"Banyak sekali gambar daun mariyuana di sini,"Â putri saya berseru terheran-heran.
Beberapa toko sesudahnya kami kami lewati toko-toko yang menjual replika bentuk alat kelamin pria yang digantung di etalase, dari bentuk kecil hingga besar.
Dua anak yang baru memasuki remaja, putri saya dan putra kakak saya, mereka tertawa-tawa sepanjang jalan melihat gantungan tersebut.
"Kenapa sih memajang barang-barang begitu di etalase? Apa nggak bisa digantung di dalam yang tidak terlihat umum?", Begitu putri saya berkata sambil bersungut-sungut.
"Ini memang daerahnya, toko-toko di sini boleh berjualan barang-barang seperti itu. Termasuk juga mariyuana tadi", jawab saya.
Jawaban saya sepertinya membuat putri saya mengerti. Dia berusaha berjalan hanya menatap lurus tanpa menoleh toko-toko yang berjajar di samping. Malu katanya.
Saat akan berbelok ke kiri di jalan sempit, pemandangan kiri dan kanan yang ditemui adalah rumah-rumah dengan dinding kaca bening. Di balik kaca itu, berdiri wanita-wanita dengan pakaian minim.
Ini daerah red light Amsterdam.
Saya baru tahu kalau mereka juga beroperasi di siang hari.Â
Kedua anak remaja kami terkejut dan kemudian tertawa-tawa. Putri saya sepertinya masih belum mengerti, ia menganggap rumah-rumah itu hanya toko pakaian dalam. Sengaja saya tidak mencuri-curi untuk memotretnya, menghormati profesi mereka.
Setelah berjalan lumayan jauh, akhirnya kami menemukan rumah makannya. Sekilas, rumah makan tersebut nampak seperti warung kecil yang di dalamnya hanya terdapat bangku panjang dan meja yang bisa menampung 6 orang saja. Rasa makanannya juga lumayan untuk mengobati rindu masakan Indonesia.