Keningnya berkerut samar. Dia berusaha untuk mengingat setiap detail perjalanan satu minggu yang lalu. Secangkir kopi bahkan telah tandas, tetapi tak juga bisa mendapat bayangan perempuan itu. Entah sudah berapa kali Dewa membaca email dari seorang perempuan bernama Senja, hingga dia nyaris mengingat setiap kalimat yang ditulis. Siapa perempuan ini? Kepalanya mulai terasa berdenyut. Pengirim email ini menjadi sebuah tanda tanya untuknya.
Hari ini aku melihat dia di ruang tunggu bandara. Laki-laki berbaju biru itu menarik perhatianku karena terlihat berbeda. Gayanya tampak santai dan tidak terpengaruh dengan keadaan di sekitar, yang membuatnya berbeda karena dia asyik dengan buku yang dibacanya. Baru kali ini aku melihat seorang laki-laki menunggu dengan membaca sebuah buku. Aku didera rasa penasaran, kami hanya berjarak sekian langkah.Â
The Testament, itu buku yang dia baca, sepertinya kami memiliki selera yang sama. Rupanya dia sedang terhanyut dengan petualangan Nate di pedalaman hutan Brazil hingga tak menyadari tatapanku terfokus padanya. Ah, dulu pun aku terhanyut ketika membaca novel ini.
Aku sabar menunggu sampai dia sadar ada seorang perempuan yang tertarik dengan dirinya dan tak ingin melepaskan pandangan darinya. Namun, hingga kami berpisah tak sedikit pun dia melihat ke arahku.Â
Dear Moonlight, kalau suatu saat kami bertemu lagi, aku yakin bahwa kami ditakdirkan untuk bersama.Â
Â
Dewa tahu email itu menceritakan tentang dirinya. Dia lah laki-laki yang dimaksud. Satu minggu yang lalu dia mengambil cuti, dan melakukan perjalanan liburan ke Medan. Dewa ingat saat berada di ruang tunggu, dia asyik dengan novelnya, The Testament. Bahkan hingga kini Dewa belum juga menuntaskan membaca novel itu. Perempuan ini sungguh membuatnya penasaran. Nanti malam Dewa bertekad akan membaca email dari perempuan ini dalam acara radio Dear Moonlight yang dia bawakan.
***
Si Fueras Mia mengalun lembut, sebagai lagu penutup siaran Dear Moonlight.
"Dear Senja, terima kasih sudah mengirimkan email, semoga harapanmu untuk bertemu lagi dengan laki-laki itu terkabul. Mungkin saat nanti bertemu lagi, kalian bisa bercerita tentang perjalanan Nate mencari Rachel di pedalaman Brazil, menyusuri sungai dengan perahu kecil. Mungkin saja laki-laki itu belum menuntaskan membaca petualangan Nate, dan kamu bisa menceritakan bagian akhir dari perjalanan itu." Dewa mengakhiri siarannya malam itu. Dia berharap Senja mendengar dan menangkap pesan tersirat yang dia sampaikan.
Selama satu minggu Dewa menunggu kabar dari Senja. Satu minggu berganti menjadi dua minggu bahkan hingga satu bulan tak ada kabar dari perempuan itu. Hingga Dewa berhenti berharap.
***
Dear Moonlight, dua bulan yang lalu aku pernah menuliskan bertemu dia di ruang tunggu bandara. Aku pernah mengatakan kalau nanti bertemu lagi, berarti kami ditakdirkan untuk bersama. Kemarin aku melihatnya sedang duduk di kafe dengan novel The Testament di tangan dan secangkir kopi yang menemani. Ah, ternyata dia belum selesai dengan kisah perjalanan Nate. Aku ingin mendekat untuk menceritakan bagian akhir dari petualangan itu. Tapi menurutku hal itu sama sekali tidak seru. Dia tidak akan bisa berimajinasi dengan bebas. Ku biarkan saja dia larut dan menjadi penasaran. Dear Moonlight, semoga dia segera menuntaskan cerita itu dan kami akan bertemu sambil menceritakan bagian yang kami suka dalam novel itu.Â
Dewa bergeming, matanya menatap lekat layar laptop. "Apa yang harus aku lakukan untuk bertemu kamu?" katanya pelan.
"Hei, dia lagi!" Mona yang berdiri di belakang Dewa membungkuk dan mendekatkan matanya pada layar laptop. "Senja. Kenapa dia jadi membuatku penasaran?" Mona tertawa pelan. Dewa hanya menceritakan tentang Senja pada Mona, rekannya sesama penyiar radio ,"Balas saja email-nya, katakan kamu ingin bertemu."
"Kamu yakin dia mau bertemu?"
"Mungkin sebenarnya dia sedang menunggu kamu mengatakannya." Dewa menghela napas.
"Baru kali ini kamu ragu untuk bertemu seseorang. Di mana pengalamanmu yang berderet itu. Seorang Dewa gitu, lho!" Mona tersenyum mengejek.
"Sialan!" Dewa tertawa. Sungguh, baru kali ini dia ragu mengambil langkah untuk berkenalan dengan perempuan. Mona menepuk pundak Dewa, "Jelas-jelas dia terpesona padamu."
"Hei, tapi aku tidak mengenalnya!"
"Sudahlah, jangan buat dirimu mati penasaran!" kata Mona sambil menepuk pundak Dewa.
Matanya tak lepas dari layar laptop, berkali-kali Dewa membaca email yang akan dia kirim kepada Senja. Dia menuruti saran dari Mona, meskipun dia merasa ragu.
Dear Senja, dua bulan yang lalu aku berada di ruang tunggu bandara sambil membaca novel The Testament. Hingga saat ini, novel itu selalu menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dan aku belum juga bisa menuntaskannya. Aku berharap kita bisa bertemu. Mungkin kamu bisa menceritakan bagian akhirnya dengan minum secangkir kopi bersamaku.Â
Saat akan mengirimkan email itu, Dewa menutup matanya sambil berdoa di dalam hati, memohon agar perempuan itu mau menerima ajakannya.
***
Dewa mengetukkan jarinya di atas meja, di sudut sebuah kafe, dia sangat gelisah menanti Senja. Seminggu yang lalu perempuan itu membalas email-nya, dan mereka membuat janji bertemu di sebuah kafe. Terus terang, selama satu minggu perempuan itu sudah menjungkirbalikkan hidupnya. Dia menjadi tidak tenang, sepertinya waktu begitu lambat.
Sekarang saja dia berkali-kali melihat jam tangan, lalu mendesah. "Masih kurang lima menit," katanya pelan.
"Aku tidak terlambat, kan?" Dewa mengangkat pandangannya ke arah perempuan yang berdiri di hadapannya. Dia melihat perempuan itu tersenyum begitu indah.
"Tidak, aku yang datang terlalu cepat." jawabnya.
"Mungkin kamu tidak sabar untuk mendengarkan aku menceritakan bagian akhir dari perjalanan Nate." Senja tertawa pelan, matanya bersinar jenaka.
Dewa tersenyum lebar, perempuan ini sangat lucu. Di dalam kafe yang menebarkan aroma kopi dan kayu manis, Dewa jatuh cinta pada perempuan ini.
***
"Saat aku membacakan email dari kamu ..."
"Aku tidak mendengar!" tukas Senja cepat.
"Kenapa? Kamu tidak yakin akan dibaca?"
"Bukan, saat itu aku sedang naik gunung bersama teman-temanku. Mana ada siaran radio." Senja tertawa lepas.
"Lalu, email kedua? Kamu mendengar saat dibacakan?" tanya Dewa dengan wajah bingung.
"Nggak! Aku sedang berada di luar negeri karena pekerjaan."
"Kamu tidak penasaran apakah email mu akan dibaca atau tidak?"
"Tidak! Saat itu aku hanya ingin menuliskan sebuah cerita tentang pertemuanku dengan seorang laki-laki yang sangat menarik." Senja tersenyum lebar.
Dia memang tidak berharap emailnya akan dibaca. Siaran radio itu pun baru satu kali didengarnya, ketika dia sedang terbaring sakit. Senja suka dengan suara penyiarnya yang dalam. Setelah mendengar siaran itu, Senja tidak pernah sempat mendengar lagi. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Kenapa baru kali ini kamu tanyakan?"
"Karena setiap kita bertemu, kamu tidak pernah menyinggung cerita ini. Kamu tidak pernah mengatakan perasaanmu ketika mendengar email mu dibacakan."
"Saat itu aku nyaris menulis bahwa aku sudah jatuh cinta pada laki-laki yang  aku lihat di ruang tunggu bandara, tetapi aku menahan jari-jariku untuk menuliskannya. Kamu tahu butuh waktu 3 menit untuk jatuh cinta padamu. Aku menghitungnya di dalam hati." katanya pelan, nyaris berbisik.
"Dan aku butuh waktu sepersekian detik untuk jatuh cinta padamu." Dewa merapatkan tubuhnya pada Senja. Dia tak ingin melepaskan perempuan itu dari pelukannya.
Tiga bulan yang lalu dia jatuh cinta pada Senja dan senyumannya.
Senja memandangi cincin yang melingkar di jari manisnya. Dia mengingat email yang ditulisnya, bahwa mereka  ditakdirkan untuk bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H