Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Menyalahgunakan Karunia Intuisi Anda!

24 Desember 2018   06:19 Diperbarui: 15 Februari 2019   23:18 1830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mulai menyadari memiliki ini pada masa kuliah dan menjadikannya mainan. Mainan? Ya, mainan.

Meramal teman-teman dengan menggunakan kartu remi. Mereka senang sekali bahkan ada yang membawa keluarganya untuk bertanya ini itu ke saya. Kemudian saya menginsafi itu dosa! Saya berhenti bercanda dengan itu.

Alih-alih berharap hilang, kemampuan itu kian tajam. Saya seakan tahu orang itu seperti apa walau baru pada saat itu saya bertemu dengannya, bahkan walau hanya dengan memandang foto. Saya seolah tahu bila seseorang berkata jujur atau berbohong, baik atau tidak, dan lainnya.

Pertanyaannya: Apakah itu menyenangkan? Buat saya, sama sekali tidak! 

Apakah menyenangkan ketika seseorang menyapa Anda dengan senyuman sementara kepekaan itu menyampaikan orang itu tidak melakukannya dengan tulus? Menyenangkankah tahu kemunafikan orang terhadap kita? Menyenangkankah mengetahui seseorang sebenarnya sedang membohongi kita? Semua itu menyakitkan!

Apalagi ketika melayani orang sakit. Kepekaan ini sering memberitahukan apakah orang itu masih akan pulih atau tidak lagi. Ini menyedihkan hati saya sehingga saya mengatakan bahwa karunia ini menyakitkan!

Sebab, karunia ini terkadang menyampaikan hal-hal secara detail termasuk hari terakhirnya. Misalnya, "Kayaknya tidak lewat hari Sabtu, deh", dan itu benar terjadi. Ia meninggal di hari Sabtu malam. 

Kalimat itu terlintas spontan di pikiran atau tercetus begitu saja di mulut saya tanpa saya sendiri menyadarinya. Bahkan, seringkali saya tidak mengingat lagi kata-kata itu sampai orang mengingatkan bahwa saya pernah menyebutkan sesuatu sebelum itu dan apa yang saya sebutkan itu benar-benar terjadi. Setelah diingatkan, barulah saya mengingat, "O, iya, ya". Seperti itu.

Sejujurnya, karunia ini tidak ingin saya asah. Oleh karena itu, saya membiarkan saja itu apa adanya dan seringkali saya mengabaikannya dengan sengaja.

Contohnya, suatu malam mata saya seakan diarahkan memandang sebuah botol bekas minuman di bagian atas wastafel di dapur. Sebuah kalimat terlintas di pikiran saya: "Botol itu akan jatuh!".

Saya tidak melakukan sesuatu. Pagi hari saya mendapati dapur banjir. Rupanya, botol itu jatuh menimpa kran air di wastafel dan kran itu patah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun