Kami melihat betul adanya kayu dipan itu terjatuh dan kembali, itu berulang-ulang kali. Aku bisikan ke Uping, bahaya-bahaya. Uping masih tenang. Kemudian dia mulai meracau yang aku sendiri tak tahu maksudnya,
"Sudah ya Bu, cukup sampai di sini. Ini aku sedekah menyan, semoga ada artinya. Ini tulus pemberianku. Aku punya kebaikan, yang kuberikan pun kebaikan. Bila aku punya kejahatan, maka yang aku kubur kejahatan. Sudah Bu ya. Sampean boleh pilih mana, monggo"
Setelah meracau. Spontan kayu usuk itu pun berhenti. Sudah tak berbunyi dan tak bergerak-gerak aneh. Lalu Uping pun mendekati dipan, membenahi kayu-kayu usuk itu. Dirasa sudah beres Uping dan aku keluar dari kamar tengah. Kami pun begadang hingga subuh.
Keesokan harinya
Setelah seminar kompreku selesai, aku memutuskan untuk kembali ke kosku yang lama. Aku merasa beban skripsiku telah usai 90%. Aku pun berpamitan ke pemilik Kos Bu Toga, Pak RT, dan beberapa warga yang kukenal di lingkungan tersebut.
Dan Uping yang juga mengantarkanku untuk kedua kalinya kembali ke kosku yang lama. Sebelum dia berpamit pulang, aku memintanya untuk bercerita. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah itu.
Saat itu, Uping masih SMP. Dulu sebelum rumah itu terbeli oleh Bu Toga. Ada tragedi gantung diri. Bu Toga itu pun pembeli dari tangan ketiga. Jadi nggak tau apa-apa malahan.
Jadi si pemilik tangan pertama ini, seorang PNS (ejaan lama). Ketahuan selingkuh di sebuah diskotik, istri sah yang sedang hamil anak pertama menguntit dan terjadi cekcok besar. Kemudian mendapatkan perlakuan tak pantas, tak terima dengan perlakuan itu putus asa, gantung diri bersama kandungannya di sumur pertama dekat dapur. Sumur bekas gantung diri itu, sekarang di tutup. Di ganti, berlangganan PDAM.
Begitu cerita singkat dari Uping menyan. Dan hingga saat ini, aku tak pernah tau wajah pemilik rumah itu, Bu Toga. Kami hanya berhubungan via telepon.
Setelah apa yang telah aku alami, dapat kusimpulkan. Betapa penting, mengetahui sejarah tempat tinggal dan jangan pernah nekad bila harus berhubungan dengan yang tak kasat mata. Kecuali betul-betul mampu mengukur kekuatan hingga sanggup menyelesaikannya dengan cara berdikari.
Mau coba, monggo japri saja. Aku mah nggak mau lagi, kapok.