Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli Kasar

Sedang menjalin hubungan baik dengan Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Operasi Tangkap Tangan

20 April 2023   17:12 Diperbarui: 21 Desember 2024   07:28 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Operasi Tangkap Tangan

Sejak usai era reformasi Joni sudah tidak lagi pernah terlihat. Jangankan batang hidungnya andai mati tak ada kabar di mana kuburnya. Beberapa teman seangkatan yang dulu sama berjuang masih sering bertanya-tanya, hal itu lantaran peran Joni yang sangat kuat. Maklumlah, teman-temannya itu kini sukses di beberapa pos strategis dunia politik berkat Joni.

Sebagai sosok penting kala itu Joni tak sendiri sebetulnya. Di belakang ada dua teman yang selalu memberi amunisi debat yang siap membuat lawan-lawannya berkeringat dingin. "Rot. Tambah lagi satu cappuccino," tukas salah satu teman yang sedang kumpul satu meja berbentuk kotak yang lagi membahas proyek strategis.

Tak berselang lama satu teman datang dengan tangan menenteng buku folio kecil motif batik merah kotak-kotak mirip buku kasbon hutang piutang. "Dua kopi hitam Bro," pinta Urip menyapa sembari bersandar di dinding depan warung Djarot.

"Masih saja kau jatah kopi hitam orang gila itu," ujar salah satu orang yang sedang kumpul di meja kotak tadi.

"Gila-gila gitu dia orang paling setia datang saat warung ini sepi," tukas Urip yang disambut senyum dari Djarot sembari mengantar dua kopi hitam.

"Halah datang tak bayar saja kau banggakan," balas salah satu dari mereka. "Sudah-sudah, kapan final urusan kita ini," tukas satu orang di meja kotak itu lagi.

Siang itu cuaca tak begitu panas, angin semilir menyapu warung membuat suasana semakin mesra. Urip dan Djarot duduk bersama masih bersandar di dinding warung. Tatapan bola mata tertuju pada teman-temannya yang lagi kumpul dan boleh dikata sukses ketimbang nasib mereka berdua. Maklum semenjak kehilangan jejak Joni nasib mereka tak menentu. Agak gembel-gembel gimana gitu.

Sambil menyulut sebatang rokok terlihat wajah Urip yang tiba-tiba sumringah. "Suro datang bro, dia datang," ujar Djarot senang.

Siapa lagi kalau bukan laki-laki gila bersarung lusuh berbadan tegap berkulit hitam penuh bolot. Rambut gondrong berantakan dan di bibirnya sepotong rokok yang tak terlihat ada bara api menyala.

"Kopiku, mana kopiku!" ujar Suro dengan tatapan tajam.

"Ayo sini duduk," ujar Urip sembari menyodorkan kopi hitam kesukaannya.

"Rokok, nih rokok," tukas Djarot turut menyodorkan juga.

Tahu ini yang dicari Suro langsung menyambar bungkus rokok dari Djarot itu, kemudian membuang utis yang dari tadi dipegang.

"Nggak bisa!" terdengar cukup keras dari kerumunan meja kotak. "Proyek tempo itu kau tak tepat janji. Persen yang kau berikan tak sesuai," ujarnya diiringi beberapa teman sejawat memberi isyarat telunjuk di mulut.

Djarot dan Urip sudah terbiasa mendengar kata persan-persen seperti itu. Cuma kali ini Suro yang tampak dari raut wajah sepertinya jengkel. "Agak pelan dong! Korek apiku padam sebab suara kalian," ujar Suro dengan mata tajam mengarah pada enam orang di meja kotak itu.

"Diam kau orang gila tahu apa," balas salah satu dari mereka. "Pergi ke salon urus saja rambut gimbalmu itu," sembari tertawa-tawa.

Suro tak ada gelagat tersinggung, sudah biasa ucapan seperti itu ia terima.

Tapi di antara enam orang tadi salah satu ada yang merasa janggal. Bukan karena gara-gara dari mereka menyentak, tapi nama Suro seperti tak asing di telinga saja.

"Gimana sudah reaksi rasa rokoknya?" tanya Djarot pada Suro. "Ngomong opo awakmu," balas Suro datar dan biasa.

Tak lama tiba-tiba terdengar sirine ramai saling bersahutan, Suro yang baru saja menghisap rokok terkejut, tatapannya sinis ke arah mobil rantis yang mendekat. Dilihat satu persatu personil turun dengan pistol di tangan, beberapa juga bawa laras panjang.

"TANGKAP MEREKA BERTIGA!" perintah pria tegap nun gagah berseragam dinas yang sepertinya komandan.

"Tangan di atas. Ayo cepat tangan di atas." Ujar personil sambil mengacungkan pistol.
Djarot dan Urip patuh tanpa perlawanan. "Salah kami apa Pak?" tanya Urip sedikit menunduk.

"Kami dari kesatuan narkotika mencium bau-bau keterlibatan kalian menggunakan barang haram." Jelas salah satu personil sambil mengacungkan pistol.

Suro tampak gelisah dan coba untuk berusaha kabur, tapi sayang gelagatnya terbaca oleh salah satu dari personil kemudian dengan mudah melumpuhkan. Suro pun terkapar di tanah dengan posisi tangan di belakang lalu diborgol. "Salahku opo, salahku opo," gumam Suro terus begitu.

"Rot! Kurang ajar kau," bentak Urip melototi kawannya itu karena barang haram. "Ini fitnah. Ini setingan, jelas sekali ini fitnah." Teriak Djarot tak karuan omongannya.

"Selesaikan di kantor saja Tuan-tuan," Ujar Komandan tenang.

Dengan cepat beberapa personil memborgol Djarot dan Urip yang sembari sambat. "Bisa pelan Pak! Ini sakit sekali."

Tetapi para personil tak peduli dan mereka bertiga digiring masuk mobil rantis yang dalamnya dikelilingi jeruji besi.

Enam orang di meja kotak tadi sedikit lega, napas panjang terdengar lepas dari hidung. Tak lama berselang satu komandan menghampiri sambil menunjukan sepucuk kertas bertulis tinta hitam.

"Menindaklanjuti surat ini. Kami dari satuan anti rasuah menangkap tuan-tuan berenam. Untuk pembelaan silakan  di kantor saja," ujar Komandan tegas dan mantap.

Beberapa personil segera memborgol mereka berenam. Cukup mudah walau sedikit ada perlawanan ringan. Dengan langkah cepat satu persatu masuk mobil rantis yang berbeda dari Djarot.

Di perjalanan Djarot mengeluh kesakitan karena borgol besi. Dan dalam mobil rantis itu ada lima personil bersenjata yang di depan ada dua, satu sopir dan satu pendamping. Sedang di belakang ada tiga personil yang dari mereka tersenyum dan tertawa-tawa.

"Apa yang kalian tertawakan!" tukas Djarot sangat jengkel.

"Maaf Tuan ini bagian dari perintah komandan," balas salah satu personil sambil membuka kunci borgol.

"Terlalu. Ini di luar SOP. Tapi tadi kalian terlihat galak sekali," ujar Djarot ganti membuka borgol di tangan Urip dan Suro.

"Dadaku sakit sekali saat di tanah tadi. Lain kali kasih alas dong," timpal Suro sedikit sewot yang disambut gelak tawa para personil.

Di lain sisi, di dalam mobil rantis enam orang yang tertangkap basah tadi masih diam membisu kemudian saling menatap heran. Dan satu di antara mereka baru saja menyadari siapakah sosok Suro sebetulnya. Sambil menggeleng kecil terdengar suara lirih.

"Joni Kertasuro Wibowo."

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun