Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Hazel di Heidelberger Platz

22 April 2022   02:17 Diperbarui: 2 Juli 2022   22:27 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mata hazel di Heidelberger Platz | ilustrasi: Kristin Vogt/ Pexels—


Dalam risau aku mencarimu

membolak-balik gulungan awan

mungkin senyummu tersembunyi di sana

Barangkali ada sapamu di antara titik hujan yang jatuh

Entah angin menerbangkan secuil getar hatimu

dan bersemayam di sudut kalbuku

*****

Heidelberger Platz, pukul 7:02

Jam di menara peron membuatku makin putus asa. Apa lagi yang akan kuhadapi hari ini. Gara-gara badai salju tadi malam keterlambatan kereta tak bisa dihindari, ditambah lagi jadwal kereta lanjutan yang harus kutempuh dibatalkan.

Sekarang, taxi di pangkalan stasiun juga kosong. Ke mana semua taksi berlogo bintang segitiga dalam lingkaran yang biasa antri rapi menanti penumpang.

"Entschuldigung!" 

Suara lembut dan dalam dari seorang wanita yang tiba-tiba berdiri di sampingku mengagetkan. 

"Wohin fahren Sie?" Wanita bermata hazel itu bertanya, ke mana tujuanku. Di antrian penumpang taxi hari ini sedikit kacau. Jumlah calon penumpang yang bertambah dan taxi yang langka. Orang berusaha berbagi taxi akibat cuaca yang tidak diduga terjadi.

"Oh, hmmm, Alexanderplatz," ujarku gelagapan. Ya, Tuhan! Wajah itu! 

"Boleh kita share taxi? Kebetulan saya menuju ke arah sana juga." Wajahnya terlihat memelas. Ah, dia pasti sama cemasnya denganku pagi ini.

"Ja, klar," jawabku dan membalas senyum tipis dari bibirnya.

 

Jalanan kota Berlin pagi hari terlihat padat, tetapi terlihat agak berbeda dari hari-hari biasa. Badai salju menyebabkan beberapa rute bus terpaksa ditunda dan sebagian dibatalkan. Kekacauan cuaca yang sama dengan gaduhnya hati warga kota.

Bisa jadi kalutnya perasaanku melebihi riuhnya suara kendaraan di jalan. Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan hiruk-pikuknya dadaku. Wanita yang selama setahun ini tak bisa lepas dari pikiranku. Seketika hadir di depanku. Mana mungkin aku akan lupa wajahnya, bahkan detailnya aku simpan dengan apik dalam ingatanku. Seandainya harus kulukiskan di atas kanvas, aku yakin bisa menggambarkan dengan sempurna tiap milimeter tekstur kulit wajahnya. 

"Danke." Suara lega terucap saat taxi bergerak menembus padatnya lalu lintas.

"Ah, tidak masalah. Hari ini semua janji menjadi tak beraturan," timpalku menatap lekat wajah oval di sampingku. Wajahnya bersemu merah, pandangan matanya dialihkan ke luar jendela di sampingku.

"Maaf, Anda turun di mana? Pertanyaanku sepertinya menyelamatkan kegugupan di wajah cantik wanita dengan rambut pirang tua sebatas bahu. "Saya di Stadt Hotel," lanjutku menjelaskan tujuan pastiku.

"Oh, sama. Saya juga akan turun di Stadt Hotel." Matanya berbinar.

Sepasang mata hazel yang begitu kurindu. Aku pikir, takkan pernah lagi kutatap bola mata indah yang membuatku setahun ini tidak bisa tidur nyenyak memikirkannya. Setahun yang hampir membuatku putus asa mencari jejakmu. 

    

Barangkali aku terlihat tidak waras. Sepulang kerja menunda 30 menit keberangkatanku. Menyusuri lorong-lorong panjang peron stasiun Heidelberger Platz. Mengamati wajah orang-orang yang berseliweran, kalau-kalau ada wajahmu di sana. Pintu keluar stasiun pun tak luput dari kunjunganku. Namun, jejakmu seperti hilang terbawa angin.

"Kalau boleh saya tanya, apakah Anda kerja di Stadt Hotel?" Suara wanita cantik itu membuyarkan lamunanku.

"29,50 euro, bitte." Supir taxi mematikan taxi meternya dan menyebut ongkos yang harus kami bayar. Kuserahkan tiga lembar uang 10 euro dan mengucapkan terima kasih.

"Menjawab pertanyaan Anda tadi. Aku tidak bekerja di hotel ini. Kebetulan ada undangan yang harus saya hadiri." Aku berkata sambil memberikan kartu namaku.

"Danke, Florian." Ucapnya setelah membaca namaku.

Kusamakan ayunan langkah wanita bermata hazel ini saat berjalan di lobi hotel. Gerakan tubuhnya terlihat anggun sekali.

"Tidak usah, lain kali giliran Anda, siapa tau kita harus berbagi taxi lagi." Aku tolak lembaran 50 euro yang akan diserahkan padaku.

Wanita cantik itu tertawa mendengarnya. Dia menyimpan kembali uangnya ke dalam dompet dan memberikan kartu namanya.

"Danke," kusambut dan kubaca nama di atas kartu yang diberikannya. "Naomi, senang berkenalan denganmu." Ucapku mengulurkan tangan.

Kami tergelak bersama saat mengetahui datang menghadiri undangan yang sama. Siapa sangka, ada pertemuan tak terduga. Rahasia perjalanan hidup yang terkadang berupa kejutan indah. Inikah jawaban dari kesunyian malam-malam setahun yang kulewati?

Pagi ini, Heidelberger Platz mempertemukan kita kembali. Wanita bermata hazel yang membayangi hari-hariku telah kutemukan. Aku takkan kehilangan lagi.

Di luar sana langit berwarna putih kusam, tidak terlalu cerah, tetapi tidak mendung. Nampaknya siang nanti cuaca akan cerah. Dari dinding kaca bening terlihat kepingan salju turun perlahan. 

Catatan:

  • Entschuldigung: maaf, permisi
  • Heidelberger Platz: nama satu stasiun kereta di Berlin, dibangun bergaya arsitektur Neoromanik, dengan langit-langit berkubah seperti katedral. 
  • Warna mata hazel: iris mengandung bagian-bagian warna hijau, coklat, dan biru yang menjadikan mata tampak berbeda tergantung pada datangnya cahaya.

Hennie Triana Oberst

Germany, 21.04.2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun