Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: 2300 MDPL Lebih Dua Menit

16 Juli 2023   14:21 Diperbarui: 16 Juli 2023   14:24 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2300 MDPL Lebih Dua Menit

Angin bertiup sangat kencang di puncak gedung kampus paling tinggi lantai 5. Sesosok laki-laki jangkung duduk mendekap kedua kakinya di atas genteng. Rambutnya yang gondrong melambai-lambai sedang sorot mata tertuju langit merah yang siap menyambut kumandang azan magrib.

Doni menatap kawannya itu dari balik pintu. Sudah 3 hari setiap menjelang sore Joni duduk termenung seperti itu. Dalam hati, ingin sekali Doni menyapa tapi niatnya selalu gagal.

***

Bunyi lirih besi stainless benturan panci dan kompor kamping singgah di telinga Doni. Sontak ia terbangun. Pandangannya langsung ke arah Joni yang sedang berkemas-kemas di tas hitam besar menganggak seperti mulut tombro yang siap menyambar pelet. Tahu kawannya terbangun Joni memberi isyarat kedutan mata dan melempar senyum pada Doni.

"Beres, Don." Ujar Joni pelan.

Doni tidak menjawab dia masih duduk heran menatap Joni. Tapi Joni masih melempar senyum, dia tahu belum lengkap tujuh nyawa kembali ke raga.

Pagi itu kampus sangat sepi hanya ada mereka berdua saja di gedung paling tinggi tepatnya di salah satu UKM. Maklum sekarang jadwal libur akhir semester jadi wajar jika hanya ada mereka dan satpam.

Doni coba tanya dengan suara agak serak, "Jon. Mau pergi ke mana?"

"Ikut Don!" timpal Doni.

"Rencana nanjak ke mana?" tanya Doni lagi.
"Tipis-tipis aja. Gimana ikut?" tanya Joni balik.

"Boleh," jawabnya singkat.

Joni senang dengar jawaban itu. Tidak ingin membuang waktu. Joni mengajak belanja beberapa keperluan untuk mendaki.

Tidak banyak sebetulnya yang mereka butuhkan. Karena tidak satu kali ini mereka mendaki. Hanya saja kali ini sangat spesial bagi Joni. Dan tentu sekalian mengisi waktu di sela-sela libur semester.

Sebenarnya Doni sudah sering memancing Joni untuk mendaki. Tapi entah kenapa Joni selalu menolak. Tidak seperti biasa kawannya itu sering menyendiri di loteng kampus. Doni jadi tidak enak jangan-jangan Joni jadi kepikiran karena ajakannya yang terus-menerus itu. Tapi kali ini Doni coba memberanikan diri bertanya apa sebab dia sering menyendiri.

Sore langit begitu tampak jingga cerah. Pemandang dari loteng sangat indah. Rumah-rumah di kaki gunung tampak jelas. Sejelas gerobak bakso yang melintas di bawah mereka.

"Sudah berapa kali Gunung Tanggung itu kita singgahi?" sapa Doni sembari mendekati kawannya.

"Entahlah. Tapi. Besok sore kita ke sana lagi." Jawab Joni dengan senyum.

"Jon! Maaf ya, kalau aku sering nagih kapan mendaki," ujar Doni kalem.

"Aigh. Tak apa Don. Lagian kalau nggak nanjak apa lagi hiburan kita," balasnya senang.

"Tapi seumpama ada yang ikut, ya nggak apa-apa kan Jon?" tanya Doni.

"Mana ada yang mau ikut Don. Kamu tahu sendiri kan. Ini libur semester. Temen-temen pada mudik semua," balas Joni.

"Iya sih," ujarnya singkat. Melanjutkan "Aku suka mendaki Gunung Tanggung itu. Tingginya yang 2300 meter dari permukaan laut, menurutku nggak rendah juga nggak terlalu tinggi."

"Itu dia Don. Kenapa besok aku ingin sekali ke sana. Aku sudah menanti momen ini jauh-jauh hari," ujar Joni semangat.

Belum sempat Doni meneruskan obrolan, suara azan magrib mengumandang dari toa-toa masjid dan surau. Warna jingga di langit kian memudar. Berganti gelap datang menyambut. Mereka berdua turun dan menunaikan kewajiban. Kemudian pergi makan malam.

***

Entah kenapa pendakian kali ini Doni merasa ada sesuatu yang disimpan sahabatnya itu. Dari pengalaman yang dulu-dulu untuk berangkat biasanya mulai jam 16:00 bahkan bisa molor setengah jam.

Sebenarnya hanya butuh 7 jam saja untuk mendaki Gunung Tanggung. Kemungkinan sampai puncak sekitar jam 00.00 dan itu bisa lebih cepat. Tapi kali ini Joni justru ingin jam 15:00 berangkat dan tidak mau molor. Tidak ingin Joni kecewa, Doni mengiyakan saja.

Perjalanan diawali dengan naik angkot menuju terminal. Jalan kota tampak sepi tidak mancet. Itu mungkin karena liburan semester. Hanya butuh 20 menit saja sudah tiba di terminal.

Jarum jam menunjukan pukul 15:25 Joni dan Doni sudah di bis duduk paling belakang. Penumpang tidak banyak sama persis seperti angkot tadi. Memang rata-rata angkutan umum penuh karena dominasi penumpangnya mahasiswa.

Bis sudah berangkat suara mesin terdengar meraung-raung. Asap hitam sesekali terlihat mengepul dan coba masuk dari celah-celah pintu dan jendela. Bis tidak memiliki pendingin kabin, karena memang tidak dibutuhkan. Cuaca yang dingin sudah cukup mewakili.

Lagi-lagi perjalanan sangat lancar dan hanya butuh waktu 35 menit untuk sampai di gerbang tertulis, 'Wisata Gunung Tanggung'.

Arloji menunjukan pukul 16:00. Perjalanan lanjut dengan jalan kaki. Menuju pos pertama dengan melawati rumah-rumah warga. Jalur ini hanya satu dan memang sengaja dibuat satu. Hal ini dibuat untuk pendataan jumlah pendaki.

Gunung Tanggung biasanya digunakan untuk latihan para pendaki pemula sebelum mereka mendaki ke gunung yang lebih tinggi lagi. Maka dari itu warga setempat melalui karang taruna memperbaiki jalur pendakian menjadi lebih mudah dan tidak curam. Untuk dana pemeliharaan didapat dari karcis retribusi.

Alhasil Gunung Tanggung memiliki banyak jumlah pengunjung. Rata-rata para pengunjung hanya sampai pos kedua, atau sering disebut 'Latar Ombo'. Ketinggiannya hanya 1600 mdpl. Di sebut latar ombo karena tempatnya yang luas. Bisa menampung banyak orang. Sering dipakai kegiatan pramuka dan outbound.

Joni dan Doni sudah melewati Latar Ombo. Justru mereka sekarang sudah di pos tiga. Atau sering disebut 'Watu Gede'. Pos ketiga adalah pos paling akhir dan kebalikan dari pos kedua. Di sini tidak bisa dijadikan tempat pendirian kemah. Ya karena, banyak batu besarnya. Tempat ini hanya untuk istirahat sementara saja sebelum lanjut menuju puncak.

Jarum jam menunjukan pukul 19:30. Butuh waktu dua jam untuk bisa ke puncak Gunung Tanggung. Joni memutuskan untuk istirahat agak lama di Watu Gede. Ia melihat Doni seperti tampak lelah. Jangan-jangan langkahnya terlalu cepat.

Walau langit sudah petang tapi cahaya bulan cukup untuk menerangi Watu Gede. Sehingga mereka bisa hemat daya baterai senter. Doni merogoh-rogoh saku di jaketnya. Ia mendapati coklat kesukaannya tinggal satu. Doni biasa makan coklat ketika mendaki katanya untuk menambah energi.

"Don!" panggil Joni sambil memberi sesuatu.

"Apaan ini Jon?" tanya Doni sembari matanya menyipit.

"Hadiah ulang tahun." Jawab Joni singkat.

"Ya Ampun Jon. Jadi ini alasanmu ngajak aku nanjak," Timpal Doni tersenyum.

"Nggak hanya itu," jawabnya lagi singkat.

"Jon-Jon. Aku sendiri lupa," ujar Doni tertawa.

"Aku tahu hadiah yang pas untuk seorang pendaki sepertimu," ujar Joni menahan tawa.

"Hmm. Ya-Ya. Dan cuma kamu yang tahu. Tapi kok bisa pas gini Jon? Pas coki-coki di saku jaketku habis," tanyanya lagi.

"Aigh. Ayo dilanjut. setengah jam kita istirahat sudah" kata Joni.

Perjalanan lanjut ke puncak Gunung Tanggung. Waktu sudah pukul 20:00. Cuaca semakin dingin. Perjalanan mereka di temani bayang-bayang pohon cemara dari pancaran terang sinar bulan. Semakin ke puncak jalan semakin mengecil. Hanya tinggal setapak. Tapi walau begitu jalannya bagus tidak licin dan berpasir.

Dibutuhkan waktu dua jam lagi bisa sampai. Puncak Gunung Tanggung bisa menampung 20 tenda kubah. Pukul 21:50 mereka sudah sampai puncak lebih cepat 10 menit dari perkiraan. Setelah berkeliling di area puncak Joni dan Doni memilih tempat kemudian memasang tenda. Lalu lanjut menyiapkan kompor dan panci portable untuk membuat kopi.

Waktu menunjuk pukul 22:50. Joni duduk di matras hitam di depan tenda. Menghadap ke arah pemandangan lampu-lampu kota yang terlihat sangat kecil. Rasa dingin tidak terlalu hebat sebab langit terlihat sangat terang.

"Buku apa itu Jon?" tanya Doni sembari membawa lampu petromak LED dan menemani duduk

"Oh. Hanya doa-doa saja," jawabnya singkat.

"Tapi. Itu. Seperti nama ayahmu!" tanya Doni lagi.

"Iya Don. Ini buku yasin ayah sewaktu 40 hari setelah beliau wafat," jawabnya tersenyum.

"Sik-Sik. Jon. Jadi ini maksudmu nanjak pas di tanggal 23, bulan 3. Dan di jam 23:00 kamu mau kirim doa?" tanya Doni penasaran.

"Nggak Cuma itu Don," ujarnya singkat.

"Terus?" Doni semakin penasaran.

"6 tahun lebih sedikit kira-kira begitu," sembari ambil napas panjang. Melanjutkan. "Sudah kuhitung sungguh-sungguh dan ini pas di hari ke-2300 sejak kepergian ayah. Itu artinya sama persis dengan tinggi Gunung Tanggung ini." Jelas Joni masih menatap buku yasin ayahnya.

Doni tiba-tiba terdiam mendengar itu, kemudian sorot matanya tergesa. Ia lihat jarum jam sudah masuk pukul 23:02.

"Lo ... Jon. Kok eman Jon. Sudah lebih 2 menit," ujarnya terburu.

"Nggak apa Don. Yang penting sudah jam 23:00," balasnya santai.

"Tapi ... Lebih 2 menit," ujarnya lagi.

"2 menit artinya, hanya tinggal kita berdua," balas Joni sambil menepuk pundak Doni.

"Bawa lagi?" tanya Doni penuh senyum.

"Nih," ujar Joni sambil mengeluarkan buku yasin lagi dari saku jaketnya.

Tak lama dua sahabat itu saling melempar senyum. Mereka berdua kemudian larut dengan doa-doa. Diiringi muncul bintang-bintang di penjuru langit yang semakin lama semakin tak terhitung jumlahnya. Seakan sang ayah datang menyaksikan Joni, Doni, dan Gunung Tanggung.

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun