"Ayo sini duduk," ujar Urip sembari menyodorkan kopi hitam kesukaannya.
"Rokok, nih rokok," tukas Djarot turut menyodorkan juga.
Tahu ini yang dicari Suro langsung menyambar bungkus rokok dari Djarot itu, kemudian membuang utis yang dari tadi dipegang.
"Nggak bisa!" terdengar cukup keras dari kerumunan meja kotak. "Proyek tempo itu kau tak tepat janji. Persen yang kau berikan tak sesuai," ujarnya diiringi beberapa teman sejawat memberi isyarat telunjuk di mulut.
Djarot dan Urip sudah terbiasa mendengar kata persan-persen seperti itu. Cuma kali ini Suro yang tampak dari raut wajah sepertinya jengkel. "Agak pelan dong! Korek apiku padam sebab suara kalian," ujar Suro dengan mata tajam mengarah pada enam orang di meja kotak itu.
"Diam kau orang gila tahu apa," balas salah satu dari mereka. "Pergi ke salon urus saja rambut gimbalmu itu," sembari tertawa-tawa.
Suro tak ada gelagat tersinggung, sudah biasa ucapan seperti itu ia terima.
Tapi di antara enam orang tadi salah satu ada yang merasa janggal. Bukan karena gara-gara dari mereka menyentak, tapi nama Suro seperti tak asing di telinga saja.
"Gimana sudah reaksi rasa rokoknya?" tanya Djarot pada Suro. "Ngomong opo awakmu," balas Suro datar dan biasa.
Tak lama tiba-tiba terdengar sirine ramai saling bersahutan, Suro yang baru saja menghisap rokok terkejut, tatapannya sinis ke arah mobil rantis yang mendekat. Dilihat satu persatu personil turun dengan pistol di tangan, beberapa juga bawa laras panjang.
"TANGKAP MEREKA BERTIGA!" perintah pria tegap nun gagah berseragam dinas yang sepertinya komandan.