Oke, yang jelas ini bukan Paijo. Tapi, sebut saja temanku yang aneh ini bernama "Uping Menyan", tentu bukan nama asli, tapi dia hobinya bawa menyan.
Gini, sore itu aku curhat sama Uping menyan. Minta dicarikan info kos murah. Kalau bisa lebih murah dari kos ku yang waktu itu harga sewa perbulan 165ribu.
Dengan matanya yang tajam, dan pikiran melayang hingga menembus langit sap tujuh. Kemudian berucap, "ada" katanya. Dia pun memberikan nomor pemilik kos itu.
Bisa diandalkan memang si Uping menyan ini, cepat, tepat, dan aktual. Tak lama, tanpa surfei aku langsung "kontek" pemilik kos hasil rekomendasi Uping ini.
Saat kutelepon, pemilik kos sebut saja bernama "Bu Toga". Bertutur, bila cocok, harga sewa perbulan 55ribu. Yaa, respon pertamaku terkejut.
Bu Toga ini tinggal di Bogor. Jarang sekali pulang ke Malang.
Oke, mungkin ini yang di sebut 'Pucuk dicinta ulam tiba'. Sesuai rencana, bisa berhemat demi mempercepat skripsi.Â
Hingga waktu pindah pun tiba. Aku kaget betul, pertama kali datang. Rumah sebesar ini dibiarkan begitu saja.
Rumahnya besar memanjang. Pintu masuk dari samping kiri, cukup lebar. Bisa buat parkir dua mobil dengan posisi paralel.
Kamar kos ada dibelakang, di lantai 2. Disambut kamar mandi, tangga dan dapur di lantai dasar.
Waktu kutelepon. Bu Toga menawarkan, pilih kamar yang tengah saja, besar dan luas. Harga tetap sama. Atau pilih kamar yang pojok kanan ada balkonnya. Enak, bangun pagi langsung disambut sinar matahari.
Tapi aku menolak. Aku lebih suka kamar pojok kiri yang dekat tangga. Karena aksesnya dekat kamar mandi dan dapur. Letak dapurnya pun pas dibawah kamarku.Â
Singkat cerita. Setelah berjalan hampir 2 bulan, ada undangan rapat pertemuan RT membahas rencana kerja bakti. Aku pun turut mewakili.
Sebenarnya nggak ada kewajinan juga sih, cuma aku nggak enak hati. Tiap sore bersapa ria bersama warga saat siram-siram bunga, kok ada kumpul rapat nggak hadir. Itung-itung nambah keakraban apa salahnya.
Karena warga sangat welcome. Aku cocok sekali dengan suasana rapatnya. Selain menambah kenalan baru, aku pun memperoleh keuntungan lain, yaitu menambah perbaikan gizi, alias makan gratis. Hihihi... Dasar anak kos.
Oke, setelah rapat usai, tiba-tiba Kepala RT mendekatiku. Bertegur sapa.
Kok kerasan kata Pak RT. Yaa, kubilang saja, karena murah. Siapa yang merekomendasikan kos di situ, kata Pak RT. Yaa, kujawab si Uping menyan. Uping nggak cerita toh kata Pak RT lagi. Ku jawab nggak ada cerita apa-apa, jawabku.
Ya sudah, besok Bu Toga biar kutelepon. Lihat bulan depan, gratis kamu kos di rumah itu.
Oh ya, dulu waktu aku dan Uping menyan lapor RT, kebetulan yang menerima fotocopy berkas-berkasku istrinya.
Semenjak gara-gara ikut rapat RT itu. Beneran, kos ku gratis, tapi ada S&K (Syarat Ketentuan berlaku). Bu Toga via telepon, bertutur, mulai bulan depan, kos gratis (free no money). Tapi selain siram-siram bunga, minta di sapu teras rumah. Rumput-rumput dicabut dan dibersihkan. Oke nggak masalah buatku, gampang.
Setelah kejadian bayar kos gratis, aku berkunjung kerumah Pak RT. Aku bilang padanya terima kasih sudah membantu meringankan beban.
Pak RT cuma berpesan, segera selesaikan skripsi. Dan nitip pesan untuk Uping, agar sering-sering datang menemaniku.
Nah, di sinilah awal mula tumbuh rasa curiga.
Terkadang aku mendengar suara air gemercik baik dari kran kamar mandi maupun wastafel cuci piring.
Tapi tentang hal itu aku cuek saja. Mungkin ini rasa kecapekan yang terbawa dari beban skripsi Bab 3.
Memasuki awal bulan ke-5. Mulai bertambah suara-suara misterius aneh. Seperti, gayung air jatuh, suara sendok jatuh, bahkan terdengar suara gelas pecah.
Tapi saat kutengok ke dapur nggak ada apa-apa. Aku masih saja beranggapan mungkin ini rasa capek berlebihan karena beban skripsi sudah mencapai Bab 4, dan sudah mendekati jadwal seminar kompre (komprehensip). Yang kurang dua hari lagi, tepatnya pada hari kamis.
Saat hari selasa itu, sebetulnya aku sudah merasa terganggu suara benda jatuh-jatuh semakin mendekat. Kali ini seperti suara kayu jatuh dari kamar tengah. Namun aku masih tetap untuk berusaha kuat, hingga keesokan harinya.
Tak berlama-lama, aku telepon Uping menyan. Sebaiknya hari rabu bermalam di kosku. Aku butuh bantuannya, karena hari kamis, harus seminar kompre. Aku butuh teman, untuk mengusir rasa gugup, takut, dan cemas.
Dia pun mengiyakan. Tibalah hari rabu itu, aku menyebutnya malam puncak tragedi kayu dipan. Tepatnya pukul 11:15, mulai bunyi kayu dipan jatuh dari kamar tengah. Aku dan Uping yang lagi bagadang di balkon, mulai aneh.
Uping sendiri sudah paham sebenarnya. Dia hanya memunggu moment yang pas.
Kemudian, terjadi suara kayu dipan semakin keras, semakin lama. Membuat bulu kudukku berdiri. Uping pun segera mengeluarkan, kayu menyan dari dalam tasnya. Kemudian dibakarnya kayu itu.
Tercium betul aroma kayu menyan, menyengat. Uping mendadak senyum-senyum. Dia beranjak dari balkon. Menuju kamar tengah. Aku turut mengikutinya.
Kami melihat betul adanya kayu dipan itu terjatuh dan kembali, itu berulang-ulang kali. Aku bisikan ke Uping, bahaya-bahaya. Uping masih tenang. Kemudian dia mulai meracau yang aku sendiri tak tahu maksudnya,
"Sudah ya Bu, cukup sampai di sini. Ini aku sedekah menyan, semoga ada artinya. Ini tulus pemberianku. Aku punya kebaikan, yang kuberikan pun kebaikan. Bila aku punya kejahatan, maka yang aku kubur kejahatan. Sudah Bu ya. Sampean boleh pilih mana, monggo"
Setelah meracau. Spontan kayu usuk itu pun berhenti. Sudah tak berbunyi dan tak bergerak-gerak aneh. Lalu Uping pun mendekati dipan, membenahi kayu-kayu usuk itu. Dirasa sudah beres Uping dan aku keluar dari kamar tengah. Kami pun begadang hingga subuh.
Keesokan harinya
Setelah seminar kompreku selesai, aku memutuskan untuk kembali ke kosku yang lama. Aku merasa beban skripsiku telah usai 90%. Aku pun berpamitan ke pemilik Kos Bu Toga, Pak RT, dan beberapa warga yang kukenal di lingkungan tersebut.
Dan Uping yang juga mengantarkanku untuk kedua kalinya kembali ke kosku yang lama. Sebelum dia berpamit pulang, aku memintanya untuk bercerita. Apa yang sebenarnya terjadi dengan rumah itu.
Saat itu, Uping masih SMP. Dulu sebelum rumah itu terbeli oleh Bu Toga. Ada tragedi gantung diri. Bu Toga itu pun pembeli dari tangan ketiga. Jadi nggak tau apa-apa malahan.
Jadi si pemilik tangan pertama ini, seorang PNS (ejaan lama). Ketahuan selingkuh di sebuah diskotik, istri sah yang sedang hamil anak pertama menguntit dan terjadi cekcok besar. Kemudian mendapatkan perlakuan tak pantas, tak terima dengan perlakuan itu putus asa, gantung diri bersama kandungannya di sumur pertama dekat dapur. Sumur bekas gantung diri itu, sekarang di tutup. Di ganti, berlangganan PDAM.
Begitu cerita singkat dari Uping menyan. Dan hingga saat ini, aku tak pernah tau wajah pemilik rumah itu, Bu Toga. Kami hanya berhubungan via telepon.
Setelah apa yang telah aku alami, dapat kusimpulkan. Betapa penting, mengetahui sejarah tempat tinggal dan jangan pernah nekad bila harus berhubungan dengan yang tak kasat mata. Kecuali betul-betul mampu mengukur kekuatan hingga sanggup menyelesaikannya dengan cara berdikari.
Mau coba, monggo japri saja. Aku mah nggak mau lagi, kapok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H