja.[4]

Ke 6 (enam), dirunut dari aspek sejarah, kisah ini terjadi pada masa kerajaan Kadiri, namun justru muncul dua ratus tahun sesudah itu, yaitu pada masa kerajaan Majapahit.[5] Dari sini saja sudah memancing kajian sejarah dan aspek politik yang menarik diperbincangkan. Bahkan, mempersoalkan apakah Panji ini memang merupakan fakta sejarah atau hanya dongeng belaka, sudah menjadi bahan diskusi yang seru. Dalam bab tersendiri di buku ini diulas kaitan antara Cerita Panji dan aspek sejarah ini.

Ke 7 (tujuh), meski “hanya” berupa kisah percintaan dua anak manusia, seorang arkeolog asal Jerman, Lydia Kieven, ketika meneliti  20 (dua puluh) candi di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagian besar ternyata terkait dengan Cerita Panji.[6] Meski tidak berarti bahwa 20 artefak itu otomatis berarti Panji karena Lydia meneliti sosok yang mengenakan topi (tekes) sebagaimana dikenakan oleh Panji. Sementara Agus Aris Munandar dan Ninie Susanti mendeskripsikan ada 10 (sepuluh) bangunan kepurbakalaan dari era Majapahit yang mengandung relief Cerita Panji.[7] Pertanyaannya kemudian, apakah ada sesuatu yang luar biasa sehingga sampai sebegitu banyak bangunan kepurbakalaan yang mengabadikan Cerita Panji? Lebih-lebih, semua artefak itu ternyata dibangun pada masa Majapahit.

Ke 8 (delapan), pada zamannya Cerita Panji ini sedemikian populer seiring dengan suburnya berbagai jenis kesenian yang membawakannya dimana-mana. Maka ada saat-saat dimana Cerita Panji sanggup bersaing dengan cerita klasik Mahabarata dan Ramayana. Cerita Panji adalah cerita alternatif yang tak kalah menariknya dengan kisah dari Negeri India itu. Cerita Panji justru hadir sebagai bentuk perlawanan (counter culture) terhadap budaya India.

Keistimewaan yang ke 9 (sembilan) bahwa Cerita Panji adalah sastra klasik tingkat dunia yang asli berasal dari Indonesia, khususnya dari Jawa Timur. Meski beragam Cerita Panji yang beredar namun semangatnya tetap sama yaitu pengembaraan dan kemenangan sang pahlawan yang hidup dalam budaya Jawa Kuna, bukan budaya yang berasal dari India. Lydia Kieven bahkan menyebut bahwa sastra Panji adalah salah satu contoh khas untuk kreativitas pada zaman Jawa Timur. Naskahnya atau versi lisan diciptakan pada zaman itu dan tidak berdasarkan ada sastra India. Cerita Panji adalah bukti kreativitas budaya Jawa Timur.[8]

Ke 10 (sepuluh), bahwa sesungguhnya Cerita Panji bukan hanya bercerita mengenai kisah percintaan belaka. Filosofi Cerita Panji adalah mengenai “mencari dan menemukan”, seperti kisah tentang rembulan dan matahari yang digambarkan bagaikan sepasang kekasih. Bulan adalah lambang kesetiaan dan  ketulusan cinta. Janji bulan untuk tetap setia pada matahari.   Jadi Panji adalah lambang siang, matahari, lelaki; dan Candrakirana adalah lambang malam, bulan dan asas keperempuanan semesta. Berbagai varian Cerita Panji selalu mengisahkan upaya pencarian yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh dengan halang rintang, termasuk harus melakukan penyamaran. Namun usaha keras itu akhirnya tidak sia-sia. Cerita Panji mengajarkan perihal kesetiaan dan usaha keras untuk menjaganya, meski di saat yang sama kesetiaan itu sendiri memiliki tafsir yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun