Saya tidak tahu latar belakang pendidikan IPDL, LZ, dan FS, tetapi HR diketahui mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM.
Kecerdasan intelektualnya (IQ: intellegence quotient) dianggap tidak diragukan lagi. Akan tetapi, seorang yang High IQ tidak otomatis cerdas emosional pula (EQ: emotional quotient).
Ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kepekaan emosional. Satu yang pasti, tidak terhadap Wiranto. Rasa kasihan pun tidak terbaca pada status-status mereka di media sosial. Padahal, dengan memiliki rasa kasihan saja, itu sudah bersimpati.
Yang berbahaya dari rasa tidak suka adalah ketika rasa itu menjadi benci. Rasa benci bagaikan bongkah bara api di dalam hati yang akan terus memanaskan hati. Apalagi bila mendapat bakaran dari berbagai pihak, bara benci menjadi api yang menyala-nyala.
Maka, jangan berharap ada rasa simpati dari hati yang membenci. Kebencian menolak simpati apalagi empati. Kebencian adalah salah satu penyakit hati psikis yang berbahaya. Apalagi ini bukan soal dunia saja, tetapi juga akhirat.
Apalagi dari segi agama. Saya meyakini tidak ada Kitab Suci yang mengajarkan manusia bersuka ria atas musibah yang menimpa kehidupan manusia di dunia ini. Di dalam Alkitab juga tertulis:
"Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok, supaya TUHAN tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, lalu memalingkan murkanya dari pada orang itu." (Amsal 24:17-18)
Tidak ada seorang pun yang menginginkan hal buruk menimpa dirinya. Bila Tuhan mengijinkan suatu musibah terjadi, itu bukan untuk manusia meremehkannya apalagi menertawakan atau mensyukurinya.
Bagaimana jikalau suami dari HR, IPDL, LZ, dan FS yang mengalami penusukan itu? Masih bisakah mereka nyinyir? Lalu, bagaimana bila orang lain melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap Wiranto? Bagaimana rasanya?
Bukan tidak ada kisah seseorang meremehkan musibah orang lain setelah itu ia juga mengalami hal yang ia tidak inginkan. Manusia dididik untuk tidak meremehkan penderitaan orang lain.