Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengampuni "Pembunuh" Ayah Saya | 2

25 Juli 2018   23:49 Diperbarui: 27 Januari 2019   02:02 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokpri_alwaysinmyheart

Sebelumnya: Bagian 1 

Malam yang Mengenaskan

Senin, 30 Mei, papi merasa agak pusing. Ia memutuskan untuk periksa ke dokter. Saudara yang tinggal di rumah mengambilkan nomor antrian agar papi tidak harus lama menunggu di ruang tunggu praktik dokter. Sedianya kakak saya akan mengantar papi. Akan tetapi, ia harus pulang dahulu ke rumahnya untuk kembali menemani papi ke dokter.

Sembari menunggu, papi duduk di teras rumah. Apa yang ia lakukan? Membaca Alkitab. Itulah papi. Namun, baru kurang lebih pukul 18.00 Wita, papi memutuskan untuk segera jalan menuju ke dokter tanpa ditemani kakak saya. Mungkin, karena alamat praktik dokter tidak jauh dari rumah, maka papi memilih naik angkutan umum (angkot) meski saat itu cuaca gerimis.

Mami berbaring di kamar. Tak dapat lagi menemani papi seperti biasanya. Itulah sesungguhnya pergumulan kami saat itu. Mami sakit. Ia menderita Kanker Payudara Stadium IV dan belum lama kembali dari Makassar menjalani kemoterapi pascaoperasi. Siapa yang sakit, siapa yang pergi. Itulah kedaulatan Tuhan.

Dengan payung kecil di tangannya, papi berjalan ke luar dari rumah menyusur jalan pemukiman warga menuju ke jalan raya di mana ia akan naik angkot dari situ ke dokter. Sampai di situ, kisah detik-detik terakhir papi di rumah, kami ketahui dari kesaksian saudara yang tinggal di rumah.

Ia tidak dapat menemani papi karena harus menemani mami di rumah. Kami dua bersaudara, yakni saya dan kakak saya. Kakak sudah berkeluarga. Ketika itu saya sedang studi Pascasarjana di Tomohon, Sulawesi Utara.

Kisah selanjutnya kami peroleh dari kesaksian bapak-bapak tukang ojek di pangkalan ojek yang letaknya tidak jauh dari TKP, yakni di jalan raya tepat di depan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan kota Kendari, Sulawesi Tenggara.

Beberapa di antara bapak tukang ojek itu mengenal papi. Kata mereka, papi terlihat berdiri di pinggir jalan dengan memegang payung kecil di tangannya kemudian bergerak menyeberang jalan.

Tiba-tiba papi berhenti di tengah, yakni tepat di garis putih pembatas dua jalur jalan raya itu. Di situ garis putihnya tidak putus-putus melainkan bersambung. Artinya, di situ kendaraan tidak boleh melambung kendaraan di depannya.

Mendengar bapak itu menyebut garis putih pembatas jalur jalan, teringatlah saya, itu adalah pesan papi ketika saya masih di Sekolah Dasar:

"Kalau menyeberang jalan lalu ada kendaraan yang tiba-tiba terlihat masih akan melintas di depan kita, Hennie berdiri di garis putih, tunggu mobil itu lewat, baru Hen lanjut menyeberang. Karena walau sudah terlihat sepi, ada saja supir yang melaju kencang, tiba-tiba sudah ada di depan kita. Jika seperti itu, sementara Hen sudah bergerak menyeberang, berhenti sebentar di garis putih itu. Mobil tidak boleh melewati kita yang berdiri di garis itu. Itu seperti garis Zebra Cross, tidak boleh dilintasi kendaraan jika di situ ada orang yang hendak menyeberang."

Dan, itulah yang papi lakukan di malam itu. Siapa sangka, petunjuk untuk saya berdiri di garis putih, itu juga adalah petunjuk akan akhir hidupnya.

Rupanya masih ada satu angkot yang hendak melintas di depan papi, maka pastilah karena itu papi berhenti tepat di garis putih menunggu angkot itu lewat dahulu.

Namun, dari arah belakang angkot itu tiba-tiba muncul angkot lainnya dengan kecepatan yang tidak rendah hendak melambung angkot yang papi sedang tunggu untuk lewat itu.

Mungkin supir angkot itu tidak melihat papi berdiri di situ. Atau, ia sudah melihatnya, tetapi ia tidak dapat mengontrol kendaraannya karena kecepatan yang tinggi.

Yang terjadi, angkot itu menabrak tubuh papi yang tengah berdiri di garis putih itu dengan payung kecil di tangannya di antara rintik hujan yang mulai deras.

Kata bapak-bapak tukang ojek, bunyi tubrukan angkot ke tubuh papi terdengar sangat keras. Sampai-sampai -- sebelum mengatakan ini ke saya, salah satu bapak itu minta maaf, pada saat mendengar bunyi tubrukan itu, bapak itu langsung berkata, "Aduh, mati dia ini!".

Mereka melihat tubuh papi terpental melayang mundur jauh ke belakang. Payung di tangan papi terlepas dan papi jatuh terhempas dengan kepala membentur keras ke aspal pinggiran jalan itu. Oleh hempasan yang keras itu, tubuh papi kembali terpental ke arah tanah di sekitar jalan itu.

Bukannya berhenti melihat kondisi papi, supir angkot itu malah melarikan angkotnya dengan kecepatan yang tinggi.

Bapak-bapak tukang ojek itu segera menghampiri papi, sedangkan yang lain mengejar angkot itu. Mereka menghentikan sebuah mobil pick up yang tengah melintas untuk membawa papi ke rumah sakit terdekat.

Jika melihat gambar di atas, itulah kemeja yang dipakai papi malam itu di balik jaketnya. Di saku kantong kemeja itu masih ada nomor antrian praktik dokter. Selembar kertas karton plastik kecil berwarna merah.

Pada bagian kiri kemeja masih utuh. Sedangkan, pada bagian kanan kemeja sudah tak berbentuk lagi karena harus digunting agar seluruh kemeja papi bisa dilepaskan dari tubuhnya. Bagian kanan tubuh, khususnya kepala bagian kanan, itulah yang membentur pinggiran aspal.

Kata suster di ruang IGD RS. Santa Anna Kendari, ketika kami bertanya, apakah papi sempat sadar saat dibawa ke situ, bahwa ada satu kali suara papi terdengar saat kemeja papi hendak dikeluarkan dari tubuhnya, “Aduh". Hanya itu. Dan, papi tak pernah bersuara lagi. Papi koma.

Ketegangan yang Mencekam

Malam itu juga saya mengurus tiket pulang dari Tomohon-Manado ke Kendari. Akan tetapi, tidak ada satu pun tiket yang kosong. Esoknya, hari kedua koma papi, Selasa 30 Mei, tak mau menunggu kosong, saya langsung ke Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado.

Masuk dari satu kantor maskapai penerbangan ke maskapai penerbangan lainnya untuk menemukan satu tiket saja dan ada! Namun, hanya sampai di Makassar. Tidak apa-apa yang penting, saya berangkat. Nanti cari tiket lagi di Makassar.

Sesampai di Makassar, kabar dari Kendari menyampaikan, “Hen, jangan ke sini dulu, papi mau dibawa ke Makassar besok”. Baiklah. Saya menunggu di Makassar. Namun, satu jam serasa setahun. Betapa lamanya waktu berlalu. Ketegangan mencekam batin saya tetapi saya ikut saja pengaturan keluarga.

Rabu 31 Mei, papi siap diterbangkan ke Makassar. Kata tante, adik papi, yang ikut dalam ambulans, bahwa dalam perjalanan ke bandara, ada butiran air mata ke luar dari mata papi yang terkatup.

Mungkin ia tahu bahwa tidak ada gunanya lagi ia dibawa ke Makassar atau mungkin ia tidak ingin menutup mata jauh dari keluarga besarnya. Tak ada yang tahu apa arti butiran air mata itu sesungguhnya.

Yang pasti, terjadi ketegangan di Bandar Udara Haluoleo Kendari. Ambulans RS telah persis di kaki tangga pesawat tetapi pilot tidak mengijinkan papi terbang bersama pesawatnya karena pertimbangan tabung gas oksigen papi tidak boleh disertakan ke dalam penerbangan.

Lalu bagaimana? Sementara oksigen itu harus menyertai papi. Tetap tidak boleh. Keluarga pun bersepakat mengambil dan menerima resiko apa pun. Kalau memang tabung oksigen itu tidak boleh disertakan, maka keluarga akan mencabut selang oksigen itu agar papi dapat diterbangkan.

Saya yang jauh makin kebingungan. Di tengah ketegangan keluarga di bandara yang belum mendapat kepastian bisa tidaknya papi diterbangkan, di tengah mereka beradu argumentasi dengan pihak maskapi penerbangan, saya terus menelepon mereka menanyakan saya harus bagaimana.

Tak sanggup lagi lebih lama masih jauh dari papi. Sementara kepastian papi akan diberangkatkan atau tidak belum ada sama sekali. Saya berkeras mau pulang saja saat itu juga. Kalau toh papi jadi diterbangkan, saya ikut lagi kembali ke Makassar. Begitu pikir saya.

Namun, Ketua Sinode Gepsulta ketika itu, Pdt. Adrie Massie, yang diminta keluarga meng-handle ketegangan saya, sebab keluarga sedang bersitegang dengan pihak maskapai penerbangan, beliau berkata kepada saya, “Ade, pesawat bukan angkot, yang ade bisa turun lalu naik kembali. Hennie sabar di situ saja. Tunggu kabar selanjutnya. Jangan dulu terbang ke sini.”

Dengan suasana hati yang tidak dapat saya bahasakan lagi, dengan derai air mata yang tiada henti mengalir, dan dengan pikiran kalut, saya mengikuti saja apa kata mereka.

Akhirnya, kepastian diperoleh. Pilot dan tim medis maskapai penerbangan memastikan bahwa papi tidak dapat diterbangkan walau dengan tanpa tabung oksigen.

Mungkin sangat beresiko bagi papi tanpa oksigen selama 45 menit di udara dengan kondisinya saat itu walaupun di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar ambulans untuk papi telah menunggu di landasan pesawat. Pilot tetap pada keputusannya.

Setelah mendapat kepastian itu. Saya pun segera menyiapkan diri melanjutkan terbang ke Kendari, walaupun lagi-lagi saya harus menunggu penerbangan malam sebab hanya itu tiket yang tersedia.

Menangis Selagi Masih Hidup

Dini hari, Kamis 1 Juni, kurang lebih pukul 02.00 Wita, pesawat yang saya tumpangi tiba di Kendari. Keluarga sudah menunggu saya dan kami langsung menuju RS.

Tepat di depan pintu ruang ICCU yang sudah dibukakan untuk saya, tampak tubuh papi terbaring tak sadarkan diri dengan banyak alat medis ICCU di sekujur tubuhnya.

Hati saya seperti tersayat ribuan silet tajam. Tak sanggup melihatnya seperti itu. Bunyi mesin alat-alat yang menempel di tubuh papi menjadi seperti ribuan jarum menusuk hati saya. "Papiiiiiiiii ...", teriak saya histeris sambil hendak lari memeluknya.

Akan tetapi, keluarga menahan tubuh saya. Tidak boleh dalam kondisi seperti itu di ruang ICCU. Saya harus tenang dulu.

Keras seorang saudara menegur, “Hei! Tidak boleh menangis. Papi masih hidup!”. Saya menjawab, “Justru karena papi masih hidup, saya menangis. Kalau papi sudah tidak ada, untuk apa saya menangis lagi?!”.

Ya. Menangislah pada saat orangnya masih hidup sebab mungkin air mata itu bisa meluluhkan hati Allah untuk belum memanggil ia pulang. Menangislah pada saat orangnya masih hidup untuk menyadari semua salah diri sehingga waktu untuk berbenah masih ada. Sebab, bila ia telah tiada, air mata itu sama sekali tidak ada gunanya lagi!

Selamat Jalan Papi

Hati saya hancur. Papi dekat sekali dengan saya. Tidak ada satu kata pun yang bisa membahasakan apa yang saya rasakan saat itu. Namun, saya tidak boleh menangis di depan papi! Saya harus segera masuk. Papi pasti sedang menunggu saya :-‘[.

Dari pengalaman pernah merasakan bagaimana roh saya dicabut dari raga saya, baru sesudah itu saya tahu, sebenarnya papi sedang melihat saya saat itu walau matanya tertutup dan tubuhnya terbaring koma.

Pengalaman ini saya tulis pada artikel Begini Rasanya Roh Dicabut dari Raga. Akan tetapi, ketika itu saya belum tahu itu. Saya hanya meyakini, bahwa papi tahu saya ada.

Ada tanda yang papi berikan, yang kami artikan sebagai pesan papi kepada kami. Ketika saya mengajak papi menyanyi lagu kesukaannya, “Bersyukur kepada Tuhan”, tiba-tiba kaki papi bergerak dengan gerakan seirama beat lagu itu dari awal hingga lagu itu selesai seolah ia ikut bernyanyi bersama kami.

Kami menangkap pesan di situ, bahwa kami harus tetap bersyukur kepada TuhanItulah pesan terakhir papi kepada kami.

Jumat 3 Juni 2005, mulai kira-kira jam 3 dini hari, tubuh papi menunjukkan tanda-tanda telah tiada. Namun, kami memutuskan untuk tetap menunggu sampai mesin-mesin itu benar-benar tak berbunyi lagi.

Pukul 06:30 Wita semua pun berhenti.

I love you, Papi, miss you so much :-'(

Salam. HEP.-

Bersambung ke Bagian 3 : Supir Itu Meminta Maaf.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun