Sore hari kembali melapor ke petugas di gate keberangkatan. Ruang tunggu tersebut penuh sekali dengan penumpang. Saya bertemu beberapa orang yang statusnya sama seperti saya. Kami pun mengobrol, seprofesi dan senasib.
Dari mereka, yang akan pulang setelah liburannya di Asia, saya mengetahui bahwa ternyata saat itu adalah hari besar Qingming/Chengbeng bagi warga Tionghoa.
“Vancouver itu isinya orang Hongkong,” salah seorang dari mereka mengatakan dan dibenarkan oleh yang lain.
Memang benar juga, Chinatown di Vancouver adalah salah satu yang terbesar di dunia.
Penerbangan sore itu sebagian kecil bisa berangkat, tetapi sebagian besar tidak. Bagaimanapun hierarki berlaku di mana-mana. Mereka yang lebih lama masa kerja dan lebih tinggi jabatannya pasti didahulukan.
Dengan langkah gontai saya harus meninggalkan bandara. Penumpang yang lebih dari 24 jam harus keluar dari bandara dan wajib melapor melewati pintu imigrasi.
Koper saya titipkan di loker penitipan yang tersedia di bandara, praktis seperti yang ada di mana-mana, cukup dengan memasukkan koin sejumlah yang diminta.
Malam itu saya menumpang bus menuju kota. Saya belum tahu akan menginap di mana, yang penting sampai di kota saja, nanti dicari. Karena negara ini aman, segalanya teratur rapi dan Hongkong terlihat sibuk 24 jam, tidak ada perasaan takut yang datang. Hanya, saya bingung, mengatur dana. Hotel di Hongkong relatif tidak murah.
Saat melewati satu hotel, ada security di depan hotel YMCA yang menyapa saya. Saat itu sudah tengah malam.
“Mau ke mana malam-malam begini, wanita muda dan sendirian. Jangan pergi ke daerah sana ya,” pria separuh baya itu mengatakan sambil menunjuk ke satu arah.
“Memangnya di sana ada apa?” tanya saya penasaran dengan pernyataan pakcik tersebut. Dia menyebut dirinya pakcik.