Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Seikat Daduk dan Sebatang Tebu

15 Desember 2024   10:27 Diperbarui: 24 Desember 2024   16:36 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat langit meremang jingga jauh di sebuah bangunan pos jaga melintas sesosok bocah hilang di antara batang-batang tebu yang tumbuh subur dan menjulang tinggi. Sekejap mendapati hal itu Penjaga tebu teringat akan sesuatu. Ia menerka-nerka apa gerangan yang baru saja singgah di ingatannya. 

Ketika tampak secercah harapan, tiba-tiba meredup ingatan itu. Sesaat muncul lagi, seketika lenyap lagi. Begitu terus menerus terjadi. Hingga suatu ketika ia merasa lelah oleh beban ingatan itu. Tanpa panjang berpikir di atas meja ia letakkan tangan melintang menjadi sebuah bantal dari kepalanya yang kliyengan.

"Pak! Pak!!" sapa bocah itu sembari menggoyang lengan Penjaga tebu. Namun, apalah daya, bukan terjaga didapatnya, tetapi suara dengkur yang bertambah keras.

"Sudah mau magrib, Pak!!" lanjutnya sedikit nyaring. Sontak penjaga tebu terjaga. Sorot bola matanya ke arah bocah yang baru saja membuatnya terjaga. Dipandangnya bocah itu dari ujung rambut hingga jempol kaki. Ia mengernyit, mendapati sesuatu tepat di sebelah kaki bocah itu. Tampak jelas seikat daduk dan potongan tebu. Penjaga tebu lalu berdiri.

"Sebatang tebu?" tanya Penjaga tebu.

Bocah itu mengangguk.

Sesaat, Penjaga tebu, menarik napas panjang, ingatan itu datang seketika tampak jelas... ... ... ... ... ...

Empat hari berlalu setiap jam tiga sore Rusdi kerap pergi ke ladang tebu mengumpulkan seikat daduk. Sebetulnya ayah Rusdi sudah melarang, sebab ladang tebu itu bukan milik mereka, tetapi milik pabrik gula yang letaknya tidak jauh dari dusun tempat mereka tinggal.

Konon para penjaga ladang tebu dikenal tegas dan sangar. Jangankan sampai menebang satu batang, meranting daduknya saja tidak boleh. Urusan bisa jadi panjang kalau tertangkap nekat. Dan apa yang dilakukan para penjaga tebu tidak salah, mereka diperkerjakan memang untuk seperti itu.

Ladang tebu milik pabrik gula sudah tentu sangat luas. Luasnya sejauh mata memandang. Oleh karena dusun tempat tinggal Rusdi masuk lingkaran ring satu, salah satu warga di dusun punya kesempatan menjadi pegawai di pabrik gula itu.

Nama warga yang mencoba peruntungan itu adalah Supeng. Bentuk tubuhnya tinggi, kumisnya tebal, mirip Pak Raden di serial Unyil Usro. Di dusun itu Supeng dikenal seorang pria yang gagah, badannya atletis perutnya berbidang. Kata orang zaman sekarang populer dengan sebutan sixpack. Sebab posturnya mendukung, Supeng lolos seleksi.

Akan tetapi, semenjak Supeng diangkat menjadi pegawai tetap dan berdinas di bagian divisi keamanan, ia seakan lupa dengan bentuk badannya yang dulu pernah sixpack itu. Walau begitu Supeng masih mau sedikit-sedikit mengolah badan, ia sadar mungkin ada yang keliru dengan bentuk perutnya yang kini berubah menjadi onepack.

Di usia yang sudah tidak lagi segar, Supeng memiliki anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Satu kelas bersama Rusdi. Nama anaknya Supri. Mereka berdua akrab. Sangat kompak. Sejak berkawan Rusdi anaknya kerap mewakili sekolah menjadi kontingen perhelatan tahunan lomba cerdas cermat.

Suatu sore, ketika Rusdi asyik santai di sebuah gubuk bambu tak jauh dari ladang tebu Supeng menghampiri. Mereka saling bercakap-cakap.

"Eih... Santai Kali kau Rus!"

"Santailah, Pak."

"Banyak kali rumput kau tebas."

"Kambing satu ekor, tapi soal makan, kuatnya minta ampun."

"Sudah kubilang ke ayah kau itu, aku takut kambing yang kau punya itu jangan-jangan, Rus, kambing jadi-jadian."

"Eiihh... Ada lagi baru Bapak nih bisa-bisanya mengarang cerita."

"Nah, Rus, kau dengar kali ini," ujar Supeng seperti beranjak serius. "Tempo itu ayah kau bilang susah kali kayu bakar didapatnya. Resah juga ayah kau itu mana batu bata kering sudahlah menumpuk. Mana mungkin tungku menyala kalau kayu bakarnya saja tak cukup."

Rusdi khusyuk mendengarnya. Lalu Supeng masih melanjutkan. "Kau bantu ayah kau itu sedikit-sedikit."

"Apa yang bisa kubantu, Pak. Tak banyak kukenal orang yang menjual kayu bakar."

"Bukan itu maksudku!" Supeng melanjutkan. "Kau bisa kan, masuk ke dalam, kumpulkan daduk-daduk itu lalu bawa pulang. Berbakti sedikit-sedikit lah ke ayah kau itu."

"Aiihh. Mencuri itu namanya. Tak mau aku!!!

Supeng terkekeh mendengar itu. Kemudian Rusdi melanjutkan.

"Masih ingat betul ayah berkata waktu itu, dilarangnya keras aku memungut daduk-daduk di ladang tebu."

"Eh, Rus!!! Bilang pada ayah kau, aku yang suruh."

Rusdi manggut-manggut. Magrib hampir menyapa. Mereka berdua kemudian bergegas pulang.

Begitulah awal bermula Rusdi berani memungut daduk di ladang tebu. Ayahnya betul-betul merasa terbantu. Hingga pada suatu ketika gudang hampir penuh dengan tumpukan seikat daduk. Rusdi pun bersiap-siap berangkat.

"Ke mana lagi kau mau pergi?" tanya ayahnya.

"Tinggal sedikit lagi, penuh."

"Daduk..." tanya ayahnya lagi.

"Sudah pasti."

"Cukup Rus. Tak enak hati ayah kepada Supeng."

"Tak apa, Yah. Mungkin hanya dengan cara ini Pak Supeng membantu kita"

"Tapi, masih kau bantu kan anaknya itu!"

"Pastilah." Sesaat Rusdi pun berangkat ke ladang tebu.

"Hati-hati, Rus!!!" teriak ayahnya.

Mulanya saat menuju pulang sebelum lewat pos jaga Rusdi tampak tenang memikul daduk di atas kepala, tetapi ia terkejut hebat ketika sorot matanya menangkap petugas pos jaga berubah. Rusdi tak tahu kalau hari ini Pak Supeng bertukar jam jaga. 

Lelaki tambun Mandor tebu di pos jaga itu juga tak kalah hebat terkejutnya mendapati bocah yang tak pernah dikenalinya sedang memikul daduk. Sejenak ia bangkit dengan merah murka.

"Hooiii...!!!" bentak Mandor tebu.

Sontak Rusdi menurunkan daduk yang dipikulnya.

"Apa ini...!!!"

Rusdi menunduk.

"Panjang tangan kamu ya, haahh!!!"

Rusdi diam membeku.

"Ayo jawab!!! Kecil-kecil sudah berani masuk ladang milik pabrik!!!"

Rusdi masih mengunci mulut .

"Ayo jawab!!!" bentak Mandor tebu kali ini lebih keras.

"Se-se-seikat-t-t da-duk, Pak," jawab Rusdi gagap.

Memang sekelebat tampak seikat daduk, tetapi Mandor itu curiga. Ada yang janggal di seikat daduk itu. Tak lama tampak tergesa ia bongkar ikatan daduk.

"Ngangudbillah!!! Ini apa...!!!"

Rusdi mulai ketakutan. Ia mulai sesenggukan. Sore sudah mau tenggelam. Supeng yang kebetulan baru saja selesai memancing di sungai tak jauh dari ladang tebu, mendengar suara keras yang tidak asing. Ia mendekat.

"Ndor... Sudah Ndor, sudah-sudah, magrib ini Ndor," sembur Supeng menenangkan Mandor dengan kedua tangan memegang pundaknya.

"Apa-apaan ini Peng! Kalau manajemen tahu, ini nasib kita...!!!"

"Iya, iya, aku mengerti Ndor. Begini Ndor..." Supeng membisikan sesuatu ke Mandor tebu. Sesaat dia manggut-manggut. 

Tak lama berselang ia mendekati Rusdi, entah apa yang dikatakan Mandor itu. Rusdi terlihat mengusap pipinya yang basah. Kemudian pamit dan beranjak pergi. Kini tinggal mereka berdua menyelesaikan masalah di pos jaga itu... ... ... ... ...

"Sebatang tebu?" tanya Rusdi lagi. 

Bocah itu mengangguk.

Sesaat, Rusdi, menarik napas panjang.

Rusdi menunduk, lalu ia pisahkan sebatang tebu yang sudah dipotong pendek-pendek dari tumpukan daduk tadi. Kemudian Rusdi mengikat daduk seperti semula. Sesaat Rusdi bangkit, ia keluarkan beberapa lembar dari dalam dompetnya.

Bocah itu masih menunduk, Rusdi kembali menyapa.

"Ini, untuk adikmu. Dan yang ini, kau simpan dalam sakumu. Sekarang pergilah pulang magrib sudah mau datang."

Dengan wajah sembab Bocah itu mengangguk lalu bergegas pulang. Menyisakan Rusdi beserta potongan tebu di pos jaga.

***

Sesampainya bocah itu di pelataran rumah, ia mungkin mengira Penjaga tebu datang dan melapor kepada ayah dan kakeknya dari apa yang baru saja ia lakukan di ladang tebu tadi. 

Sesaat ayahnya menyambut seikat tebu yang dipikul bocah itu, menaruhnya di gudang dan membawanya duduk di kursi bambu. Mengetahui cucunya baru datang, juga tampak lemas, Supeng menuangkan segelas air tebu yang masih segar. Si Bocah mendadak bengong.

"Dua botol air tebu ini, khusus buat kau katanya." Bocah itu meminumnya pelan-pelan.

"Iya, Kak. Baru saja Pak Rusdi datang." Teriak adiknya asyik membuka bungkus tas kresek besar yang penuh dengan aneka jajan. 

"Aigh! Akrab kali kau dengan Pak Rusdi!!" timpal Supri kepada anaknya itu.


Bocah itu masih menerka apa maksud semua gerangan. Namun, ia merasa tak harus mengerti semua. Ia biarkan saja semua berlalu. Kembali diteguknya segelas air tebu. Tak lama berselang bersama adiknya loncat-loncat kegirangan.

Hari itu, Rumah itu, penuh dengan tawa bahagia. Rusdi menyaksikan tak jauh dari tempat itu dengan perasaan paripurna. Sebetulnya, yang ia lakukan hanya mengulang seperti tempo itu Supeng memperlakukan pada dirinya sama persis.

TAMAT

Catatan
Daduk: Daun kering yang melekat pada batang tebu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun