Hati-hati mengedit foto terlalu cantik, ntar berurusan dengan hukum heuheuheu. Gitu 'kaaan Prof. Pebrianov.
Menarik sekali berita Kompas Siang, Kompas TV, edisi hari ini. Evi Apita Maya (EAM), Caleg DPD RI dari Nusa Tenggara Barat (NTB), digugat oleh pesaingnya ke Makhkamah Konstitusi (MK) gegara fotonya "terlalu cantik".
Adalah Farouk Muhammad (FM), mantan Kapolda NTB, yang menggugat hal tersebut. FM memandang, bahwa kecantikan EAM pada foto diri yang digunakan EAM pada kampanya Pileg "di luar batas kewajaran".
FM memandang hal edit foto itu ikut memberi pengaruh terhadap kemenangan EAM yang mendulang 283.932 suara dan menempati posisi pertama, sedangkan FM menempati posisi kelima dengan 188.678 suara.
Media online menuliskan bahwa Hakim MK kaget bila foto bisa jadi sengketa Pemilu apalagi saya. Seperti apa sih fotonya?
Dengar-dengar, banyak pria atau wanita yang pernah merasa tertipu oleh tampilan foto diri seseorang. Kemajuan teknologi photo editor jaman now memang bisa mengubah tampilan fisik seseorang hingga 180 derajat berbeda dari aslinya.Â
Pertanyaannya adalah apakah tindakan ini dapat dikategorikan sebagai upaya pembohongan publik?
Apakah seseorang yang dengan sengaja menyunting foto dirinya menjadi terlihat lebih cantik, lebih ganteng, lebih kurus, lebih mancung, lebih putih, dan sebagainya, yang berbeda dari aslinya kemudian mempublikasikan foto itu sehingga publik mengira seperti itulah tampilan dirinya dapat disebut merupakan upaya mengelabui atau menipu khalayak?
Kalau demikian, bisa dibayangkan, bahwa para foto model, Â para fotografer dan tim editornya akan berurusan dengan hukum gegara penampilan seorang "terlalu cantik" pada hasil fotonya.
Tentu saja hal ini lebih kepada apa maksud dan tujuan dari penyuntingan foto tersebut. Umumnya fotografi model menawarkan produk. Sementara penyuntingan foto pribadi yang umumnya dibagikan di media sosial tidak bertujuan sama dengan itu melainkan lebih kepada foto diri semata.
Saya pikir, penyuntingan foto yang saat ini dapat dilakukan oleh para pengguna gawai dengan berbagai jenis aplikasi photo editor bahkan kamera canggih yang secara otomatis memberikan tampilan yang lebih indah memang dimaksudkan agar diri terlihat atau tampak lebih cantik, misalnya.
Nah, kembali kepada pertanyaan, apakah maksud itu dapat disebutkan sebagai upaya pembohongan publik? Sadar tidak sadar, hal itu dilakukan walau tanpa niat sampai seperti itu. Sebab, pada dasarnya, di situ ada unsur tidak sesuai fakta.
Akan tetapi, adakah yang dirugikan karena hal itu? Adakah yang merasa tertipu karena itu? Â Pada tahap itulah, mungkin, hal foto "terlalu cantik" menjadi bisa terciduk hukum.
Misalnya, dua pribadi berkenalan di media sosial, lalu menjalin hubungan khusus jarak jauh, kemudian merancang pernikahan tanpa pernah bertemu muka dengan muka sebelumnya. Pada saat menjelang hari pernikahan barulah keduanya bertemu. Salah satu pihak terkejut sebab foto diri yang selama ini sering dikirimkan kepadanya ternyata tidak sesuai dengan fakta diri, maka tindakan edit foto bisa menjadi persoalan hukum.
Percaya diri dan bersyukur atas apa adanya diri kita adalah hal yang seyogianya menjadi milik kita semua yang mengimani bahwa Tuhan menciptakan kita dengan "sungguh amat baik". Kekurangan fisik hanya ada dalam pandangan manusia. Di mata Tuhan semua yang diciptakan-Nya "berharga".
Kembali ke EAM. Apakah EAM dengan sengaja melakukan penyuntingan itu guna memengaruhi publik agar dengan melihat ia "cantik" maka publik tertarik untuk memilihnya? Pileg bukan ajang Cover Girl yang hal tampilan wajah di foto menjadi penting. Namun, apakah para pemilihnya memutuskan pilihan mereka karena foto itu?
Kita lihat saja bagaimana keputusan MK atas gugatan FM ini. Menarik untuk ditunggu hasilnya.
Salam. HEP.-