Malam itu juga saya mengurus tiket pulang dari Tomohon-Manado ke Kendari. Akan tetapi, tidak ada satu pun tiket yang kosong. Esoknya, hari kedua koma papi, Selasa 30 Mei, tak mau menunggu kosong, saya langsung ke Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado.
Masuk dari satu kantor maskapai penerbangan ke maskapai penerbangan lainnya untuk menemukan satu tiket saja dan ada! Namun, hanya sampai di Makassar. Tidak apa-apa yang penting, saya berangkat. Nanti cari tiket lagi di Makassar.
Sesampai di Makassar, kabar dari Kendari menyampaikan, “Hen, jangan ke sini dulu, papi mau dibawa ke Makassar besok”. Baiklah. Saya menunggu di Makassar. Namun, satu jam serasa setahun. Betapa lamanya waktu berlalu. Ketegangan mencekam batin saya tetapi saya ikut saja pengaturan keluarga.
Rabu 31 Mei, papi siap diterbangkan ke Makassar. Kata tante, adik papi, yang ikut dalam ambulans, bahwa dalam perjalanan ke bandara, ada butiran air mata ke luar dari mata papi yang terkatup.
Mungkin ia tahu bahwa tidak ada gunanya lagi ia dibawa ke Makassar atau mungkin ia tidak ingin menutup mata jauh dari keluarga besarnya. Tak ada yang tahu apa arti butiran air mata itu sesungguhnya.
Yang pasti, terjadi ketegangan di Bandar Udara Haluoleo Kendari. Ambulans RS telah persis di kaki tangga pesawat tetapi pilot tidak mengijinkan papi terbang bersama pesawatnya karena pertimbangan tabung gas oksigen papi tidak boleh disertakan ke dalam penerbangan.
Lalu bagaimana? Sementara oksigen itu harus menyertai papi. Tetap tidak boleh. Keluarga pun bersepakat mengambil dan menerima resiko apa pun. Kalau memang tabung oksigen itu tidak boleh disertakan, maka keluarga akan mencabut selang oksigen itu agar papi dapat diterbangkan.
Saya yang jauh makin kebingungan. Di tengah ketegangan keluarga di bandara yang belum mendapat kepastian bisa tidaknya papi diterbangkan, di tengah mereka beradu argumentasi dengan pihak maskapi penerbangan, saya terus menelepon mereka menanyakan saya harus bagaimana.
Tak sanggup lagi lebih lama masih jauh dari papi. Sementara kepastian papi akan diberangkatkan atau tidak belum ada sama sekali. Saya berkeras mau pulang saja saat itu juga. Kalau toh papi jadi diterbangkan, saya ikut lagi kembali ke Makassar. Begitu pikir saya.
Namun, Ketua Sinode Gepsulta ketika itu, Pdt. Adrie Massie, yang diminta keluarga meng-handle ketegangan saya, sebab keluarga sedang bersitegang dengan pihak maskapai penerbangan, beliau berkata kepada saya, “Ade, pesawat bukan angkot, yang ade bisa turun lalu naik kembali. Hennie sabar di situ saja. Tunggu kabar selanjutnya. Jangan dulu terbang ke sini.”
Dengan suasana hati yang tidak dapat saya bahasakan lagi, dengan derai air mata yang tiada henti mengalir, dan dengan pikiran kalut, saya mengikuti saja apa kata mereka.