"Learning to stand in somebody else's shoes, to see through their eyes, that's how peace begins."Â - Barrack Obama
[Belajarlah berdiri di sepatu orang lain, melihat melalui mata mereka, itulah awal mula kedamaian]
Hanum Rais (HR) dan tiga istri TNI, yakni IPDL, LZ, dan FS, sedang menjadi sorotan karena nyinyiran mereka terhadap petaka yang menimpa Menkopolhukam Wiranto.

Keduanya sama-sama penting. Keduanya harus sama-sama sehat. Keduanya harus sama-sama mendapat perhatian dari pemiliknya.
Kepincangan pandangan yang hanya fokus pada kesehatan jasmani justru membuat orang tidak menaruh perhatian kepada kesehatan pikiran dan kesehatan emosionalnya.
Sementara, dari pikiran dan perasaan itulah lahir ucapan, perilaku (sifat; watak; tabiat), dan berbagai perbuatan. Dan, dari hal-hal itulah timbul masalah di antara manusia, yakni ketika ucapan, perilaku, perbuatan tidak lagi menghadirkan damai sejahtera bagi orang lain.Â
Satu keluarga yang sehat walafiat bisa berantakan bahkan bubar jalan bukan karena sakit penyakit, tetapi karena ucapan, perilaku, perbuatan yang tidak saling menyehatkan lagi melainkan saling menyakiti.
Kasus viral anak menendang ibunya, murid memukul gurunya, istri membunuh suami dan anak tirinya, oknum polisi memukul pengemudi Ojol, dan tak terhitung lagi, termasuk aneka kasus KDRT dan  korupsi, apakah semua itu karena gangguan kesehatan jasmani? Tidak.
Seperti HR, IPDL, LZ, dan FS, mereka melakukan itu dalam kondisi kesehatan tubuh yang baik-baik saja. Semua itu membuktikan adanya pengabaian terhadap kesehatan mental.Â
Saya tidak tahu latar belakang pendidikan IPDL, LZ, dan FS, tetapi HR diketahui mendapat gelar Dokter Gigi dari FKG UGM.
Kecerdasan intelektualnya (IQ: intellegence quotient) dianggap tidak diragukan lagi. Akan tetapi, seorang yang High IQ tidak otomatis cerdas emosional pula (EQ: emotional quotient).
Ini tidak berarti bahwa mereka sama sekali tidak memiliki kepekaan emosional. Satu yang pasti, tidak terhadap Wiranto. Rasa kasihan pun tidak terbaca pada status-status mereka di media sosial. Padahal, dengan memiliki rasa kasihan saja, itu sudah bersimpati.
Yang berbahaya dari rasa tidak suka adalah ketika rasa itu menjadi benci. Rasa benci bagaikan bongkah bara api di dalam hati yang akan terus memanaskan hati. Apalagi bila mendapat bakaran dari berbagai pihak, bara benci menjadi api yang menyala-nyala.
Maka, jangan berharap ada rasa simpati dari hati yang membenci. Kebencian menolak simpati apalagi empati. Kebencian adalah salah satu penyakit hati psikis yang berbahaya. Apalagi ini bukan soal dunia saja, tetapi juga akhirat.

Apalagi dari segi agama. Saya meyakini tidak ada Kitab Suci yang mengajarkan manusia bersuka ria atas musibah yang menimpa kehidupan manusia di dunia ini. Di dalam Alkitab juga tertulis:
"Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok, supaya TUHAN tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, lalu memalingkan murkanya dari pada orang itu." (Amsal 24:17-18)
Tidak ada seorang pun yang menginginkan hal buruk menimpa dirinya. Bila Tuhan mengijinkan suatu musibah terjadi, itu bukan untuk manusia meremehkannya apalagi menertawakan atau mensyukurinya.
Bagaimana jikalau suami dari HR, IPDL, LZ, dan FS yang mengalami penusukan itu? Masih bisakah mereka nyinyir? Lalu, bagaimana bila orang lain melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan terhadap Wiranto? Bagaimana rasanya?
Bukan tidak ada kisah seseorang meremehkan musibah orang lain setelah itu ia juga mengalami hal yang ia tidak inginkan. Manusia dididik untuk tidak meremehkan penderitaan orang lain.
***
"Menangislah dengan orang yang menangis!" (Rasul Paulus)
Itulah empati. Empati berasal dari kata Yunani em- dan pathos. Em- artinya "di dalam" dan pathos artinya: "penderitaan, pengalaman, perasaan".
Secara harfiah, em-Â + pathos berarti di dalam penderitaan, di dalam pengalaman, di dalam perasaan.
Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, yakni seolah diri yang sedang mengalaminya atau seolah diri sedang ada di dalam penderitaan itu sehingga dapat merasakan apa yang sedang dirasakannya.
Bedakan dengan simpati yang kata Yunaninya berawalan sýn, artinya: "dengan".
Secara harfiah, sýn + pathos berarti dengan penderitaan, dengan pengalaman, dengan perasaan. Walau simpati tidak berada di dalam penderitaan itu, tetapi ia bersama dengan penderitaan itu.
 Contoh perbedaan dalam kalimat:
- Simpati: "Saya kasihan melihat dia menderita".
- Empati: "Saya merasakan penderitaan dia".
"Saya kasihan melihat dia menderita" adalah berdasarkan pandangan "saya" terhadap penderitaan "dia". Perspektif bersimpati adalah perspektif "saya". Penderitaannya dilihat dari sudut pandang "saya".
"Saya merasakan penderitaan dia" adalah "saya" ada di posisi atau di kondisi si penderita. Perspektif orang yang berempati adalah perspektif "dia". Penderitaan itu dipandang dari apa yang dirasakan oleh "dia".
Inilah yang dimaksud oleh Obama "Belajarlah berdiri di sepatu orang lain, melihat melalui mata mereka." Bukan saja bagaimana "saya melihat dia", tetapi bagaimana kalau "saya adalah dia" atau "menjadi dia".
Kemampuan berempati tergolong ke dalam kecerdasan emosi. Seperti semua orang tidak cerdas intelektual, maka tidak semua orang juga cerdas emosional.
Oleh sebab itu, tidak semua orang dapat berempati, kecuali pernah mengalami hal yang kurang lebih sama atau memiliki karunia untuk itu atau belajar untuk itu. Bagi umat Kristiani, "menangislah dengan orang yang menangis" harus menjadi target pencapaian kerja kasih.
Setidaknya, semua orang dapat bersimpati, sebab simpati adalah sifat dasar kemanusiaan. Simpati dengan kata sýn, yakni "dengan", menempatkan manusia di samping manusia lainnya. Ada bersama manusia sebagai sesama manusia.
***
Apakah dengan mengulas ini, maka itu berarti kita telah lebih sehat pikiran dan perasaan atau lebih cerdas emosi daripada HR, IPDL, LZ, dan FS? Tidak!
Apa yang empat sekawan itu lakukan justru sedang mengingatkan kita untuk bercermin diri tentang kesehatan pikiran dan emosi kita.
Pikiran negatif itu tidak sehat sama seperti iri hati, sombong, benci, dan penyakit hati psikis lainnya.
Apalah artinya beroleh kemuliaan yang bersifat lahiriah semata sementara kita kehilangan elok di mata-Nya karena mulut kita, perilaku kita; sifat; tabiat, dan segala perbuatan kita, yang semua berakar dari pikiran dan perasaan yang tidak sehat.
Setiap peristiwa membawa pesan Ilahi kepada yang mengalaminya, tetapi itu juga menjadi peringatan bagi semua manusia. Hal yang sama bisa saja terjadi pada siapa saja.
Hidup bukan saja tentang bagaimana kita dan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita terhadap sesama kita manusia apalagi yang sedang mengalami derita oleh berbagai kenyataan hidup.
Hari ini mereka yang menangis, mungkin esok kitalah yang menangis.
Salam. HEP.-
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI