Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Jokowi Harus Siap Kehilangan Suara

12 Agustus 2018   23:53 Diperbarui: 27 Januari 2019   18:12 744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal mendengar Jokowi menyebut nama Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin (MA), seketika itu seisi ruangan "Layu Sebelum Berkembang" dan seperti dikomando serentak berkata, "golput".

Pilihan yang tampaknya "kecele" mengira kubu Prabowo memilih Ulama, justru berakibat tidak sederhana di banyak hati yang kecewa. Akan tetapi, tidak baik berdiam dalam rasa kecewa dengan hanya berfokus pada hal yang negatif.

Penulis mencoba bergeser dari posisi pandang negatif ke sudut pandang yang lain guna menemukan hal-hal positif dari pilihan Jokowi ini. Jadilah analisis-analisis-an ala rakyat biasa. 

Persepsi Positif

Segala upaya peningkatan ekonomi, perbaikan kesejahteraan rakyat, supremasi hukum dan keadilan, kesehatan, pendidikan, dll, tidak akan ada gunanya bila manusia-manusia-nya terpecah belah.

Bukan kemiskinan, tapi perpecahan bangsa, itulah yang berpotensi besar membawa suatu negara kepada kejatuhan.

Belakangan ini anggapan superioritas agama Islam atas Indonesia berupaya terus diwujudkan dan hendak dibuktikan oleh kaum Muslim tertentu dengan upaya aktif terorganisir melakukan intimidasi dan intervensi kekuasaan ranah pemerintahan dan negara beserta seluruh aspek di dalamnya.

Intimidasi ini mengusung kekuatan massa. Kekuatan massa menjadi andalan dan senjata tajam bagi pemerintah untuk takluk. Pengerahan kekuatan massa memang memiliki banyak bukti kemenangannya di dalam sejarah dunia.

Indonesia juga punya bukti itu dalam riwayat sejarah akhir jabatan Gubernur Propinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan lengsernya H.M. Soeharto dari kursi kepresidenan ke-2 RI. Kekuatan massa inilah sekarang dipakai oleh kelompok Islam tertentu untuk eksis mencapai tujuannya.

MA adalah tokoh Ulama yang dihormati oleh kaum Muslim di Indonesia lintas organisasi dan mazhab apalagi ketika beliau duduk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mungkin, dengan memandang MA adalah figur pengayom, maka Jokowi dan para pengusungnya melihat MA dapat meredam gejolak, mendiamkan teriakan, dan menurunkan tensi umat yang cenderung memaksakan kehendak itu. Di sini MA diharapkan memiliki fungsi kontrol terhadap umat Muslim.

Sebagai tokoh Islam yang dihormati, MA juga diharapkan dapat menyatukan umat Muslim berbagai aliran dan mazhab, termasuk umat Muslim yang mengalami pergesekan pandangan tentang Islam Arab dan Islam Nusantara atau Islam Moderat. Di sini MA memiliki fungsi pemersatu umat Muslim.

Pemilihan MA juga bisa sebagai upaya pemulihan citra Jokowi yang oleh semangat nasionalisme justru menjadikan beliau dipandang tidak berpihak kepada umat Muslim.

Misalnya, ketika Jokowi berpihak pada keadilan penegakan hukum terhadap kasus hukum yang menjerat Ulama, Jokowi dipandang ikut melakukan upaya kriminalisasi ulama.

Penulis juga melihat bahwa pemilihan MA adalah bukti Jokowi kewalahan menghadapi gejolak dan tuntutan kelompok Muslim yang mengatasnamakan umat Muslim se-Indonesia yang terus saja mencecar kerja pemerintahan dan memepeti gerak pemerintah selama ini. Kehadiran MA diharapkan dapat meredam itu.

Dan, last but not least, pemilihan MA diharapkan dapat menjaring suara umat Muslim yang mencintai dan menghormati MA.

Jadi, menurut Penulis, pemilihan MA itu pertama-tama lebih besar untuk umat Muslim itu sendiri (pemersatu, kontrol, peredam).

Yang kedua, barulah dampak dari poin pertama itu bagi Indonesia: kembali tenang, mengurangi gejolak, dan meminimalisasi intoleransi yang ditajamkan oleh Islam Arab, dll.

Dengan itu, maka pembangunan Indonesia di segala aspek dapat kembali dilanjutkan dengan tidak lagi terbagi energi sebab harus mengurus yang satu ini.

Persepsi Negatif

Pertama. Persoalannya adalah ketika MA tak lagi menjabat Ketua MUI dan berposisi sebagai Cawapres untuk seluruh rakyat Indonesia dengan agama yang bukan hanya Islam, maka pernyataan-pernyataan MA yang sebelumnya berbau Islamis sekarang bertutur Nasionalis, dari ketegasan garis batas keislaman sekarang bicara toleransi, dsb, apakah itu juga sejalan dengan seluruh hati kaum Muslim yang ada di Indonesia?

Bahasa MA tentang negara sekarang beraroma Islam Nusantara. Apakah itu disukai oleh kelompok Islam Arab yang sedang di atas angin ini? Bukankah kelompok Islam yang sedang populer dan menghiasai layar pertelevisian Indonesia adalah menolak Islam Nusantara? 

Ketika berada di MUI, posisi Ketua amat sangat diperlukan untuk sebuah FATWA. Pemerintah dan hukum di negara ini bisa tak berdaya melawan sebuah Fatwa. Maka, MA, selaku ketua MUI saat itu menjadi tokoh sentral untuk keluarnya sebuah fatwa.

Ketika MA di MUI beliau sejalan dengan keinginan Islam Arab, tapi ketika akan di posisi Wapres maka MA bisa dipandang tidak lagi sejalan dengan Islam Arab dan juga kaum Muslim yang membungkus fanatisme dan/atau radikalisme dirinya dengan bahasa dan pakaian Nasionalis Moderat.

Islam Arab tegas memposisikan diri di belakang Prabowo-Sandiaga Uno (SU). Dengan MA di samping Jokowi bukan di samping Prabowo bisa menjebak MA sendiri pada posisi yang sulit kelak ketika ada-ada hal yang dipertentangkan lagi oleh kelompok ini.

Kedua. Kekecewaan tidak terpilihnya Mahfud MD (MM) di hati rakyat pemilih yang sudah berharap beliau bakal dipilih oleh Jokowi. Ini diikuti pula dengan timbulnya rasa simpati dan penghargaan terhadap MM yang diketahui telah menyiapkan diri berdasarkan perintah, namun ternyata bukan beliau, tetapi orang lain.

Secara pribadi saya tidak ada di posisi ini. Namun, kekecewaan publik akan hal ini jelas terlihat. Kondisi ini bisa mengakibatkan beralihnya suara dari Jokowi ke Prabowo. Akan tetapi, bila pada dasarnya dari semula telah tegas tidak untuk Prabowo-SU, maka pilihan yang ada adalah abstain.

Ketiga. Pandangan umat non-Muslim, khususnya umat Kristiani, terhadap sosok MA tentu berbeda dengan pandangan umat Muslim terhadap beliau.

Sosok MA dalam pandangan umat Kristiani tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kehadiran beliau di MUI dengan pernyataan-pernyataan dan fatwa-fatwa yang diterbitkan MUI terkait dengan kekristenan. Juga, tidak dapat dipungkiri, bahwa kasus BTP tidak lepas dari dukungan fatwa MUI di mana beliau adalah ketuanya.

Citra itu tidak seketika lenyap begitu saja saat MA berpindah kursi jabatan dari MUI ke Cawapres walau tampak MA sekarang sudah mulai mencoba memberi citra baru pada dirinya dengan penggunaan kata-kata toleransi umat beragama, menghargai keberagaman, dan sebagainya.

Dengan hanya dua pasangan calon maka suara kaum Muslim akan terbagi dua. Kubu Prabowo-SU tidak menganggap suara non-Muslim. Meraup suara kaum Muslim sebanyak-banyaknya itu sasaran mereka.

Kondisi ini membuat suara non-Muslim tidak bisa dianggap sepele bagi Jokowi-MA. Apalagi massa Islam yang terlihat pada kasus BTP sekarang berdiri di belakang Prabowo-SU, maka sekalipun persentase suara non-Muslim dari suara kaum Muslim adalah sangat kecil tapi itu justru menjadi signifikan bagi kubu Jokowi-MA.

Dibanding ke Prabowo-SU yang dibelakangnya ada HRS, GNPF, PA berjilid-jilid, Amien Rais, suara umat Kristen kemungkinan besar adalah kepada Jokowi SEBELUM ia menetapkan Cawapres.

Namun ketika Jokowi memilih MA, maka suara non-Muslim, khususnya umat Kristen, mengambang. Yang memberatkan tentu adalah MA-nya. Pilihan yang termudah adalah abstain dan umumnya itulah yang terdengar di kuping Penulis. Setidaknya untuk saat ini.

Suara umat Muslim yang terbagi dan suara non-Muslim cenderung abstain tentu sangat menguntungkan bagi Prabowo-SU. Artinya, Jokowi-MA harus berusaha meraup lebih dari 50% suara kaum Islam untuk bisa memenangkan kontestasi Pilpres 2019. Persaingan meraup suara kaum Muslim akan sangat ketat.

Jokowi dan partai pengusungnya seharusnya melihat bahwa kondisi dan iklim politik Pilpres 2014 yang memberi kemenangan kepada Jokowi-Jusuf Kalla (JK) tidak lagi sama dengan Pilpres kali ini. Pada saat itu saja Jokowi-JK hanya bisa meraup 53.15% suara dan Prabowo-Hatta Rajasa 46.85%.

Maka, bisa dibayangkan bila jumlah pemilih abstain meningkat dan kondisi keislaman saat ini  yang tidak lagi sama dengan Pilpres 2014, maka Jokowi dan pengusungnya harus kerja super keras.

Hanya Penulis agak cemas, karena terlalu banyak hati yang kecewa. Memang kecewa itu selalu ada dalam suatu kontestasi. Hanya saja kali ini, sepertinya, hati yang kecewa itu lebih banyak dari yang tidak kecewa.

Semoga saja jumlah yang kecewa akan menjadi lebih sedikit dari yang tidak kecewa.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun