Merdeka Besok Saja
Lama sekali Kapten De van Dirk duduk di depan cermin. Sembari tangan kanan mengelus kumisnya yang sangat lebat. Tatapannya dingin ke sebuah tulisan besar di kertas lusuh yang hampir habis terbakar. Dibolak-balik kertas itu kemudian terdiam. Dibolak-balik lagi, lalu diam lagi. Begitu terus, seperti sedang mengumpulkan puzzle yang tercecer kemudian menyatukannya di kepala.
"Apa lagi yang kau ingat hari itu, Tuan Wiro!" tanya Kapten De van Dirk datar.
"Jadi ... Begini Tuan Kapten ..." tukas Centeng Wiro.
***
Ki Oemar tampak gelisah. Langkahnya tak menentu. Mondar-mandir tak jelas. Acap kali menatap ke atas, mulutnya komat-kamit. Sore itu cahaya begitu sangat merah, ia tahu ini pertanda tidak bagus.
Tak lama Sebuah cikar datang mendekat. Kusirnya turun menyerahkan sepucuk surat. Hanya sebentar saja cikar beserta kusir lalu pamit dan pergi.
Jika dugaannya benar, isi surat ini tentu ada kaitan dengan dua orang kepercayaan Ki Oemar yang tak kunjung kembali. Tak lama berselang Ruslan datang dengan kuda putihnya.
"Ki ...," sapa Ruslan melanjutkan. "Aku belum dapat kabar nasib Said dan Amir."
Ki Oemar melihat Ruslan dengan tatapan kosong.
"Ki ...," panggilnya lagi.
Ki Oemar bukan tidak mendengar, tapi ia berat sekali membuka mulut. Tiba-tiba tanganya mengulurkan sepucuk surat. Ruslan pun segara meraihnya, lalu dengan cepat membaca dengan lirih.
 Sesaat darahnya naik. "Kumpeni bangsaat," umpat Ruslan.
"Mulut-mulut bau busuk," tukasnya lagi.
"Bagaimana bisa mereka melakukan hal ini, jelas-jelas mereka yang buat aturan tapi mereka yang ingkar," ujar Ruslan begitu sangat kesal.
"Malam ini kumpulkan para penduduk. Kita bergerak sebelum subuh tiba," pinta Ki Oemar.
***
Kapten Van der Hok mengatur strategi bersama Letnan De Berg dan Letnan De Yong. Tujuan mereka hanya satu, besok pagi Ki Oemar harus ditangkap hidup-hidup. Keberadaannya mengusik stabilitas Hindia Belanda. Ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.