"Besok-besok dijaga mulutmu itu. Ya hambok tanya-tanya dulu, enggak asal nyerocos saja?"
"La! Salahku di mana toh! Misal aku tahu dari awal, ya mana mungkin aku bertanya seperti itu," jawabku membela diri.
"Halah, sudah salah, ngeyel!"
"Ton! Sudah, cerita saja, luka di hati Bu Sarah tidak akan ada obatnya, kecuali...," Toni memotong seperti kebiasaan itu sudah menjadi tabiat aslinya.
"Sari tidak salah! Aku tahu itu! Sari tidak salah!" ucap Toni berkali-kali.
"Perempuan di kamar itu pasti Sari!"
Mendengar apa yang baru saja keluar dari mulutku, Toni merah murka. Ia menarik kerahku, tanganya mengepal, dan aku pasrah tak ingin ada perkelahian hebat di kos ini.
"Mas Toni...!" dari luar pintu kamar seorang gadis berwajah pucat menyapa dengan suara yang lembut. "Jangan Mas...!"
Sesaat Toni melepas kerahku, tangannya yang mengepal terlihat turun lambat laun. Lalu menunduk.
"Ini salahku. Andai aku tak mendaki saat itu...,"
Gadis itu mendekat, gaun putihnya yang wangi terseret melewati petak-petak keramik di dalam kamarku. Gadis itu ikut menunduk berusaha membangkitkan kawan lamaku itu.