"Ton! Begini! Ada yang perlu kusampaikan sebagai teman yang sudah kenal lama dan...," Toni memotong lagi, "Dan kenapa di zaman sekarang banyak orang punya hobi membicarakan urusan orang lain. Padahal, mereka itu orang-orang terpelajar!"
"Ton! Dengar dulu! Aku butuh kos-kosan dengan harga murah! Paham!" aku sedikit menaikkan suara dan menatapnya tajam. Aku pikir ia seorang indigo sejati yang bisa membaca pikiran, tetapi apa yang ada dipikiranku ternyata salah.
"Tolong! Bantu aku!" tegasku lirih dan memantik rokokku yang tinggal satu batang.
Toni masih dengan wajah dingin mengatakan, "Aku bukan makelar kos-kosan. Jadi, kamu salah orang."
"Aku tahu banyak tentang kosmu yang terkenal angker itu. Dan aku juga tahu kamu di kos itu bersama siapa!" jawabku tak kalah dingin kali ini.
Toni berusaha membenarkan posisi punggungnya, tubuhnya kali ini terlihat tegak kemudian wajahnya yang dingin berubah total mendekat. Lalu ia berkata lirih, "Jangan-jangan kamu juga punya...,"
Aku sebetulnya tak yakin ucapan Toni kali ini. Akan tetapi, aku sangat butuh kos dengan harga murah, lalu aku hanya menjawab, "Dan teman-teman yang lain tidak ada yang tahu tentang itu."
Toni menarik tubuhnya, tangan kirinya sedekap, sedang tangan kanan masih menjepit rokok yang abunya terlihat semakin panjang.
Napas panjang berdesir dari batang hidungnya. Aku berusaha mendekatkan asbak. Sesaat, ia singkat berkata, "Akan kusampaikan kepada pemilik kos."
Aku mengangguk dan merasa lega. Siang itu aku dan Toni masih santai duduk di kantin kampus melanjutkan dengan obrolan-obrolan ringan.
Sepertinya aku perlu memberi sedikit ilustrasi. Andai aku masih bertahan di kos lama setiap satu bulan aku harus keluar ongkos sekitar 400 ribu. Sedang harga sewa kos di tempat Toni, setiap satu bulan aku hanya mengeluarkan ongkos 100 ribu. Sisa dari itu, aku bisa memutar untuk keperluan seperti kertas, tinta print, bensin, dan lain-lain.