Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Perjalanan Mencari Kuliner Nusantara hingga Tersesat di "Red Light District" Amsterdam

7 Februari 2020   09:03 Diperbarui: 9 Februari 2020   05:00 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Amsterdam (Dok. HennieTriana)

Musim panas baru saja lewat, saya mengajak putri semata wayang saya berjalan-jalan ke Amsterdam. Ada sedikit complain darinya setiap ia mendengar Amsterdam.

"Mama waktu itu nggak ngajakin aku ke sana." 

Pernah memang saya pergi sendiri ke Amsterdam, saat ada janji bertemu dengan beberapa teman penulis yang tinggal di negara lain dan juga yang bermukim di Belanda. Tentu masing-masing tidak membawa anak, karena pertemuan akan sangat membosankan bagi anak-anak. 

Awal liburan musim panas tahun lalu, saat suami saya masih tugas di luar, saya putuskan untuk jalan-jalan ke Amsterdam. Sekalian untuk merayakan ulang tahun anak saya. 

Kami berangkat dengan kereta api, bersama dengan kakak perempuan saya yang juga bermukim di Jerman dan dua anaknya. Kereta api memang alat transportasi paling gampang jika malas untuk mengemudikan kendaraan jarak jauh.

Lebih nyaman duduknya dibandingkan di bus. Pergi dengan pesawat terbang jarak dekat begini sering membuat malas, karena harus menyediakan waktu minimal 2 jam sebelum terbang. Dihitung waktunya hampir sama dengan naik kereta api.

Dok. HennieTriana
Dok. HennieTriana
Kami tiba di Amsterdam siang hari. Sengaja memesan penginapan yang tidak jauh dari stasiun kereta pusat (Amsterdam Centraal), supaya gampang keliling kota dengan berjalan kaki. Setelah meletakkan barang-barang di penginapan, maka kami keluar mencari makanan.

Tujuan kami ke Amsterdam sebenarnya adalah untuk menikmati kuliner khas Indonesia. Sebab, di mana lagi selain di Amsterdam yang menjual makanan khas Indonesia. 

Ketika kita ke sana, sayangnya, ternyata banyak rumah makan yang tutup di siang hari setelah waktu makan siang. Ada yang buka tetapi letaknya lumayan jauh. Sehingga, kami hanya mencari rumah makan yang tidak terlalu jauh, gampang dijangkau dengan berjalan kaki. 

Mengandalkan google maps kami menyusuri kota cantik Amsterdam ini. Sesekali berhenti mengabadikan pemandangan kota indah ini. Suasana cantik di sepanjang pinggiran kanal yang sering terlihat di kartu pos dan tayangan di televisi memanjakan mata kami. 

Deretan berbagai toko kami lewati. 

"Banyak sekali gambar daun mariyuana di sini," putri saya berseru terheran-heran.

Beberapa toko sesudahnya kami kami lewati toko-toko yang menjual replika bentuk alat kelamin pria yang digantung di etalase, dari bentuk kecil hingga besar.

Dua anak yang baru memasuki remaja, putri saya dan putra kakak saya, mereka tertawa-tawa sepanjang jalan melihat gantungan tersebut.

"Kenapa sih memajang barang-barang begitu di etalase? Apa nggak bisa digantung di dalam yang tidak terlihat umum?", Begitu putri saya berkata sambil bersungut-sungut.

"Ini memang daerahnya, toko-toko di sini boleh berjualan barang-barang seperti itu. Termasuk juga mariyuana tadi", jawab saya.

Jawaban saya sepertinya membuat putri saya mengerti. Dia berusaha berjalan hanya menatap lurus tanpa menoleh toko-toko yang berjajar di samping. Malu katanya.

Amsterdam Centraal (Dok. HennieTriana)
Amsterdam Centraal (Dok. HennieTriana)
Saat akan berbelok ke kiri di jalan sempit, pemandangan kiri dan kanan yang ditemui adalah rumah-rumah dengan dinding kaca bening. Di balik kaca itu, berdiri wanita-wanita dengan pakaian minim.

Ini daerah red light Amsterdam.

Saya baru tahu kalau mereka juga beroperasi di siang hari. 

Kedua anak remaja kami terkejut dan kemudian tertawa-tawa. Putri saya sepertinya masih belum mengerti, ia menganggap rumah-rumah itu hanya toko pakaian dalam. Sengaja saya tidak mencuri-curi untuk memotretnya, menghormati profesi mereka.

Setelah berjalan lumayan jauh, akhirnya kami menemukan rumah makannya. Sekilas, rumah makan tersebut nampak seperti warung kecil yang di dalamnya hanya terdapat bangku panjang dan meja yang bisa menampung 6 orang saja. Rasa makanannya juga lumayan untuk mengobati rindu masakan Indonesia.

Setelah selasai makan, malam harinya kami mampir ke restoran Indonesia yang tidak jauh dari hotel. Tidak perlu melewati daerah "Lampu Merah" lagi. 

Makan malam ini betul-betul nikmat, menunya lengkap dan rasanya autentik. Menurut seorang mahasiswa Indonesia yang menjadi pramusajinya, pemilik restoran ini memang berasal dari Indonesia.

Dok. HennieTriana
Dok. HennieTriana
Itulah sekilas perjalanan saya mencicipi kuliner nusantara khas Indonesia di Amsterdam. Amsterdam tetap indah untuk dikunjungi. Sayangnya sangat penuh wisatawan dan kotanya terlihat agak kotor dibandingkan waktu terakhir saya mengunjunginya.

Belakangan, setelah kembali dari kota ini, saya melihat di berita televisi bahwa tepat sehari setelah kami meninggalkan Belanda, berlangsung "Amsterdam Pride".

Tidak terbayangkan riuh rendah suasananya jika kami masih berada di sana.

-------

Hennie Triana Oberst
DE 06022020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun