Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Purna Janji

7 Januari 2025   08:54 Diperbarui: 7 Januari 2025   09:03 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Purna Janji

Dalam suatu kepercayaan yang aku yakini, dan sering kali kudengar sebelum pulang mengaji Wak Kiai selalu menyampaikan, pada dasarnya janji merupakan sesuatu yang harus dipenuhi. Karena waktu itu aku belum tumbuh dewasa, aku tak terlalu peduli ucapan Wak Kiai. Di benakku hanya ada kapan Wak Kiai segera mengakhiri agenda mengaji sore itu. Sebab sebentar lagi program acara seminggu sekali yang kutunggu-tunggu di teve Satria Baja Hitam akan segera tayang.

Bila teringat tempo itu, aku merasa dawuh Wak Kiai seperti hantu gentayangan yang bersemayam di batok kepalaku. Aku sudah terlanjur membuat kesepakatan. Bahwa, tahun ini target yudisium harus kesampaian. Andai aku gagal dengan kesepakatan itu, sama saja artinya aku tak punya komitmen.

Saat ini aku baru saja lulus dari seminar proposal. Untuk lanjut ke tahap berikutnya, di berbagai sektor lini aku harus menekan ongkos pengeluaran. Salah satunya menekan ongkos kos-kosan.

Suatu kali aku punya satu teman yang menurutku bisa membantu masalah perongkosan yang sedang menimpaku. Kebetulan juga ia baru lulus seminar proposal. Kami hanya beda kloter. Nama temanku itu adalah Toni.

Terakhir kali aku bertemu Toni ketika aku masih aktif di organisasi pencinta alam. Toni terbilang teman yang unik. Ia punya kemampuan indihome, istilah di organisasi kami untuk menyebut anak yang punya kemampuan khusus seperti indigo.

Banyak teman-temanku yang lain memberi saran, agar aku untuk sementara waktu tidak dekat-dekat dengan Toni. Pasalnya, sejak pulang dari mendaki Toni terlihat ganjil. Sialnya, aku mendapat informasi itu dari teman-teman saat sedang nongkrong di kantin kampus seusai mata kuliah di jam kedua yang kemudian Toni datang.

"Sudah mulai nyicil Bab atau masih santai mencari bahan?" tanyaku kepada Toni, sembari memindah secangkir kopi tinggal setengah dan teman-teman yang lain terlihat pergi meninggalkan kami berdua.

Toni memantik rokok, menaruh pelan korek di atas meja, tak berselang lama datang pesanan secangkir kopi yang asapnya terlihat menari-nari.

"Aku tak pernah merasa kesepian, jadi silakan tinggalkan aku," jawabnya dingin sembari menghisap dalam-dalam rokok kreteknya itu.

"Jangan salah paham dulu, aku bermaksud...," Toni memotong pembicaraanku, "Aku sudah tahu maksudmu jadi aku tegaskan sekali lagi, aku tak suka urusan pribadiku, kamu masuk dan ikut campur."

"Ton! Begini! Ada yang perlu kusampaikan sebagai teman yang sudah kenal lama dan...," Toni memotong lagi, "Dan kenapa di zaman sekarang banyak orang punya hobi membicarakan urusan orang lain. Padahal, mereka itu orang-orang terpelajar!"

"Ton! Dengar dulu! Aku butuh kos-kosan dengan harga murah! Paham!" aku sedikit menaikkan suara dan menatapnya tajam. Aku pikir ia seorang indigo sejati yang bisa membaca pikiran, tetapi apa yang ada dipikiranku ternyata salah.

"Tolong! Bantu aku!" tegasku lirih dan memantik rokokku yang tinggal satu batang.

Toni masih dengan wajah dingin mengatakan, "Aku bukan makelar kos-kosan. Jadi, kamu salah orang."

"Aku tahu banyak tentang kosmu yang terkenal angker itu. Dan aku juga tahu kamu di kos itu bersama siapa!" jawabku tak kalah dingin kali ini.

Toni berusaha membenarkan posisi punggungnya, tubuhnya kali ini terlihat tegak kemudian wajahnya yang dingin berubah total mendekat. Lalu ia berkata lirih, "Jangan-jangan kamu juga punya...,"

Aku sebetulnya tak yakin ucapan Toni kali ini. Akan tetapi, aku sangat butuh kos dengan harga murah, lalu aku hanya menjawab, "Dan teman-teman yang lain tidak ada yang tahu tentang itu."

Toni menarik tubuhnya, tangan kirinya sedekap, sedang tangan kanan masih menjepit rokok yang abunya terlihat semakin panjang.

Napas panjang berdesir dari batang hidungnya. Aku berusaha mendekatkan asbak. Sesaat, ia singkat berkata, "Akan kusampaikan kepada pemilik kos."

Aku mengangguk dan merasa lega. Siang itu aku dan Toni masih santai duduk di kantin kampus melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan.

Sepertinya aku perlu memberi sedikit ilustrasi. Andai aku masih bertahan di kos lama setiap satu bulan aku harus keluar ongkos sekitar 400 ribu. Sedang harga sewa kos di tempat Toni, setiap satu bulan aku hanya mengeluarkan ongkos 100 ribu. Sisa dari itu, aku bisa memutar untuk keperluan seperti kertas, tinta print, bensin, dan lain-lain.

Dua minggu berlalu satu kos bersama Toni aku tidak merasakan hal-hal ganjil menganggu. Akan tetapi, menginjak minggu ketiga aku mulai merasa ada yang aneh dengan sikap Toni terkadang sering berubah seketika. Terutama semenjak aku mencium bau bunga setaman dan dupa yang kerap keluar dari dalam kamar Toni. Terakhir sekelebat aku melirik seperti seorang gadis berambut panjang dan bergaun putih di dalam kamarnya. Ketika aku mencoba untuk memastikan lagi, wanita itu sudah tidak ada.

Kamarku dan kamar Toni terletak di lantai dua. Saling bersebelahan. Cuma ada tiga kamar. Sedang kamar yang ketiga masih kosong, dengar dari pemilik kos katanya tidak disewakan. Pemilik kos tinggal di bawah. Dia sebatang kara. Suaminya meninggal saat bekerja.

Saat aku bertemu pemilik kos, dan berterus terang bahwa aku sangat memerlukan kos dengan harga murah, pemilik mempersilakan. Akan tetapi, keadaan kos memang tak sebaik seperti tempat kosku yang lama. Aku tidak masalah dengan hal itu. Dan pemilik kos juga menyadari tentang isu yang beredar, bahwa kos miliknya terkenal angker. Dan aku diberi kejutan satu bulan tidak usah bayar.

Oh ya, pemilik kos kami bernama Bu Sarah. Usianya kira-kira sekitar 50 tahun lebih sedikit. Masih terlihat sisa-sisa kecantikan dari guratan wajahnya. Dan ketika aku menatap foto di dalam bingkai besar tampak seorang gadis yang tak kalah cantik lengkap di samping kanan tegap berdiri pria gagah berjas rapi dan di samping kiri tentu Bu Sarah sendiri.

"Bu, itu Mbak Sari apa masih siaran di Radio Jaya FM?" tanyaku saat melirik salah satu foto Sari menggunakan headset hitam lengkap dengan mikrofon di bingkai foto berukuran 12R berderet di bawah bingkai foto besar.

Bu Sarah sesaat menunduk, bibirnya terdengar lirih merapal ayat-ayat suci. Dan Toni di sampingku, tiba-tiba mengejutkanku. Kakinya perlahan menginjak keras kaki kananku.

Spontan aku memecah kesunyian. "Bu, saya minta maaf. Bukan maksud saya untuk...,"

"Ohhh, nggak apa-apa Mas Makmur. Eh! Sampeyan kayaknya tahu banyak ya tentang Radio Jaya FM," ujar Bu Sarah dengan senyum dan berusaha menyembunyikan sesuatu.

Sembari menggaruk-garuk rambut aku menjawab, "Enggak banyak yang saya tahu Bu, hanya, dulu, saat masih SMP sempat kirim atensi ke teman-teman sekelas pakai kertas atensi yang sudah disediakan Radio Jaya FM."

"Oooalah!" Bu Sarah menyahut dan suasana kembali cair.

Maklum saja kalau aku asal nyeplos saat bertemu Bu Sarah waktu itu. Sebab Toni tak pernah cerita perihal putri buah hati Bu Sarah di foto 12R terlihat cantik jelita yang ternyata sudah tiada. Sore itu, sebelum azan magrib Toni menemuiku di dalam kamar, dan pintu terbuka lebar.

"Besok-besok dijaga mulutmu itu. Ya hambok tanya-tanya dulu, enggak asal nyerocos saja?"

"La! Salahku di mana toh! Misal aku tahu dari awal, ya mana mungkin aku bertanya seperti itu," jawabku membela diri.

"Halah, sudah salah, ngeyel!"

"Ton! Sudah, cerita saja, luka di hati Bu Sarah tidak akan ada obatnya, kecuali...," Toni memotong seperti kebiasaan itu sudah menjadi tabiat aslinya.

"Sari tidak salah! Aku tahu itu! Sari tidak salah!" ucap Toni berkali-kali.

"Perempuan di kamar itu pasti Sari!"

Mendengar apa yang baru saja keluar dari mulutku, Toni merah murka. Ia menarik kerahku, tanganya mengepal, dan aku pasrah tak ingin ada perkelahian hebat di kos ini.

"Mas Toni...!" dari luar pintu kamar seorang gadis berwajah pucat menyapa dengan suara yang lembut. "Jangan Mas...!"

Sesaat Toni melepas kerahku, tangannya yang mengepal terlihat turun lambat laun. Lalu menunduk.

"Ini salahku. Andai aku tak mendaki saat itu...,"

Gadis itu mendekat, gaun putihnya yang wangi terseret melewati petak-petak keramik di dalam kamarku. Gadis itu ikut menunduk berusaha membangkitkan kawan lamaku itu.

"Ini sudah suratanku Mas. Bukankah Mas Toni sudah berjanji semua selesai malam ini?"

Sebetulnya aku berdiri dengan keadaan yang merinding. Ini pertama kali aku menjumpai sesosok makhluk dari alam yang berbeda. Akan tetapi, suara lembut gadis itu membuatku tampak sedikit agak kuat.

"Selama ini aku tak sanggup mengatakan pada wanita itu. Ini sudah lewat satu tahun. Aku juga ingin Sari kembali dengan tenang," ujar Toni mencoba bangkit dan memegang pundakku dengan kedua tangannya.

Aku menyambut tangan kawanku itu. Namun, jantungku tiba-tiba berdegup tak beraturan saat sorot mata gadis itu menatap wajahku. Seketika kilatan cahaya menyilaukan pandanganku.

Semenjak kejadian tempo itu, Bu Sarah tidak mau keluar rumah. Kebahagiaan bersama putrinya direnggut oleh sesosok pria biadab yang tidak terima cinta di hatinya ditolak Sari. Di kamar tepat aku berdiri, di sini Sari dihabisi. Foto-foto penuh senyum bersama Toni, disobek pria biadab itu. Seolah tidak terima pujaan hatinya bersanding Toni.

Tak puas menyaksikan Sari tak bernyawa pria biadab itu kemudian menghabisi dirinya sendiri. Ia ingin mengejar Sari hingga ke dunia tanpa ruang dan waktu. Tapi nahas, pria biadab itu justru tak menemukan Sari.

Berita berkembang, rumah Bu Sarah kerampokan. Ada juga yang bilang Sari bertepuk sebelah tangan. Hingga suatu ketika Toni masuk ruang penyidikan. Akan tetapi, Toni tidak terbukti melakukan perbuatan keji itu. Tidak ada ujung pangkal akhir dari tragedi itu.

Sejak saat itu Toni berusaha mencari kebenaran cerita, tetapi ia malah bertemu arwah Sari. Sesaat kilatan cahaya yang menyilaukan mataku lamat-lamat memudar. Aku masih memandang Sari. Sorot matanya seolah menyimpan harapan.

Sesaat aku mengalihkan pandangan, aku bergegas menemui Bu Sarah. "Ada yang ingin bertemu dengan Anda. Semoga malam ini menjadi jalan yang terbaik sehingga Sari kembali dengan tenang."

Bu Sarah mengangguk. Sari menampakan wujud. Tanpa rasa takut Bu Sarah menyambut buah hatinya, dipeluknya lama gadisnya itu. Tasbih di tangannya terus berputar. Ia masih terus merapalkan doa-doa. Sesaat Sari tampak bercahaya, ia pun berpamit untuk kembali. Bu Sarah tampak ikhlas melepas Sari kali ini.

Aku dan Toni hanya bisa berdiri dan menunduk. Kusaksikan gaun putih panjang itu terseret mundur mendekati Toni. Sari menggenggam tangan Toni untuk terakhir kali. Kemudian tersenyum kepadaku. Tak berselang lama lalu melambaikan tangan.

Sesaat kusaksikan Bu Sarah turut melambaikan tangan, tanpa tangis dan tanpa kesedihan.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun