"Kamu orang baru di kota ini ya?" Laki-laki yang lebih tinggi satu setengah kepalaku berkata sambil menjajari langkahku.
Sepertinya dia tadi menumpang bus yang sama denganku. Sekilas aku melihatnya saat meninggalkan halte.
"Tidak juga. Aku sudah lebih dari setahun tinggal di sini." Aku menoleh dan memandang wajah pria yang mengenakan sweater abu-abu tua, ada motif belah ketupat warna marun tersusun vertikal di bagian depan.
Dia mengernyitkan dahinya. "Tapi aku belum pernah melihatmu. Aku kenal semua orang di sini."
"Iya, biasanya aku nyetir mobil sendiri."Â
"Richard."
Duh, suaranya mengingatkanku pada Joe. Pasti merdu suaranya kalau menyanyi. Seperti rekaman lagu yang ditinggalkan Joe untukku.
"Aurora."
"Wow, nama yang pas sekali dengan penampilanmu." Richard berujar sambil memindahkan kantongan kertas bergambar roti dari tangan kanan ke tangan kiri.Â
"Aku tinggal di situ." Richard menunjuk rumah besar dengan arsitektur Jugendstil (Art nouveau), letaknya menjorok jauh di tengah halaman luas dan tertata sangat indah.Â
"Oh, kamu anak Herr Heidelberger?"Â
Semua orang kenal suami istri Heidelberger yang sangat ramah dan rendah hati. Mereka adalah Winzer (pembuat anggur) yang terkenal di kota ini, dengan kebun anggur yang sangat luas.
"Bukan. Aku anak tukang kebun mereka. Kapan-kapan aku ceritakan."
Aku mengangguk dan melambaikan tangan.
***
Kumasuki halaman rumah berpagar tanaman Hibiskus. Dari balik jendela kaca lebar kulihat Miriam memegang buku, duduk di kursi cokelat muda dengan sandaran tinggi. Dia adalah pemilik rumah. Seorang wanita yang murah senyum, cantik, sepintas terlihat seperti bintang film Jodie Foster.
Aku menyewa apartemen di lantai dua. Luas ruangan 80 meter kuadrat ini lebih dari cukup untukku. Dari balkon kamar tidurku pemandangan mengarah ke kebun anggur di atas bukit, milik keluarga Heidelberger.
Ah, akhirnya, weekend pun datang. Seminggu ini pekerjaanku cukup melelahkan, menemani tamu-tamu dari kantor pusat. Besok aku bisa bangun agak siang.
Kuselonjorkan kaki di sudut sofa sambil menikmati semangkuk sup Gulasch sisa kemarin. Lampu-lampu jalan menebarkan sedikit kehangatan di luar ruangan. Dinginnya suhu udara pada akhir musim gugur seperti sekarang ini bisa menusuk hingga ke tulang. Â
***
Sengaja aku jogging menuju kebun anggur. Richard mengundangku menikmati kopi bersama.Â
Dari kejauhan terlihat dia tersenyum senang. Dua orang lelaki paruh baya terlihat di antara barisan pohon-pohon anggur yang telah dipanen. Warna-warni daun musim gugur membuat bukit ini terlihat indah seperti lukisan.
"Aku tadi sempat membuat ini." Richard menghidangkan secangkir kopi susu panas dan sepotong Apfelstrudel dengan saus vanila.
"Terima kasih. Hmmm, pasti enak sekali." Kukipas-kipaskan telapak tangan ke arah hidung, menikmati aromanya.
"Terima kasih." Richard tersenyum senang.
"Kamu tinggal di sini, Ricard?" Maksudku rumah mungil di tengah kebun anggur ini.
"Iya, sesekali saja. Biasanya saat winter, aku suka di sini."
"Ya, pasti indah sekali pemandangan musim dingin dari atas bukit ini."Â
Richard mengangguk dengan mata berbinar, membenarkan perkataanku. "Cecilia biasanya juga datang saat winter, ketika salju turun."
Hampir tersedak aku mendengar perkataannya. Siapa Cecilia, gumamku dalam hati.
"Dia wanita yang datang dari arah Kapel di puncak bukit. Entah kenapa aku mencintainya. Sayangnya, dia hanya datang saat salju turun. Karena itulah aku bahagia jika salju turun setiap hari." Richard berkata seperti mengerti pikiranku.
"Kamu nggak pernah main ke rumahnya?"Â
"Dia nggak mau aku kunjungi." Suaranya agak tersendat, seperti ada batu di tenggorokannya.
"Sebentar lagi salju turun. Kau bisa menghabiskan waktu sering-sering dengannya." Richard tersenyum mendengar ucapanku.
"Iya, kamu benar. Yuk, aku antar. Sudah mulai gelap."
Tadi Richard memang berjanji memberiku tumpangan di mobilnya. Tiga kilometer melanjutkan jogging di tengah kegelapan dan udara yang mulai dingin bukan kesukaanku.
"Dua minggu lagi, kalau ada waktu, kuajak kamu ke festival wine di desa sebelah." Richard berkata saat mobilnya berhenti di depan tempat tinggalku.
"Ya, terima kasih. Kukabari kamu nanti," ujarku sambil menutup pintu mobil.
***
Malam ini aku tidak makan lagi. Kudapan tadi cukup membuat perutku sesak. Lebih baik mandi dan pergi tidur lebih cepat.
Kuletakkan secangkir teh jahe lemon di samping meja tempat tidur. Di pikiranku masih dipenuhi tentang Richard. Apakah karena dia menghadirkan bayang-bayang Joe?
Lantas, di mana rumah Cecilia. Dari mana asalnya si putri salju misterius itu.
Suara Blue melantunkan "Breathe Easy". Aku pun terlelap.Â
-------
Hennie Triana Oberst
De, 10.04.2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H