Sekira empat bulan lalu, pasca tarif cukai meroket, warung tembakau berpita cukai milik Pak Parjo tak pernah lagi tampak berisik. Ia mencoba berjudi demi seorang pemuda yang pernah ikut membuatnya berjaya.
Sebelumnya. Di suatu Desa 'Subur Makmur' Pak Parjo dikenal lelaki yang tangguh. Badannya kekar dan bermuka berewok. Meski perawakannya sangar, tetapi ia sangat ramah.Â
Semenjak istrinya meninggal, Pak Parjo memilih tidak kawin lagi. Membesarkan ketiga anaknya dari hasil menjual rokok berpita cukai. Dari hasil itu pula Pak Parjo sanggup mengantar tiga anaknya hingga duduk di sebuah perguruan tinggi.
Di warung yang dulu pernah berjaya itu, Pak Parjo tidak sendiri. Ia dibantu oleh seorang pemuda yang baik dan tertib. Pemuda itu bernama, Harun. Sewaktu masih kelas 5 SD Harun sudah menjadi yatim piatu. Sejak saat itu Pak Parjo mengasuhnya hingga lulus dari bangku SMA.Â
Kelak, Pak Parjo berniat mengantarkan Harun hingga duduk di sebuah perguruan tinggi seperti ketiga anaknya yang telah lulus dan sudah mengajar itu. Akan tetapi, saat senter terdengar berita tarif cukai naik lagi, sepertinya hal itu sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Mengingat, daya beli warga desa semakin menurun.
Setiap selesai subuh saat matahari masih terlelap tidur, warung Pak Parjo selalu buka lebih awal. Tak peduli mau tanggal warna merah atau tanggal warna hitam, Pak Parjo tetap buka. Bagi Pak Parjo modal harus kembali, untung atau buntung itu urusan nomor dua belas. Yang penting, rokok di etalase tidak berubah jamur tiram ia sudah cukup senang.
Jual rokok berpita cukai, butuh modal besar, bermental baja, dan terlebih penting harus kuat tahan banting. Kadang senyum itu tulus datang dikala pelanggan membayar tunai. Tapi, terkadang senyum itu harus dipaksa hadir saat ada pelanggan yang merayu kasbon. Dalam membeli rokok Pak Parjo tidak pernah membatasi para pelanggannya. Boleh beli langsung satu slop. Boleh juga walaupun cuma satu pak. Atau sekedar mengecer saja.
Sebetulnya, Pak Parjo sudah tidak lagi mendulang untung seperti dulu. Ia bahkan kerap memutar harga. Satu contoh. Jika saat ini yang sedang ramai rokok A, maka ia naikkan sedikit harga jualnya. Namun, saat rokok B sedang sepi, maka ia turunkan hingga nyaris Pak Parjo tidak ambil untung sama sekali.
Pelanggan Pak Parjo bukan kumpulan orang-orang bodoh. Begitu tahu rokok B harga turun tak sampai menunggu lama dalam sekejap berbondong datang pelanggannya menyapu habis rokok itu. Pak Parjo kerap dibuat pusing oleh ulah para pelanggannya, tetapi ia tetap ramah.
Suatu hari, Pak Parjo menyerah. Berpuluh tahun menjual rokok dengan tulus hati akhirnya kukut juga. Harun diminta menutup warung. Sampai kapan? Sampai Pak Parjo mendapat wangsit. Mulai sejak itu warga Desa Subur Makmur kecewa dan marah. Sebab, warung Pak Parjo sudah tidak lagi menjual rokok.
Mulanya, Pak Parjo menelepon sahabat lamanya. Mengorek informasi tentang tembakau aneka rasa. Sahabatnya itu lebih dulu mendulang sukses di dunia tembakau aneka rasa.Â
Suatu hari sahabatnya itu mengenalkannya pada distributor tembakau aneka rasa. Karena modal yang dimiliki masih kecil. Dan Pak Parjo belum bisa membeli tembakau dalam jumlah besar sesuai ketentuan, akhirnya ia putuskan mengecer dulu dari tembakau milik sahabat lamanya itu.
Perlahan tapi pasti, begitulah Pak Parjo bergerak. Ia tak mengira tembakau aneka rasa yang dijualnya laris manis. Tua dan muda berbondong merapat. Memilih, mencium, dan mencicipi sedot demi sedot tembakau tester aneka rasa yang memang disediakan gratis. Sejak saat itu, Pak Parjo putuskan mulai membeli tembakau aneka rasa dalam jumlah besar langsung kepada distributor.
Meracik rokok tester tembakau aneka rasa bukan perkara mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Oleh sebab itu, tak jarang Pak Parjo sering kena omel dari pelanggan setianya yang meniru racikan rokok.Â
Tudingan kerap kali datang. Ada yang bilang, kalau tembakau yang dijual itu, adalah palsu. "Ei! Seumur-umur menjual tembakau, belum pernah aku mendapat macam apa wujud tembakau palsu," ujarnya mengeluh sembari garuk-garuk gundul. Pelanggan setia Pak Parjo memang dikenal memiliki keunikan dan cenderung agak lain.
Salah satunya bernama Ujay. Usianya sepantaran Harun. Ia pelanggan setia Pak Parjo yang kerap eksperimen mencampur tembakau dengan saus yang aneh-aneh. Awalnya Ujay membeli tembakau rasa orisinal. Kemudian mencampurnya dengan saus terbuat dari saripati bunga mawar.Â
Alhasil. Rasanya seperti rokok putihan beraroma dupa. Padahal, ia berharap bisa sama seperti rokok Kudus yang terkenal wangi itu. Ujay tidak tinggal diam. Percobaan kedua masih dengan racikan yang sama seperti di awal tadi, kali ini hanya saja Ujay menambahkan saus cengkeh orisinal.Â
Ia yakin sekali, yang ini pasti berhasil. Pilihannya cuma dua. Kalau enggak rasa rokok khas Kudus pasti rokok rasa Kediri. Ujay segera memantik racikannya. Dihisapnya dalam-dalam. Ia terkejut. Matanya melotot. Ujay tak percaya, tembakau sangit dengan aroma kayu bakar yang ia dapatkan. Sesaat Ujay batuk-batuk.
Siang itu, Ujay bergegas ke warung Pak Parjo dengan perasaan merah murka. Tidak ada kata basa-basi. Ia langsung menuduh tembakau Pak Parjo kedaluwarsa. Sebelumnya. Tudingan tembakau palsu sudah pernah gagal. Kali ini Pak Parjo menunjukkan nota pembelian. Terbukti, saat Ujay membeli tembakau itu, tembakau Pak Parjo baru datang 2 hari sebelum Ujay meminangnya.
Bukan Ujay namanya kalau gampang menyerah begitu saja. Semangat juang menemukan racikan yang sesuai dengan seleranya masih terus bergelora. Ia mulai melirik beberapa tembakau untuk bahan percobaan lagi. Pak Parjo tidak tinggal diam.
"Apalagi?"
"Sebentar!" ujarnya melanjutkan, "Yang ini!"
Ditunjuknya tembakau rasa anggur. Pak Parjo tampak ragu dengan apa yang diinginkan Ujay.
"Yakin!!!"
"Hmmm."
Sesaat, Harun datang dan mendekat.
"Tunggu!" sergahnya.
"Eh... Tahu apa kamu, Run!" timpal Ujay meremehkan.
Harun menyodorkan dua batang rokok racikannya. Ujay memilih yang berbaret Ungu. Sesaat ia memantik dan membakar, lalu dihisapnya dalam-dalam. Terdengar lirih, "Whuuuhhhh.' Kemudian, geleng-geleng. "Nikmatnya!!!" ujar Ujay dan Pak Parjo mengernyit.
"Run!!! Tolong. Kasih tahu resepmu."
Sesaat, tak berselang lama Harun memberi Ujay secarik kertas yang berisi resep dari dua batang rokok yang diraciknya tadi.
Tiga minggu berlalu, batang hidung Ujay belum juga tampak di warung Pak Parjo. Harun dan Pak Parjo serasa kehilangan sosok yang dianggap unik dan cenderung agak lain itu. Entah kenapa, sore itu, Pak Parjo berniat menutup warung lebih awal. Ada yang ingin diutarakan tentang sesuatu kepada Harun menyangkut masa depannya. Tak berselang lama kepala desa datang. Berniat membeli tembakau rasa anggur lagi.
"Eh! Jo. Sudah kau dengar kabar Ujay terbaru?" mendadak Pak Parjo terdiam.
"Ulah apalagi yang dibuatnya kali ini. Jay... Ujay."
"Begini. Termutakhir, Ujay menemukan racikan rokok rasa tuak. Mantapkan!!!"
"Eh! Jangan mengarang kau!"
"La!!! Justru itu, resep katanya dia dapat dari kau." Harun mendengar sesaat terdiam beku. Dia menangkap keanehan terjadi pada resepnya. Pak Parjo turut serta diam, pura-pura tidak tahu menahu.
Kepala desa melanjutkan, "khusus yang ini, aku turut suka penemuan Ujay. Dampaknya sudah terasa. Tak pernah lagi kutengok pemuda di desa kita meneguk miras."
Pak Parjo angguk-angguk. Si Harun berusaha keras mengingat ulang resepnya itu. Kepala desa kemudian bergegas pamit. Tersisa mereka berdua melanjutkan obrolan hingga larut malam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, di rumah Ujay Harun menemuinya. Ujay mengemasi beberapa pakaian ke dalam koper. Kemudian menyapa Harun di kursi kayu jati.
"Aku ingin membawamu ikut bersamaku."
"Aku bangga padamu."
"Jangan begitu. Kalo bukan karena resepmu, aku tak mungkin bisa tahu di mana letak kesalahanku."
"Kesalahan...?"
"Ya. Betul sekali. Saus fermentasi anggur itu yang mengubah tembakau menjadi rasa tuak. Dan ditambah perpaduan saus cengkeh dengan kualitas terbaik menghasilkan aroma rokok menjadi sangat kuat."
"Tapi... aku tak menulisnya!"
"Justru kau yang mengawali itu."
"Berangkatlah, kawan." Ujar Harun bergegas bangkit dan beranjak pulang.
"Ikutlah bersamaku!!!" teriak Ujay.
"Desa ini memberiku banyak kenangan." Balas Harun melempar senyum.
Hari itu, setelah pertemuan itu, hujan turun sangat lebat. Tak berselang lama sebuah sedan mewah berjalan pelan kemudian berhenti sebentar. Kaca hitam belakang turun sangat pelan. Di bawah guyuran hujan Ujay menampakkan wajah, lalu melambaikan tangan.Â
Pak Parjo dengan senyumnya yang ramah mengangkat dua jempol tangan. Begitu pula Harun turut serta melambaikan salam perpisahan.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H