Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berharap Umurku Secukupnya Saja

11 September 2018   19:33 Diperbarui: 29 Januari 2019   20:00 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mendoakan seseorang berumur panjang pada Hari Ulang Tahun-nya seakan sudah menjadi pokok doa yang wajib diucapkan.

Hal yang sama diucapkan kepada saya setiap berulang tahun. Tidak bisa mengelak, sebab itu harapan mereka atau bisa jadi karena kebiasaan saja, bahwa kata itu diucapkan pada hari ulang tahun seseorang.

Namun, ketika saya berdoa untuk diri saya sendiri, isinya kira-kira seperti ini:

"Pendek dan panjangnya umurku ada dalam tangan-Mu, ya Allah. Pada keputusan-Mulah usia hidupku. Berapapun lamanya masa hidup Engkau berikan, kiranya tidak ada waktu berlalu tanpa hamba berbuah. Amin."

Sudah. Cukup. Itu saja. Untuk Allah tidak perlu ada Juklak. Tidak perlu ada Kesimpulan dan Saran. Sebab Ia Allah. Ia piawai memahami maksud dan tujuan. Ia Maha Segalanya.

Umur panjang adalah pemberian Allah sebagai hal yang "ditambahkan" pada hidup itu sendiri. Itu adalah keputusan Allah atas hidup manusia. Jika bisa meminta, berharap umurku secukupnya saja. Jangan berlebihan bila lebihnya itu tidak lagi berguna.

* Konsekwensi hidup adalah berbuah.

Berbuah itu menjadi garam. Memberi rasa. Berarti bagi orang lain. Memberi arti bagi kehidupan. 

Baca juga: 6 Rasa di Lidah, 6 Cita Rasa Kehidupan. 

Bila meminta umur panjang, maka pikirkan juga bahwa umur yang panjang itu harus memberi arti. Hidup tidak boleh kosong. Harus berisi. Harus ada guna bukan hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi orang lain.

Banyak orang meminta umur panjang tanpa tahu mengapa ia harus berumur panjang. Tidak memikirkan apa yang akan dilakukan di umur panjang itu. Hidup asal hidup. Mengalir mengikuti rutinitas. Tanpa hal-hal yang berarti.

Seperti seorang yang bekerja dengan upah. Kerja asal kerja, sebab tujuannya adalah upah. Bekerja hanya untuk upah bisa membuat kerja sekadar saja. Asal hadir. Asal ada. Akhirnya kehadirannya biasa-biasa saja.

Hidup yang mau berbuah adalah bekerja dengan tujuannya adalah kerja itu sendiri. Kerja adalah "Ini saya". Karya adalah "Ini saya". Usaha adalah "Ini saya". Bahkan, seorang yang menempuh pendidikan sebagai pelajar dan mahasiswa harus menekuni itu adalah "Ini saya". 

Artinya, apa yang sedang ditekuni haruslah menjadi kesempatan untuk menjadi The Best of Me. Yang terbaik dari diri berikanlah di situ. Tidak setengah hati. Namun, total. Dengan demikian, hidup tidak hanya menghasilkan buah yang baik tapi juga berkualitas.

Segala kemampuan, kecakapan, kecerdasan, kekuatan keluarkanlah. Singkatnya, segenap potensi diri curahkanlah sepenuhnya pada apa yang sedang ditekuni semaksimal mungkin. Maka, upah atau penghargaan akan "ditambahkan kepadamu".

Upah dan penghargaan hanyalah penyemangat, bukan tujuan. Penyemangat untuk mengaktualisasikan diri lebih baik lagi dari sebelumnya. Hidupmu pun makin berbuah lebat.

Sebaiknya tidak menjadi sekadar tanaman hias. Hanya untuk sedap-sedapan mata. Sesaat layu sudah, berganti tanaman hias lainnya. Mudah terlupakan, karena tak meninggalkan jejak arti di hidup orang lain.

Jika bisa seperti pohon kelapa, jadilah pohon kelapa. Semua bagian di dirinya bermanfaat bagi manusia. Tidak ada yang sia-sia. Tidak ada yang tidak berarti.

Meminta umur panjang harus disertai dengan kesadaran bahwa hidup tidak sekadar hidup, tapi harus punya arti bagi kehidupan itu sendiri. 

* Konsekwensi hidup adalah dosa.

Hal lain yang harus diinsafi dari panjang umur adalah makin panjang umur, makin banyak dosa.

Tidak sedikit orang memandang dirinya "bersih" dengan mengukur itu dari kesetiaan beribadah, memberi sedekah atau berbagi berkat, berdoa, membaca Kitab Suci, dan hal-hal yang bersifat kesalehan lahiriah semata.

Padahal dosa itu ada di hati, di pikiran, di perkataan, di perilaku, di perbuatan, di sifat, di tabiat, di kesukaan, di kesenangan, dsb. Amati hidup kita sehari-hari. Seperti apa kita.

Di situ akan terlihat, apakah kesetiaan beribadah memberi hasil signifikan terhadap perubahan pola pikir kita, tata kata kita, cara hidup kita, sifat, kebiasaan, dsb. 

Contohnya. Ada orang yang setiap Ibadah Minggu hadir di gereja, tetapi mulutnya yang suka memaki, tidak berubah. Saya kerap berkata, kalau ada orangtua yang memaki anaknya dengan berkata: "Anjing kamu!", itu berarti orangtuanya lebih dahulu "anjing". Karena, hanya anjing yang melahirkan anjing.

Saking terbiasanya, itu tidak lagi dipandang dosa. Apalagi bila itu umum dilakukan oleh orang banyak. Seperti ada suatu daerah, anak bayi umur belum saja setahun sudah pandai memaki. Karena apa? Tiap hari itu yang didengarnya dari orangtuanya.

Contoh lain. Suara dari seberang telepon: "Halo ... sudah di mana?". Jawab: "Oh, sudah di jalan. Macet nih.". Padahal, mandi pun belum. Itu sudah berbohong.

Lagi, "Saya kemarin telepon tidak diangkat-angkat.". "Oh, iya, maaf, kemarin saya sibuk sekali.". Padahal, tahu dia menelpon, tapi malas angkat. Dilihat-lihat saja. Itu pun sudah berbohong. 

Berapa banyak kali sudah hal seperti ini kita lakukan? Urusannya terlihat kecil, bukan? Apakah hal ini disadari? Umumnya, tidak. Belum lagi hati yang iri, benci, dendam. Belum lagi kesombongan. Banyak. Hal-hal yang tidak kita sadari, yang kita anggap biasa, padahal sudah dosa.

Karena merasa tidak melakukan dosa yang terlihat besar, maka memandang diri : "I am clean".  Oleh karena itu tidak heran orang dengan mudah sekali menghakimi seseorang yang kedapatan melakukan dosa.

Hal itu bisa kita lihat pada komentar para deterjen medsos. Mereka merepresentasikan kehebatan manusia menghakimi sebuah dosa.

Akan tetapi, seperti yang pernah saya tulis, batu 1 kg dan kapas 1 kg sama-sama 1 kg. Kita menyebut dosa orang lain adalah batu 1 kg, tapi kita tidak sadar bahwa dosa kecil-kecil yang dilihat ringan-ringan saja beratnya juga sudah 1 kg.

Oleh karena itulah Allah tidak memberi hak kepada manusia untuk menghakimi. Sebab, timbangan dosa ada pada-Nya. Menghakimi dosa orang lain berbahaya untuk diri kita sendiri.

Hanya orang yang benar-benar bersih dari dosa yang pantas menghakimi dosa. Bila diri menginsafi, bahwa kita juga adalah manusia berdosa, maka sebaiknya kita berhati-hati untuk menghakimi orang lain.

Dari sini saja kita sudah bisa beroleh gambaran bahwa makin panjang umur makin banyak dosa. Artinya apa? Artinya, bila kita meminta panjang umur, harus disertai tekad berubah!

Berubah dari hidup yang lama kepada hidup yang baru. Berharap umur panjang harus disertai dengan tekad dan langkah-langkah memeriksa diri dan hidup untuk memperbaikinya di hari-hari baru di umur panjang itu.

Jika tidak, maka umur panjang itu tidak akan membawa kebaikan surgawi bagi kita malah makin menambah daftar dosa di hidup.

* Konsekwensi umur panjang adalah penderitaan.

Makin panjang umur, makin tua, makin lemah, makin membutuhkan orang lain. Ada batas di mana kita tidak dapat lagi melakukan segala sesuatunya seorang diri.

Lihat juga: Ketika Orangtua Lansia Menjadi Beban

Secara pribadi, saya tidak menginginkan hal ini. Bila saya tidak dapat lagi berbuah, lalu saya harus menyusahkan orang lain untuk mengurus saya, maka adalah lebih baik umurku secukupnya saja. Tak usah panjang-panjang.

Apalagi bila kelak ada sakit diberikan Tuhan dan sakit itu menjadi cara pulang saya kepada-Nya. Sebab, ada penyakit diijinkan hanya sebagai proses hidup, ada penyakit sebagai jalan pulang kepada-Nya.

Jika boleh, kalau toh akan mati juga, sebaiknya mati di awal sajalah. Kasihan orang yang harus mengurus, mana uang harus banyak keluar. Tak mau saya sampai begitu. Itu mau saya. Namun, hidup dan mati kita di tangan-Nya. Biar Ia yang mengatur yang terbaik buat saya. Semua terserah pada-Nya.

Setidaknya, kita memahami untuk tidak sekadar meminta umur panjang tanpa tahu apa arti hidup itu dan apa yang harus kita lakukan di umur yang masih diberikan itu.

Salam. HEP.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun