Tak sulit aku menerobos masuk hingga ke kamar Bondan. Pagar dan rumah ini tak terkunci. Tapi pria itu sudah tertidur pulas di atas kasur. Aku menggeleng. Kusaksikan bunga setaman di atas cobek kecil, dan 5 dupa tertancap di kendil yang berisi pasir masih menyala. 1 kendil lagi di sampingnya menyita perhatianku. Kulihat di dalamnya darah pekat merah mengering persis seperti yang kulihat dipercikan yang menempel di bungkus rokok itu.
Sesaat aku duduk di sampingnya. Kupegang keras lengan Bondan. Lalu Aku merapal mantra. Tak seberapa lama aku merasa tubuhku terurai menjadi partikel-partikel kecil menuju ke suatu tempat.
Sesaat kemudian partikel-partikel tubuhku kembali menyatu. Aku merasakan suasana yang berbeda. Pemandangan yang indah, angin sepoi-sepoi menyapu wajahku. Semua tampak bersih. Tanpa polusi dengan cuaca yang cerah. Enak betul batinku.
"Toni!!!" suara itu aku mengenalnya. Dari arah belakang ia menghampiriku.
"Tempat kita bukan di sini kawan," sergahku.
"Tapi, di sini aku menemukannya."
"Dia bukan Delisa yang kau cari," jelasku, sembari mendekatinya dan berbisik. "Dia Sari."
"Aku sungguh mengenalnya. Dia Delisa," ujarnya menoleh ke arah Delisa.
Sesaat aku menunjukkan sesuatu dari kantong celanaku. Sebuah foto kemesraan mereka dengan latar pemandangan menarik di sebuah Danau Toba.
"Bawalah," sodorku kepadanya.
"Aku sudah mendapatkannya," ujarnya dengan tangan menolak. Lalu memandang Delisa dengan senyum manis.