Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Menyalahgunakan Karunia Intuisi Anda!

24 Desember 2018   06:19 Diperbarui: 15 Februari 2019   23:18 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari saya menghadiri Ibadah Pemakaman di daerah Kampung Islam Singkil Manado. Saat memasuki halaman rumah duka, mata saya seakan diarahkan untuk memandang seorang Ibu yang sedang berdiri hendak mengambil posisi duduk di sebuah kursi di antara para pelayat.

Saya tahu siapa Beliau. Ia adalah seorang yang disebut Pendoa, yakni seorang yang kerap didatangi oleh orang-orang yang ingin didoakan secara khusus oleh Beliau.

Pada saat saya melihat Ibu itu, di pikiran saya tercetus kalimat: "Orang ini mau mati". Hanya itu. Dua minggu kemudian, saya mendapat kabar bahwa Ibu itu meninggal.

Keluarga meminta saya melayani Ibadah Syukur selepas pemakaman Beliau. Berangkatlah saya dari Tomohon menuju Manado dengan menggunakan motor (dibonceng) sebab ketika itu saya masih berdomisili di Tomohon. Cuaca yang tadinya cukup cerah dalam perjalanan berubah hujan rintik-rintik.

Tiba-tiba motor itu jatuh ke samping kiri dengan gerakan tidak "plak!", melainkan "slow motion". Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan itu, yang saya rasakan seperti itu. Seakan "dijatuhkan" secara lembut padahal motor kami tidak berjalan lambat malah agak laju mengingat saya harus tiba tepat waktu.

Pada saat motor itu menyentuh tanah, sebuah truk besar tampak melintas di atas saya. Saya berpikir, saya sudah mati. Ternyata tidak. Truk itu berhenti dan saya pun tahu saya masih hidup, tetapi kaki kanan saya tidak bisa digerakkan. Perlahan saya menyeret badan saya ke pinggiran aspal. Dag dig dug saya menduga-duga apa yang terjadi dengan kaki saya. 

Sebelum saya menarik celana panjang yang saya kenakan untuk mengetahui ada apa dengan kaki kanan saya, terlebih dahulu saya berdoa dengan satu kalimat saja, yakni "Terima kasih, Tuhan", lalu menarik celana itu perlahan dan ternyata luka saja serta terlihat lebam kebiruan. Puji Tuhan.

Segera saya menelepon kawan guna menceritakan apa yang terjadi dan meminta Beliau menggantikan pelayanan saya, yakni melayani Ibadah Syukur selepas pemakaman Ibu tersebut. Itu yang harus saya urus terlebih dahulu dari diri saya sendiri.

Setelah pasti bahwa sudah ada yang siap menggantikan tugas saya, saya pun memutuskan melanjutkan perjalanan untuk memeriksakan diri ke dokter. Syukurlah motor itu masih bisa digunakan. Karena jarak kembali ke Tomohan lebih jauh daripada ke Manado, maka kami memutuskan untuk lanjut ke Manado. 

Ketika hendak memasuki perkampungan daerah Kampung Islam, kami harus berhenti karena motor kami tepat berpapasan dengan peti jenazah Ibu itu yang sedang diusung memasuki gerbang TPU. Saya seolah mendapat clue di situ.

Pertemuan saya dengan peti jenazah Ibu itu membuat saya menduga kuat bahwa ada yang tidak beres dengan perkara ini terkait diri saya. Guna mencari tahu, saya pun berpuasa khusus meminta hikmat dari Tuhan perihal maksud dari kecelakaan yang saya alami.

Saya memang membiasakan diri bilamana sesuatu terjadi pada diri saya, maka saya tidak menyalahkan siapa pun dan apa pun, melainkan mengintrospeksi diri terlebih dahulu dengan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan guna mencari tahu apa pesan-Nya bagi diri saya pribadi, yakni mengerti apa maksud-Nya hingga hal itu diijinkan-Nya terjadi di hidup saya.

Lihat juga: Karena Hidup Tidak Selalu Sesuai Pesanan

Dan Ia membuat saya mengerti, bahwa itu adalah teguran keras buat saya! Mengapa? Ketika Ia menitipkan pesan kepada saya: "Orang ini mau mati", maka seharusnya saya melayani Ibu itu. Melayani bukan untuk menyampaikan bahwa ia akan mati, melainkan menyiapkan Beliau untuk kematian itu. 

Akan tetapi, saya tidak mengerjakan tugas itu. Lalu, dengan entengnya saya hendak melayani Ibadah setelah pemakamannya?! Hei, ia sudah meninggal, maka apalagi gunanya itu bagi dia?

Tujuan Tuhan menyampaikan hal itu adalah supaya saya segera melayani Ibu itu pada saat ia masih hidup, bukan setelah ia sudah meninggal barulah saya mau melayani dia.

Saya menjadi ketakutan dan memohon ampun kepada Tuhan atas kebodohan saya dan pengabaian akan hal itu. Dan puji Tuhan, Ia memberikan kelegaan kepada saya.

Yang tadinya saya tidak diijinkan melayani Ibadah Syukur seusai pemakaman Beliau dengan kecelakaan itu sebagai teguran bagi saya, kemudian saya dipulihkan dari rasa bersalah dengan saya dihubungi lagi oleh pihak keluarga untuk kiranya bersedia melayani Ibadah Syukur 40 Hari. Terima kasih, Tuhan.

***

Beberapa orang mengatakan kepada saya ini adalah intuisi yang oleh KBBI artinya adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati.

Pada prinsipnya saya tidak mau tahu ini namanya apa. Namun, karena beberapa orang mengatakan bahwa sepertinya ini intuisi, maka saya mencari baca beberapa ulasan akan hal ini dan itu pun asal baca saja. Hasilnya? Yah, memang mirip sih. Namun, benar tidaknya, saya tidak tahu dan sesungguhnya tidak mau tahu namanya apa.

Yang saya maksudkan dengan tulisan ini bahwa kalaupun ini adalah intuisi atau apa pun namanya, maka orang yang memiliki karunia ini harus mengerti untuk apa karunia ini diberikan kepadanya sehingga dengan itu karunia ini tidak disalahgunakan.

Saya mulai menyadari memiliki ini pada masa kuliah dan menjadikannya mainan. Mainan? Ya, mainan.

Meramal teman-teman dengan menggunakan kartu remi. Mereka senang sekali bahkan ada yang membawa keluarganya untuk bertanya ini itu ke saya. Kemudian saya menginsafi itu dosa! Saya berhenti bercanda dengan itu.

Alih-alih berharap hilang, kemampuan itu kian tajam. Saya seakan tahu orang itu seperti apa walau baru pada saat itu saya bertemu dengannya, bahkan walau hanya dengan memandang foto. Saya seolah tahu bila seseorang berkata jujur atau berbohong, baik atau tidak, dan lainnya.

Pertanyaannya: Apakah itu menyenangkan? Buat saya, sama sekali tidak! 

Apakah menyenangkan ketika seseorang menyapa Anda dengan senyuman sementara kepekaan itu menyampaikan orang itu tidak melakukannya dengan tulus? Menyenangkankah tahu kemunafikan orang terhadap kita? Menyenangkankah mengetahui seseorang sebenarnya sedang membohongi kita? Semua itu menyakitkan!

Apalagi ketika melayani orang sakit. Kepekaan ini sering memberitahukan apakah orang itu masih akan pulih atau tidak lagi. Ini menyedihkan hati saya sehingga saya mengatakan bahwa karunia ini menyakitkan!

Sebab, karunia ini terkadang menyampaikan hal-hal secara detail termasuk hari terakhirnya. Misalnya, "Kayaknya tidak lewat hari Sabtu, deh", dan itu benar terjadi. Ia meninggal di hari Sabtu malam. 

Kalimat itu terlintas spontan di pikiran atau tercetus begitu saja di mulut saya tanpa saya sendiri menyadarinya. Bahkan, seringkali saya tidak mengingat lagi kata-kata itu sampai orang mengingatkan bahwa saya pernah menyebutkan sesuatu sebelum itu dan apa yang saya sebutkan itu benar-benar terjadi. Setelah diingatkan, barulah saya mengingat, "O, iya, ya". Seperti itu.

Sejujurnya, karunia ini tidak ingin saya asah. Oleh karena itu, saya membiarkan saja itu apa adanya dan seringkali saya mengabaikannya dengan sengaja.

Contohnya, suatu malam mata saya seakan diarahkan memandang sebuah botol bekas minuman di bagian atas wastafel di dapur. Sebuah kalimat terlintas di pikiran saya: "Botol itu akan jatuh!".

Saya tidak melakukan sesuatu. Pagi hari saya mendapati dapur banjir. Rupanya, botol itu jatuh menimpa kran air di wastafel dan kran itu patah.

Tak hanya mengabaikan, saya juga kerap mencobai kemampuan ini bila saya melihat perkara itu kecil saja. Misalnya, suatu ketika saya melewati gelas berisi teh, kepekaan itu berkata: "Gelas itu akan tumpah". Dengan sengaja dan memang benar-benar saya sengaja tidak perduli dengan penyampaian itu dengan maksud bahwa saya ingin tahu apakah gelas itu benar-benar akan tumpah atau tidak.

Saya tinggalkan saja ruangan yang ada gelas teh itu tanpa memindahkannya dari situ. Kemudian saya kembali dengan gaya mengintip untuk melihat apa yang terjadi. Tidak tumpah! Nah, kan, tidak selamanya itu benar. Itu perasaan saya saja. Begitu saya mengejek pikiran saya sendiri.

Saya melanjutkan beraktivitas di dapur sehingga lupa akan hal itu. Selesai urusan di dapur, saya bermaksud hendak ke teras rumah. Tatkala melewati ruangan di mana gelas itu berada, mata saya seperti diarahkan untuk melihat sesuatu. Gelas berisi teh itu tumpah!

Namun, semua pengabaian itu berakhir pada peristiwa kecelakaan itu. Saya tidak lagi berani memainkan karunia itu, mengabaikan, apalagi menyepelekannya. Entah bagi orang lain, tetapi bagi saya, karunia itu punya maksud terkait pekerjaan saya sebagai pelayan-Nya.

***

Apa yang hendak saya katakan dengan menulis ini?

(1) Apapun nama ilmiahnya, saya memandang ini adalah sebuah karunia. Karunia yang diberikan Tuhan dengan maksud-Nya. Tidak untuk disalahgunakan melainkan dipakai sebagaimana yang ditujuankan oleh-Nya. Dengan demikian, karunia seperti ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya untuk tujuan yang baik.

(2) Tidak menggunakan karunia ini untuk meramal nasib orang! Manusia bukan Tuhan! Karunia ini janganlah dipakai untuk membuat manusia tidak lagi mencari Tuhan malahan mencari manusia! Karunia ini bukan untuk menjawab rasa penasaran manusia dengan membuat ia bukannya percaya kepada Tuhan melainkan kepada peramal!!

(3) Tidak menjadikan karunia ini sebagai mainan apalagi sebagai alat mencari uang. Karunia seperti ini sebaiknya digunakan untuk kebaikan tanpa berharap imbalan. Bagi saya, karunia ini terlalu "mengerikan" untuk dijadikan mata pencaharian.

Itu dari saya. Selebihnya, masing-masing punya keputusan sendiri atas karunia yang dimilikinya. Namun, bila kita menyadari bahwa sebuah karunia adalah anugerah Tuhan semata, maka seyogiayanya itu digunakan bukan untuk membuat manusia memuliakan manusia, melainkan untuk manusia makin memuliakan Tuhannya.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun