Adakah hasil yang kudapat untuk hari ini kawan. Aku sangat berharap sekali dari pekerjaan ini. Ayolah, sedikit saja senyummu itu sungguh mampu membuatku bertahan untuk satu hari ini.
Apa yang kau harapkan dari pekerjaan itu, dan bagaimana mungkin kau menaruh harapan padanya. Bukankah berulang kali kubisikkan, lakukan saja apa yang menurut kata hatimu baik janganlah kau halangi, lakukan saja.
Baiklah-baiklah. Maaf, bukan maksudku tak percaya, tapi... Terkadang di belahan hatiku yang lain berkata, 'tidak.'
Kalau begitu kau tak memerlukanku lagi!
Jangan-jangan, jangan begitu. Bukankah kau yang mengajarkanku untuk selalu berprasangka baik!
Aku tak mengajarkan hal itu kepadamu, aku hanya membisikan saja. Aku tak punya wewenang untuk masuk ke wilayah itu. Dirimu harus mencarinya lagi. Bisikanku mungkin saja benar, tapi ada wilayah yang tak bisa kucampuri, salah satunya di wilayah...
Ya, ya, lagi-lagi aku yang selalu memutuskan. Tapi, tetaplah di dekatku kawan. Aku selalu membutuhkanmu.
Hmm, seharusnya begitu. O ya, coba kau lihat lagi sisi kanan pipimu, sepertinya ada yang kurang. Tambahkan lebih banyak lagi, tunjukkan sisi lain dari dirimu.
Bagaimana, apakah sudah sesuai?
Dirimu itu terlalu banyak tanya, sampai kapan hal remeh-temeh seperti ini tak bisa kau selesaikan. Ayolah kawan, mandirilah.
Aih, baru kali ini makhluk sepertimu mengeluh. Aku kira hanya diriku. Sudahlah, sana pergi saja. Kali ini aku tak membutuhkanmu.
***
Sore itu, satu jam sebelum memasuki waktu magrib aku berkemas-kemas. Hasil dari pekerjaanku memang tak seberapa tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan kampung perut hingga esok pagi.
Tapi di hari-hari sebelumnya, aku selalu tampil maksimal hingga sepuluh menit sebelum memasuki azan magrib. Namun untuk hari ini tidak, sekitar pukul 16:30 tadi, beberapa pemuda berpenampilan kaos berkerah dengan setelan jas bertempel logo akademik mendatangiku, tentunya itu sudah pasti pakaian almamater.
Tak lama mereka memperkenalkan diri dan berbincang-bincang singkat denganku. Beberapa dari mereka kemudian menawarkan kerja sama, kiranya aku berkenan untuk ikut serta dalam acaranya, yaitu pertunjukan teater gerakan tubuh serta ekspresi wajah yang diadakan di sebuah aula kampus dalam rangka memperingati hari jadi di unit kegiatan yang mereka naungi.
Tentu saja dengan senang hati aku mengiyakan tawaran tersebut. Sebuah kesempatan yang tak mungkin aku tolak begitu saja. Keinginanku untuk bisa masuk kampus paling tidak terpenuhi, ya walaupun hanya sekedar tampil untuk beberapa saat saja.
Sebenarnya, aku merasa gugup. Hatiku selalu bertanya-tanya perihal apa yang membuat mereka memberiku sebuah kesempatan untuk tampil di acaranya itu. Aku melakukan pekerjaan ini hanya bermodal dari tontonan di media sosial. Nggak ada tuntunan teknik khusus yang aku mengerti. Bahwa bermula harus seperti ini dan kemudian seperti itu. Aku hanya mempelajarinya autodidak saja.
***
Setelah kejadian sore itu, betul-betul membuat hatiku selalu bertanya-tanya. Bukan karena aku gugup bakal tampil dan disaksikan belasan mahasiswa. Tapi soal apakah sudah benar yang kulakukan selama ini dengan pekerjaan yang telah menghidupiku selama satu dekade ini. Bila soal disaksikan oleh siapa pun bagiku tak jadi masalah. Itu sudah menjadi makananku sehari-hari.
Daripada waktuku terbuang hanya karena pikiran galau tersebut, ada baiknya aku menanyakan kepada kawanku saja. Biasanya dia pasti hadir jika aku betul-betul menghadapi sebuah kebimbangan. Biasanya sih, biasanya. Tapi jika dia tak juga hadir aku cukup menggunakan jurus lama, yaitu dengan teriakan yang melengking. Oke, aku panggil dia kali in...
Sudah-sudah, cukup, tak usah kau keluarkan teriakanmu itu, ayo segera katakan apa yang menjadi kebimbangan dalam dirimu kali ini.
Hmm, kemana saja kau kawan. Apa kau tak tahu beberapa hari yang lalu aku mendapatkan tawaran dari...
Aih, kau pikir aku buta dan tuli begitu! Sudahlah, ayo, apa yang ingin kau luapkan kali ini?
Aku harus memulai darimana kawan! Sedang aku tak tahu gerakan apa yang harus kulakukan untuk mengawali pertunjukan itu.
Ooo, jadi kamu seolah lupa, darimana kamu harus mengawalinya. Bukankah selama satu dekade itu kamu lakukan pekerjaan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupmu. Dan selama itu pula aku tak pernah mendengarmu mengeluh sebegitu hebatnya seperti hari ini. Jadi sekarang kamu lupa begitu untuk mengawalinya!
Bukan itu kawan, bukan itu maksudku.
Apa, hayo, apa lagi alasan yang akan kamu ungkapkan, hah!
Begini... Eee,
Begini apa, bertele-tele saja. Sudahlah, bukankah kamu pengagum sosok Charlie Chaplin. Apakah ada keharusan bahwa gerakan pantomim memerlukan awalan teknik khusus!
Sebenarnya aku tak pernah mengetahui sepenuhnya, akan tetapi aku selalu melakukan gerakan itu sesuai dengan tema apa yang akan kupertunjukan di khalayak umum. Hanya itu saja.
Ya sudah, lakukan apa katamu tadi itu. Begitu aja kok repot. Dasar!
Hmm, oke-oke. (Aku pun menarik napas dan dalam,) Makasi ya sudah mengingatkan. Kamu memang kawan yang... ...Â
... ... ... Lo, mana. Mana kawanku tadi. Eh, jangan pergi dulu. La kok enak kamu, main pergi saja tanpa pamit. Kawan macam apa itu!
Cerpen: "Bukan Monolog" #2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H