Di masa kecil, saya suka sekali melihat tukang jamu gendong meramu minuman untuk pembelinya.Â
Mereka menjajakan jamu dengan berjalan kaki, membawa bakul berisi botol-botol kaca yang digendong di belakang. Ibu penjual jamu biasanya mengenakan kebaya dan kain panjang.Â
Seperti yang kita ketahui, Jamu berasal dari Jawa dan sudah dikenal sejak masa Jawa kuno. Begitu juga dengan jamu yang dijajakan dahulu di Medan. Jamu ini merupakan racikan dari orang Jawa, penjualnya juga dari etnis Jawa. Â
Etnis Jawa di Medan sudah ada sejak masa Hindia Belanda. Dahulu mereka dipekerjakan oleh Belanda di perkebunan yang ada di wilayah Medan dan sekitarnya (dulu Sumatra Timur).Â
Saat ini etnis Jawa merupakan suku terbanyak di Medan, melebihi jumlah suku Melayu dan Karo yang merupakan etnis asli di Medan.
Orang tua saya sering membeli jamu gendong. Ibu saya secara teratur mengonsumsi jamu kemasan dan sesekali minum jamu gendong.
Saya tidak pernah sekalipun punya keinginan untuk mencicipi jamu. Dalam pikiran saya, "rasa jamu pasti pahit" karena penjual jamu menuangkan cairan berwarna kecoklatan setelah jamu habis diminum pelanggan. "Mungkin itu gula?"
Sampai akhirnya, pada satu fase kehidupan, ibu "memaksa" saya untuk secara rutin mengonsumsi jamu. Beliau memang sangat menjunjung budaya Jawa, walaupun lahir di Medan.Â
Ibu selalu menyediakan jamu untuk saya, yang katanya khusus untuk remaja. Meskipun berat, terpaksa saya ikuti juga. Jamu ternyata tidak pahit seperti yang saya bayangkan, hanya agak "aneh" rasanya, mungkin karena tidak terbiasa.Â
Kebiasaan mengonsumsi jamu akhirnya berhenti dengan sendirinya setelah saya merantau ke Jakarta. Hingga, pada suatu sore di tempat kos, penjual jamu langganan tetangga sebelah kamar datang.Â
Pria sebelah kamar saya ini menawarkan segelas jamu. Ibu penjual jamu pun menyambut dengan antusias, karena saya belum pernah mencicipi jamu gendong sama sekali.
Kejutan! Saya terkesima dengan rasa jamu gendong yang disajikan. Enak sekali. Sejak saat itu saya tidak terlalu "takut" untuk mencoba jamu. Jamu kunyit asam yang saya minum dan sukai.
Minuman kunyit asam ini banyak disajikan juga di restoran Thailand. Bisa jadi agak berbeda dengan jamu kunyit asam Indonesia dalam meraciknya. Akan tetapi, menurut saya, rasanya mirip.
Jamu di JermanÂ
Belakangan ini, jamu sebagai minuman vegan yang sehat mulai dikenal di Jerman. Mungkin ini versi jamu kekinian dengan sentuhan bahan lain, seperti aloe vera, ginseng, cabai, dan ragam buah beri.Â
Saya belum mencoba salah satu produk pun dari produk ini karena belum terlihat di supermarket umum, masih dijual secara online.Â
Resep Jamu Kunyit Asam Kurma
Meskipun bukan orang yang rajin beraktivitas di dapur, sesekali saya ingin juga mencicipi rasa Nusantara yang sering membuat rindu.Â
Setelah membaca beberapa resep di media online, saya pilih resep jamu kunyit asam yang sederhana. Sebetulnya, hampir semua resep memang sederhana. Hanya saja, bahannya belum tentu tersedia di dapur.
Saya menggunakan buah kurma sebagai pengganti gula aren, lantaran persediaan habis. Gula merah hanya dijual di toko khusus barang Asia, sementara  buah kurma bisa didapat hampir sepanjang tahun di supermarket umum.Â
Inilah resep yang saya coba dan hasilnya cukup memuaskan.Â
Bahan
- 500 ml air
- 50 g kunyit, parut atau gunakan blender
- 20 g asam jawa
- 5 buah kurma, cacah
- sejumput garam
Cara membuat
- Tuang air ke dalam panci
- Masukkan semua bahan
- Masak sampai mendidih
- Angkat
- Saring dan pindahkan dalam wadah lain
- Jamu siap disajikan
Jamu kunyit asam kurma bisa dinikmati saat hangat maupun dingin. Bagi yang suka rasa lebih manis, bisa menambahkan sedikit madu.
Selamat mencoba!
Hennie Triana Oberst
Germany, 13.06.2023
"Jamu Kekinian"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H