"Kita mampir di roti bakar dulu ya." Melva berkata sambil membelai pundakku
Menikmati roti bakar di warung tenda kesukaannya menjadi kesenangan yang tidak ketinggalan kami lakukan saat bersama. Aku baru saja menemani Melva mencari kado untuk temannya yang akan pindah mengikuti suaminya ke luar negeri.
"Iya, aku punya waktu banyak sampai besok."
Melva tersenyum mendengar ucapanku.
Anisa, istriku pasti tidak akan bertanya-tanya. Dia sudah paham, tugasku lebih banyak di pelabuhan. Aku sering pulang dinihari, bahkan menjelang waktu sarapan esok harinya.
Sejak bertemu Melva, aku selalu pulang dinihari. Alasan banyak kerjaan dan kapan masuk di pelabuhan membuat istriku tidak banyak tanya.
Aku memilih untuk menghabiskan waktu bersama Melva, wanita muda berdarah Palembang Bugis ini membuatku lebih bergairah bekerja.Â
Lima setengah bulan yang lalu kami berkenalan, saat menghadiri acara Singapore Maritime Week. Aku mabuk kepayang. Tak sanggup untuk tidak memikirkannya barang sehari pun.
Tidak mungkin aku bisa melupakan tanggal perjumpaan kami, 10 April, persis tanggal pernikahanku dengan Anisa.Â
Aku mencintai Anisa dan anak balita kami, sungguh sangat mencintai mereka. Hanya saja, belakangan ini Anisa selalu malas diajak pergi bersama seperti dulu. Lelah dan ngantuk selalu menjadi alasannya. Repot mengurus keperluan Niko, putra kami, begitu katanya.Â
***
Melva masih jomlo. Usianya baru saja memasuki 29 tahun. Sebulan lalu kami rayakan bersama, makan berdua di pantai Anyer.
Dia tahu aku sudah berkeluarga, dan sepertinya dia tidak peduli. Melva menyukaiku, tetapi sepertinya dia tidak ingin menjalin hubungan cinta, apalagi ingin menikah denganku. Wanita bermata hazel ini hanya menikmati kebersamaan kami, tidak lebih.
***
"Wah! Ada cafe baru tuh, tapi ramai sekali. Kita coba cafe ini ya, Mel." Ucapanku disambut anggukan. Aku membelokkan mobil ke jalan menuju pelataran cafe dengan gambar roti panggang di bagian depannya.
"Penuh, Pak. Tapi bisa makan di mobil kalau Bapak mau." Seorang laki-laki muda berbaju cokelat mendekat.
"Kami hanya menjual roti bakar dan mie goreng saja. Minuman banyak pilihannya, Pak." Dia melanjutkan ucapannya sambil menyodorkan daftar minuman.
"Dua roti bakar, dua teh tarik." Pesanku pada pria bertubuh tinggi itu.
"Baik, Pak."Â
"Ini pesanannya, Pak." Pria itu kembali setelah 15 menit berlalu, menyodorkan bill.
"Terima kasih, Bang. Ambil saja kembaliannya."
"Terima kasih banyak, Pak." Lelaki itu membungkuk dan berlalu, mendekati kendaraan lain yang baru memasuki pelataran.
"Mel, aku tidur bentar ya. Jangan lupa  bangunkan 15 menit nanti." Tidak sanggup aku menahan beratnya mata.Â
Kulihat Melva mengambil piring dan cangkirku yang sudah kosong. Aku terlelap.
***
Aku terjaga oleh suara ketukan yang lumayan keras di kaca mobil.
Seorang pria setengah baya berdiri tepat di samping mobilku. Melva terbangun. Ternyata dia pun tertidur.
Hari telah terang. Aku lirik jam di tangan, pukul 7 Â lewat tiga puluh menit. Sial! Hampir enam jam kami tertidur.
"Ngapain di sini Mas?" Pria itu bertanya setelah saya buka kaca jendela mobil.
"Ketiduran, Pak. Mungkin kekenyangan makan roti bakar dari cafe itu." Jawabku sambil menunjuk ke arah kanan.
Lho, kemana bangunan cafe yang penuh lampu-lampu tadi malam?
"Cafe? Ini kawasan pemakaman, Mas." Bapak berpeci hitam berkata sambil mengernyitkan dahi.
"Pamit, Pak. Terima kasih."
"Silakan. Hati-hati mengemudi, Mas!"
Bapak itu betul. Sejauh mata memandang, hanya makam yang terlihat. Berderet rapi di bawah pepohonan rindang di beberapa tempat. Tidak ada tanda-tanda ada tempat jualan, apalagi bangunan cafe.
"Piring dan cangkir sudah dikembalikan, Mel?" Tak sabar aku bertanya setelah berada di jalan raya. Tidak mungkin kami berdua bermimpi. Kejadian ini  sama-sama kami rasakan.
"Belum, tuh ada di belakang." Melva berusaha menjangkau piring dan cangkir di lantai mobil bagian belakang.
"Lho, kok nggak ada ya. Pintu mobil kan terkunci." Melva berkata lirih dengan suara bergetar. Tangannya mengangsurkan segumpal jerami yang teronggok di karpet mobil.
Badanku menggigil, tanganku berkeringat. Rumah Melva masih 40 menit perjalanan lagi.
Ponselku berdering. Wajah Anisa dan Niko tampak di layar.
-------
Hennie Triana Oberst
De, 14.08.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H