"Oh, kamu anak Herr Heidelberger?"Â
Semua orang kenal suami istri Heidelberger yang sangat ramah dan rendah hati. Mereka adalah Winzer (pembuat anggur) yang terkenal di kota ini, dengan kebun anggur yang sangat luas.
"Bukan. Aku anak tukang kebun mereka. Kapan-kapan aku ceritakan."
Aku mengangguk dan melambaikan tangan.
***
Kumasuki halaman rumah berpagar tanaman Hibiskus. Dari balik jendela kaca lebar kulihat Miriam memegang buku, duduk di kursi cokelat muda dengan sandaran tinggi. Dia adalah pemilik rumah. Seorang wanita yang murah senyum, cantik, sepintas terlihat seperti bintang film Jodie Foster.
Aku menyewa apartemen di lantai dua. Luas ruangan 80 meter kuadrat ini lebih dari cukup untukku. Dari balkon kamar tidurku pemandangan mengarah ke kebun anggur di atas bukit, milik keluarga Heidelberger.
Ah, akhirnya, weekend pun datang. Seminggu ini pekerjaanku cukup melelahkan, menemani tamu-tamu dari kantor pusat. Besok aku bisa bangun agak siang.
Kuselonjorkan kaki di sudut sofa sambil menikmati semangkuk sup Gulasch sisa kemarin. Lampu-lampu jalan menebarkan sedikit kehangatan di luar ruangan. Dinginnya suhu udara pada akhir musim gugur seperti sekarang ini bisa menusuk hingga ke tulang. Â
***
Sengaja aku jogging menuju kebun anggur. Richard mengundangku menikmati kopi bersama.Â