Oleh Henri Nurcahyo
Cerita Panji? Budaya Panji? Apa itu? Ini pertanyaan yang seringkali muncul di kalangan masyarakat kebanyakan, khususnya anak-anak muda. Beberapa nama “Panji” yang dikenal masyarakat kebanyakan adalah Panji Pragiwaksono, seorang presenter televisi, pernah juga ada sinetron berjudul “Panji Manusia Milenium” yang diperankan oleh Primus. Nama Panji juga dikaitkan salah satu acara televisi “Panji Sang Petualang” atau “Panji Sang Penakluk”. Apa boleh buat, televisi memang jadi acuan masyarakat sekarang. Sementara generasi media cetak mengenal tokoh Panji Koming dari kartun di Harian Kompas. Mereka yang sudah berumur pernah kenal dengan tokoh komik Panji Tengkorak. Dan banyak lagi nama-nama Panji yang bertebaran selama ini.
Sebetulnya kata Panji itu sendiri adalah sebutan sebuah gelar. Gubernur Jawa Timur M. Noer (alm), namanya lengkapnya adalah Raden Panji Mohammad Noer. Sementara itu, kalau kata Panji diulang dua kali, menjadi Panji-Panji, itu bermakna bendera atau pataka atau umbul-umbul yang merupakan lambang kehormatan atau tanda kebesaran suatu institusi. Namun dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna, ternyata kata Panji itu sama dengan Panji-panji yang berarti umbul-umbul atau bendera. (versi Mardiwarsito, 1987: 397).
Jadi sebutan Cerita Panji[1] itu adalah satu frasa, bukan hanya dimaknai sebagai Cerita tentang orang yang bernama Panji. Meski tokoh utama dari Cerita Panji memang bernama Panji, namun tidak semua orang bernama Panji lantas dikait-kaitkan dengan Cerita Panji. Bisa saja ada cerita lain yang sama-sama mempunyai tokoh utama bernama Panji, namun tetap saja itu tidak dapat disebut Cerita Panji. Sebaliknya, ada juga cerita yang sama sekali tidak menyebut nama Panji (dan Candrakirana) namun justru merupakan Cerita Panji.
Cerita Panji adalah karya sastra anonim yang lahir sebagai suatu refleksi penyusunnya terhadap perseteruan yang terjadi terus menerus antara kerajaan Janggala dan Panjalu yang masing-masing rajanya masih bersaudara. Kedua kerajaan ini pada mulanya menjadi satu dibawah kepemimpinan Raja Airlangga. Dalam Nagarakretagama dituliskan, didorong oleh cinta kasih Prabu Airlangga kepada dua puteranya yang saling bermusuhan, maka Airlangga lantas memutuskan membagi kerajaannya menjadi dua. Sri Maharaja Mapanji Garasakan memimpin Janggala, sedangkan Panjalu dibawah kekuasaan Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Utungga Dewa. Permusuhan itu ternyata berlangsung terus menerus selama hampir 100 (seratus) tahun, sebagaimana prasasti bertarikh 966 Saka (1044 M) menyebutkan perseteruan antara Sri Maharaja Mapanji Garasakan dan Raja Panjalu yang baru berakhir pada tahun 1155 M ketika Janggala berhasil ditundukkan oleh Panjalu dibawah Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya sebagaimana tertulis dalam Prasasti Ngantang. Sebagai peringatan atas kemenangan Jayabhaya disusunlah kakawan Bharatayuda oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Peristiwa selama puluhan tahun inilah yang nampaknya menimbulkan obsesi sehingga kemudian lahir Cerita Panji. Dibayangkan alangkah indahnya manakala terjadi penyatuan antara Jenggala dan Panjalu. Untuk mewujudkannya perlu dihadirkan tokoh rekaan dan alur cerita yang dapat menjembatani terciptanya kesatuan dan persatuan antara dua kerajaan tersebut. Tokoh yang mampu menyatukannya dipilih sebagai penjelmaan Dewa Wishnu dan Dewi Sri di dunia, yaitu Panji Inu Kertapati dan Dewi Candrakirana. Penyatuan keduanya menjadi lambang penyelamatan dua kerajaan dari ancaman kehancuran.[2]
Bagaimanakah yang dimaksud Cerita Panji itu sendiri? Dalam pemahaman secara mainstream, Cerita Panji dapat dikisah-singkatkan sebagai cerita yang berkisar mengenai percintaan Raden Panji Asmarabangun (Inu Kertapati atau Panji Kudawanengpati), putera mahkota kerajaan Jenggala, dengan Dewi Sekartadji (Galuh Candrakirana), puteri kerajaan Panjalu atau Kadiri. Namun jalinan kasih sepasang sejoli ini tidak berjalan mulus, banyak romantika berupa petualangan dan penyamaran hingga Cerita Panji kemudian melahirkan banyak versi dan varian berupa dongeng dan kisah-kisah lainnya. Meski pada akhirnya mereka berhasil menjadi sepasang suami isteri yang memerintah Kerajaan Kadiri, namun berbagai persoalan seakan tak pernah henti menimpa mereka sehingga justru semakin banyak melahirkan cerita-cerita baru lagi.
Tetapi dalam pemahaman yang lebih luas, Cerita Panji tidak hanya berurusan dengan Raden Panji dan Candrakirana, atau hanya berkisar mengenai kerajaan Janggala dan Panjalu. Cerita Sri Tanjung misalnya, dapat disebut sebagai cerita yang memiliki spirit Cerita Panji. Yaitu, kisah kasih yang terhalang, tentang kesetiaan seorang perempuan kepada pasangannya, dan perjuangan sang lelaki yang tak kenal takut menghadapi bahaya demi menunaikan sebuah tugas negara. Itu sebabnya, ketika Patih Sidopeksa akhirnya mengetahui isterinya tidak bersalah, dia kemudian memangku jenasah isterinya dalam posisi sangat mirip dengan Raden Panji Asmarabangun berkisah kasih dengan Candrakirana. Gambaran adegan inilah yang mengecohkan sebagaimana terdapat di relief Candi Surawana yang memang masih debatable.
Keistimewaan Cerita Panji
Lantas, apa istimewanya kisah percintaan Raden Panji dan Sekartaji ini? Bukankah banyak kisah lain yang serupa seperti Bangsacara Ragapadmi (Madura), Jayaprana Layonsari (Bali), Sangkuriang (Sunda), Rara Mendut (Jawa Tengah) atau juga kisah yang sudah mendunia yaitu Romeo dan Juliet. Dan masih banyak lagi cerita serupa yang tersebar di berbagai daerah dan mancanegara.