"Belum lengkap suka dukanya jadi pegawai penerbangan jika belum "stranded" di luar negeri."
Begitu dulu kami di kantor berkelakar, terutama jika sedang bercerita tentang pengalaman selama liburan dengan terbang gratis. Iya, gratis terbang ke luar negeri, siapa yang tidak mau. Itulah alasan saya tidak mau beranjak dari dunia penerbangan, bisa terbang murah bahkan gratis.
Catatannya adalah jangan melakukan perjalanan ketika masa liburan atau saat peak season (puncak musim liburan), lantaran status terbangnya adalah standby. Artinya, boleh terbang jika alokasi kursi tersedia sesuai daftar tunggu penumpang yang terdaftar sebelum keberangkatan.
Pernahkan mendengar nama-nama yang dipanggil untuk melapor kepada petugas gate keberangkatan? Itulah salah satunya, penumpang standby.
Suatu waktu, ada pengalaman saya yang lumayan mendebarkan dan menguras kantong lebih banyak dari rencana. Perjalanan liburan ke Kanada. Seorang diri. Saya memang suka melakukan perjalanan sendirian, karena bebas melakukan rencana tanpa perlu menunggu orang lain.
Perjalanan dari Jakarta ke Hongkong berjalan lancar, tetapi penerbangan lanjutan ke Vancouver ternyata tidak seperti yang diharapkan. Ada dua penerbangan Hongkong-Vancouver yang dilakukan maskapai penerbangan Kanada pada waktu itu.
Pada saat check-in tidak ada informasi apapun. Tetapi ketika melapor ke petugas di gate keberangkatan, mereka mengatakan pesawat penuh, overbooked. Terbukti, saya tidak bisa terbang sore itu. Tidak ada jalan lain, saya harus menunggu penerbangan berikutnya, besok dinihari.
Saya putuskan untuk menginap di bandara, menghemat waktu dan biaya hotel. Bandaranya bersih, aman dan saya bisa mandi. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, sesekali terbangun, terlihat polisi mondar-mandir berpatroli.
Selesai mandi dan sarapan, saya menuju gate keberangkatan, melapor dan menunggu konfirmasi tempat duduk pagi hari ini. Ternyata, keberuntungan belum berpihak kepada saya. Hanya bisa gigit jari.
Menunggu penerbangan sore, saya isi dengan berjalan-jalan mengitari bandara, makan, duduk, membaca, begitu berulang-ulang. Sangat membosankan.
Sore hari kembali melapor ke petugas di gate keberangkatan. Ruang tunggu tersebut penuh sekali dengan penumpang. Saya bertemu beberapa orang yang statusnya sama seperti saya. Kami pun mengobrol, seprofesi dan senasib.
Dari mereka, yang akan pulang setelah liburannya di Asia, saya mengetahui bahwa ternyata saat itu adalah hari besar Qingming/Chengbeng bagi warga Tionghoa.
“Vancouver itu isinya orang Hongkong,” salah seorang dari mereka mengatakan dan dibenarkan oleh yang lain.
Memang benar juga, Chinatown di Vancouver adalah salah satu yang terbesar di dunia.
Penerbangan sore itu sebagian kecil bisa berangkat, tetapi sebagian besar tidak. Bagaimanapun hierarki berlaku di mana-mana. Mereka yang lebih lama masa kerja dan lebih tinggi jabatannya pasti didahulukan.
Dengan langkah gontai saya harus meninggalkan bandara. Penumpang yang lebih dari 24 jam harus keluar dari bandara dan wajib melapor melewati pintu imigrasi.
Koper saya titipkan di loker penitipan yang tersedia di bandara, praktis seperti yang ada di mana-mana, cukup dengan memasukkan koin sejumlah yang diminta.
Malam itu saya menumpang bus menuju kota. Saya belum tahu akan menginap di mana, yang penting sampai di kota saja, nanti dicari. Karena negara ini aman, segalanya teratur rapi dan Hongkong terlihat sibuk 24 jam, tidak ada perasaan takut yang datang. Hanya, saya bingung, mengatur dana. Hotel di Hongkong relatif tidak murah.
Saat melewati satu hotel, ada security di depan hotel YMCA yang menyapa saya. Saat itu sudah tengah malam.
“Mau ke mana malam-malam begini, wanita muda dan sendirian. Jangan pergi ke daerah sana ya,” pria separuh baya itu mengatakan sambil menunjuk ke satu arah.
“Memangnya di sana ada apa?” tanya saya penasaran dengan pernyataan pakcik tersebut. Dia menyebut dirinya pakcik.
Menurutnya, di daerah itu banyak laki-laki pekerja pendatang dari negara Asia Selatan. Bahaya, begitu menurutnya.
“Kenapa tidak menginap di hotel ini saja?”
“Mahal,” jawab saya sambil tertawa.
Saya putuskan mencari hotel ke arah yang berbeda dari arah yang ditunjuk pakcik itu.
“Nanti kalau tidak ada yang lebih baik, saya kembali lagi ke sini.”
Pakcik yang baik itu mengangguk dan berpesan agar hati-hati.
Tetapi sekitar 15 menit saya kembali lagi. Lelah dan sedikit takut juga setelah diwanti-wanti tadi.
Pakcik itu menyambut dan terlihat tersenyum lega, kemudian mempersilakan saya untuk masuk ke hotel mereka. Malam itu saya bisa tidur nyenyak.
Pagi-pagi sekali saya harus kembali ke bandara, walaupun saya tidak yakin akan terbang pagi itu. Tetapi lebih baik menunggu di bandara daripada berlama-lama di downtown.
Firasat saya betul, saya tidak bisa terbang. Tetapi saya tidak terlalu khawatir, karena saya bertemu dengan employee yang stranded juga. Mengejutkan, ada sekitar 100 orang yang tertahan di Hongkong. Kabar baiknya, penerbangan sore akan menampung penumpang lebih banyak.
“Hey, are you still in Hongkong?” tiba-tiba seorang petugas maskapai menyapa saya dengan wajah heran. Pria ini yang melayani saat check-in pertama, beberapa hari lalu.
Saya tertawa menanggapinya, beberapa orang di sekitar saya juga ikut tertawa. Menertawakan nasib kami.
“Jangan khawatir, kalian semua terbang sore ini.” Pria itu berkata dan berlalu sambil tersenyum. Perkataannya memang terbukti.
Kata orang, jika sedang liburan, nikmati saja, jangan terlalu dipikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan. Namun, kita harus menyiapkan biaya tak terduga yang tiba-tiba datang.
Catatan:
stranded; kondisi dimana penumpang tidak dapat melanjutkan perjalanan karena masalah transportasi maupun dana.
-------
Hennie Triana Oberst - DE.03112020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H