Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Suami Ingin Berhubungan Intim, Istri Menolak

29 September 2019   04:46 Diperbarui: 29 September 2019   20:02 5887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: classlifestyle

Kemarin siang saya mendapat kiriman video yang menayangkan potongan debat pendapat antara Tengku Zulkarnain (TZ), Wasekjen MUI, dan Jumisi (J), aktivis perempuan dan Waketum Konferensi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

Tayangan video itu selengkapnya adalah acara Live iNews Sore di iNews TV pada 8 Maret 2019, yang ditayangkan kembali oleh iNews Youtube di tanggal yang sama. Temanya adalah "Pro Kontra RUU PKS". Topik perdebatan mereka adalah perihal istri yang menolak berhubungan seks dengan suaminya.

Rupanya video itu diedarkan kembali karena Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) adalah salah satu dari RUU ala DPR yang beberapa pasalnya menjadi kontroversial. 

Berdasarkan RUU PKS Bab I Pasal 1 Ayat 1, bila hubungan suami-istri itu dipaksakan, maka hal itu dikategorikan sebagai kekerasan psikis karena dilakukan bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.

Terkait dengan itu, Rancangan KUHP Pasal 480 Ayat 1 mengatakan: "Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan".

Definisi "pemerkosaan" (RKUHP 480 Ayat 2) tidak lagi hanya untuk hubungan seks di luar perkawinan sebagaimana hukum yang masih berlaku saat ini (KUHP Pasal 285), tetapi juga berlaku bagi pasangan suami-istri. Dan, tidak tanggung-tanggung, ancaman hukumannya adalah paling lama 12 tahun penjara (Pasal 480 Ayat 2).

Tak heran, bila dua RUU ini termasuk yang paling panas menerima penolakan setelah RUU KPK. Diberitakan, bahwa pengesahan RUU PKS telah ditetapkan untuk ditunda guna dibahas kembali. Lagi pula, RKUHP sudah lebih dahulu ditunda pengesahannya, sementara KHUP adalah rujukan bagi UU PKS. RKUHP harus disahkan terlebih dahulu, barulah RUU PKS.

***

Topik perdebatan antara TZ dan J memang sangat menarik, terutama bagian ini:

TZ : "... Sekarang ini ada sebagian orang pembela gender-gender ini, kesetaraan gender, menganggap kalau suaminya memaksa dia melakukan hubungan suami istri, itu kekerasan dan dia bisa mengadu dan dia diancam penjara 9 tahun, kan gawat! ... Suami itu dia kemana lagi ... dia setor ke mana? Dia setor sama pelacur, ndak mungkin.

Aneh kan, kalau misalnya, dituduh suami memperkosa istrinya. Kan aneh itu. Dipenjara seorang suami karena tuduhan memperkosa istri ... melakukan kekerasan itu. Yang kekerasannya itu apa? Kalau cuma memaksakan hasratnya malam itu, kekerasannya di mana? Apa melukai? Kalau cuman merasa terhina, misalnya."

J : "Misalnya begini, ada masalah antara suami istri, kemudian pada saat pulang ke rumah, malam-malam atau dalam situasi istri sedang cape pulang bekerja dan tidak ingin melakukan hubungan seksual trus kemudian suami memaksa, itu memang kategorinya pemaksaan."

TZ : "Nah, Ini nggak bisa. Kami nggak nerima. Sampai kiamat kami nggak nerima."

J : "Nah, itu yang kita berbeda memang, tetapi kita tidak bisa memaksakan kehendak. Kan bisa mencari waktu..."

TZ : "T'rus dipenjara gitu?"

J : "entah besok, entah lusa."

TZ : "Ndak bisa! Kalau hasrat sudah mau, ya, mesti! Si istrinya diam aja. Tidur aja. Nggak sakit kog."

J : "Ya, tidak bisa seperti itu. Itu namanya memaksakan kehendak."

TZ : "Makanya, kami menolak UU ini kalau seperti itu."

J : "Itu memang kategorinya kekerasan. Jadi, tidak boleh hubungan seksual dipaksakan."

TZ : "Akan ada banyak laki-laki suami dipenjara gara-gara itu."

J : "Suami harus menghargai situasi istrinya sedang apa, sedang capekah, sedang tidak mood-kah?"

TZ : "Daripada dia berzinah?"

J : "Kan tidak mood. Itu juga tidak boleh dipaksakan."

TZ : "Ya, itu bahayanya UU ini, masa tidak mood? Masa seks itu harus mood suami-istri!"

J : "Loh, iya!"

***

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para istri yang tidak bersedia melayani suaminya. Bisa dikarenakan sedang sakit. Jangankan hubungan seks, nafsu makan juga sering terganggu bila tubuh sedang sakit.

Atau, karena sedang menstruasi. Bisa juga karena merasakan sakit pada vagina ketika sedang berhubungan sehingga menimbulkan trauma. Rasa sakit pada daerah intim pada saat berhubungan seks harus diperiksakan ke dokter.

Atau, seperti disebutkan oleh J, yakni cape. Entah karena lelah setelah seharian kerja di luar rumah atau di dalam rumah (pekerjaan RT), atau karena aktivitas yang dilakukan di hari itu meletihkan tubuh.

Hal tidak mood dikarenakan cape juga dirasakan oleh umumnya para suami, bahwa rasa lelah lebih membuat ingin tidur daripada ingin bersetubuh.

Juga, yang disebutkan pula oleh J, ada masalah suami istri. Kalau hanya ribut-ribut kecil di hari itu, saya kira, itu tidak sampai menimbulkan penolakan yang esktrim.

Letupan-letupan kecil dalam rumah tangga malah bisa menjadi bumbu penyedap gairah seksual. Beberapa orang merasakan sensasi kenikmatan yang berbeda ketika berhubungan seksual pasca berantem.

Penolakan yang serius bisa terjadi karena ada permasalahan yang serius pula, misalnya oleh kehadiran perempuan lain. Ini berbeda dengan poligami yang telah mendapat restu dari istri pertama.

Perempuan lain yang hadir tanpa restu istri bisa membuat istri menjadi frigid (tidak bergairah; dingin) sehingga tak ingin disetubuhi oleh suaminya.

Begitu pula halnya bila ada kehadiran laki-laki lain, itu juga bisa membuat istri tidak lagi bergairah terhadap suaminya. "Bisa" tidak berarti pasti.

Itu hanya beberapa contoh alasan yang menimbulkan kondisi perasaan tidak mood untuk bersetubuh.

***

Satu hal yang harus diketahui oleh istri adalah hasrat seksual laki-laki bagaikan rasa lapar yang harus dipuaskan dengan makan.

Bayangkanlah, bagaimana kalau seseorang sedang lapar berat lalu kepadanya dikatakan, "Tunda saja makannya. Besok atau lusa saja baru makan". Beberapa laki-laki bisa menjadi sakit kepala bila hasrat seksualnya tidak tersalurkan.

Perempuan harus siap menerima kondisi manusia laki-laki yang secara naluriah, ya, seperti itu. Oleh sebab itu, dalam Kitab Suci Agama Kristen (Alkitab) dikatakan: "Lebih baik kawin daripada hangus karena hawa nafsu." (1 Kor 7:9).

Yang membedakan laki-laki terkait hasrat seksualnya adalah kontrol pikirannya.

Ibarat televisi, kontrol pikiran itu remote control. Lihat tayangan yang menimbulkan libido, segera pindah channel menonton berita kerusuhan. Fokus pada berita yang menayangkan aksi anarkis massa demonstran membuat hasrat seksual teredam.

Dalam suatu konseling suami-istri, seorang Bapak menyampaikan trik ringan tapi baginya jitu yang ia lakukan untuk mengalihkan pikirannya dari hasrat seksual, yakni mengorek kupingnya dengan cotton buds. Bisa juga akalnya, sebab rasa geli saat mengorek telinga bisa mengacak pikiran.

Kontrol pikiran tidak hanya untuk meredam gairah saja, tetapi juga untuk membangkitkan gairah.

Contohnya: pasangan yang memerlukan rangsangan guna membangkitkan gairah seksualnya dengan menonton blue film sebelum berhubungan suami-istri. Apa yang dilihat pada film tersebut disampaikan oleh mata ke otak dan otak mengolahnya sedemikian rupa menjadi daya rangsang bagi syahwatnya.

Seseorang juga dapat membangkitkan gairah seksualnya dengan hanya menggunakan pikiran, yakni dengan berimajinasi.

Intinya, hasrat seksual bisa dikontrol dan terkontrol oleh pikiran. Oleh sebab itu, bila suami banyak pikiran malah istrinya yang uring-uringan karena sudah sekian malam berlalu tanpa sentuhan suaminya.

Para suami yang pernah bercakap-cakap dengan saya bersama istrinya sebagian besar mengatakan, bahwa ketika mereka sedang banyak pikiran, hasrat seksualnya cenderung menurun. Semakin banyak dan berat beban pikiran, hasrat itu makin kecil, bahkan bisa tidak mood sama sekali.

Demikian juga perempuan, bila perasaannya terganggu, itu bisa membuatnya tidak mood untuk berhubungan seksual. Akan tetapi, pada umumnya perempuan tetap melayani suaminya dengan mengabaikan perasaannya sendiri. Lihat artikel: Sudah Berhubungan Intim, Kok Masih Marah?

Ada yang bertanya, bagaimana kalau suami marah karena tidak dilayani? Pertanyaan itu tidak bisa serta merta dijawab, "Suami tidak bisa begitu!". Tidak bisa seperti itu.

Kita tidak bisa menyimpulkan lalu memberi jawaban sepihak. Sebab, di situ ada pertanyaan pula, yakni mengapa tidak mau melayani suami? Jadi, untuk menjawab pertanyaan itu harus dengan mendengar kedua belah pihak.

Jadi, sebenarnya, sama saja, bahwa hasrat seksual manusia laki-laki dan manusia perempuan itu tidak semulus jalan tol. Ada saja hal-hal yang bisa menimbulkan hasrat seksual ikut terganggu.

***

Intinya adalah PENGERTIAN. Saling mengerti dan saling memahami, maka akan ada saling menghargai. Mengerti pasangan dan memahami kondisi dan situasi. Pengertian itulah yang membuat pikiran mau mengontrol hasrat seksual.

Kalau ada penolakan dari istri, maka penolakan itu bukanlah masalah utamanya. Penolakan hanyalah efek. Di sini KOMUNIKASI sangat penting.

Sebab, menikahi manusia tidak hanya menikahi tubuhnya, tetapi juga menikahi perasaannya, menikahi pikirannya, dan menikahi seluruh keberadaan dirinya.

Jika hanya ingin menikahi tubuh tanpa peduli dengan pikiran dan perasaannya, maka menikahlah dengan jenazah manusia. Tak ada pikiran. Tak ada perasaan.

Menikahi manusia hidup adalah menikahi keutuhan dirinya yang tidak hanya punya tubuh, tapi juga punya hati dan pikiran. Oleh sebab itu mengkomunikasikan pikiran dan perasaan merupakan hal penting dalam rumah tangga.

Dengan demikian, istri tidak bersiasat, suami tidak memaksakan. Semua berjalan apa adanya. 

***

Tentang rumusan RUU PKS dan RKUHP terkait hal ini, yakni bila suami ingin bersetubuh, lalu istri menolak, tetapi suami tetap melakukan hubungan seks, dan hanya karena itu sang suami bisa dipidanakan, waduh!

Saya perempuan, tetapi saya berpendapat, bahwa adalah harus jelas pula dasar penolakan itu.

Apalagi, tidak ada klausul pada pasal-pasal itu tentang berapa kali pemaksaan itu dilakukan untuk bisa dipidanakan. Dengan demikian, satu kali saja ada pemaksaan, pidana! Weleh!

Hati-hati loh. Pasal itu bisa dijadikan alasan oleh pasangan yang memang sudah bermasalah dalam perkara lain untuk membebaskan dirinya dari kebersamaan.

Yang paling bisa adalah pasangan yang sudah punya wanita/pria idaman lain. Sekali saja dia bersiasat menolak bersetubuh dengan suami/istrinya, tapi kemudian dipaksakan, besoknya, ia laporkan ke polisi. Kelar!

Sebaiknya, tempat penyelesaian hal tersebut bukan di kantor polisi, tetapi duduk bersama membicarakan hal itu dari hati ke hati.

Lebih jauh, mintalah bantuan para psikolog dan hamba Tuhan atau para ulama atau pribadi-pribadi yang dapat memberi pencerahan dari sudut agama. Fungsikanlah mereka dalam menyelesaikan masalah-masalah internal yang bersifat pribadi. Jangan, apa-apa, hukum!

Sebab, bila penolakan itu telah menjadi sering apalagi konsisten sehingga pemaksaan pun menjadi masif, maka itu mengindikasikan ada masalah di antara suami-istri itu yang sudah mengendap.

Bantulah menyelesaikan masalah itu, bukan menghukum!

Salam. HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun