Mohon tunggu...
Heni Prasetyorini
Heni Prasetyorini Mohon Tunggu... Tutor - Edupreneur

Pegiat pendidikan coding untuk anak-anak di Heztek Coding

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Apakah Les Privat Solusinya?

30 November 2015   15:22 Diperbarui: 30 November 2015   18:21 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - les privat (Shutterstock)

Beberapa kali saya dihubungi oleh teman saya, ibu-ibu, yang kebetulan juga anaknya satu sekolah dengan anak saya. Dan sama-sama kelas 8 SMP. Dia ingin sekali saya bisa menjadi guru les privat untuk anakya itu. 

"Mbak, bisa ngelesi anakku?"

Begitu awalnya dia mengajukan permohonan. Saya sedikit kaget juga. Kami beberapa kali bertemu ketika mengantar-jemput anak, tapi tak pernah sekali pun dia singgung akan keinginannya itu.

"Kok tumben, ada apa anaknya?"

Saya bertanya untuk memastikan hal tersebut.

"Nilainya anakku hancur semua, Mbak. Kata kepala sekolahnya, anakku diminta untuk cari guru privat." 

Begitulah akhirnya dia bercerita panjang lebar. Memang tempo hari, ada acara pembagian rapor sisipan. Acaranya di lantai dua. Sedangkan di lantai 1 adalah tempat kepala sekolah dan guru bidang studi yang menunggu. Mereka menunggu wali murid yang ingin berkonsultasi tentang anaknya di sekolah. Kebetulan saya tidak memerlukannya. Alhamdulillah anak saya "lolos" dan saya langsung pulang tanpa mampir ke tempat kepala sekolah. 

Saya bertanya lebih lanjut, apakah yang dibicarakannya dengan kepala sekolah waktu itu. Pada intinya begini, Pak Kepsek menceritakan masalah belajar yang dialami oleh anaknya di dalam kelas. Jadi ketika jam pelajaran berlangsung, anak teman saya ini sebenarnya tidak gaduh atau berulah. Dia diam saja, anteng. Tapi ternyata diamnya itu karena melamun. Dia tidak memperhatikan guru sama sekali. Bahkan ketika dipanggil namanya dengan tiba-tiba, anaknya itu langsung kaget dan terkesiap.  

Alhasil, tiada materi pelajaran yang nyantol di kepalanya. Dan berimbas pada warna-warni nilai di rapor sisipan yang terjun bebas. 

"Matematika aja?" tanya saya waktu itu.

"Tidak, Mbak, semua pelajaran," jawabnya.

Semua pelajaran? Jika ada yang keliru dengan satu bidang studi saja, mungkin memang anaknya nggak ngeh. Tapi jika semua pelajaran, pasti ada hal lain yang keliru.

"Kok semua pelajaran. Emangnya anakmu kenapa katanya nggak bisa konsentrasi? Udah mulai lihat porno-porno ya?" Saya bertanya enteng saja, karena anaknya juga sama-sama remaja. Laki pula. 

"Nggak mbak, dia takut dosa. Dia cuma suka main game. Kalau dah di rumah nggak bisa lepas dari HP nya." 

Oh main game, masalahnya. Jika itu yang terjadi, dan sudah disampaikan kepada Bapak Kepsek. Lalu kenapa yang disarankan solusinya adalah mencari guru privat? Bukankah game dan HP itu penyakitnya? Menurut teman saya itu, kepsek menyarankan anaknya les tambahan biar waktunya habis untuk belajar saja. Jadi tidak akan sempat untuk megang HP-nya lagi dan main game. 

Ooooh, gitu saja saya menjawabnya. Namun juga tak habis pikir. Menurut saya, les privat bukanlah solusinya. Pendekatan kepada anak agar dia bisa mengendalikan dirinya terhadap HP, adalah yang utama. Saya menyarankan anak itu diberi aktivitas lain, dan bukan tentang sekolah dan belajar. Misalnya main bola, ikutan komunitas hobi, dll.. Namun dijawab langsung, anak teman saya itu tidak suka bepergian. Dia hanya suka di dalam rumah dan main HP di kamar.  

Setelah saya sarankan ini itu, tidak mempan. Saya pun mencoba menerimanya ke rumah saya untuk belajar bersama. Saya mengistilahkan itu supaya tidak tegang dengan kalimat les privat. Begitulah dia pun datang bersama ibunya ke rumah. Anak remaja lelaki yang udah tinggi besar, terlihat meringkuk di bawah pelukan ibunya. Saya bingung juga memberikan bantuan belajar, sambil menanggapi obrolan dengan sang ibu. Saya coba menyertakan anak saya untuk belajar bersama. Namun jadinya malah kontraproduktif.  

Anak teman saya itu kelihatan gelisah. Dan tetap tidak ada gairah untuk belajar. Beberapa soal latihan Biologi, hanya dia pandangi saja dengan tatapan kosong. Ketika saya tanya, "Jadi mana Dek jawabannya?" 

Dia pun kaget dan langsung menjawab, "Nggak tahu."

Saya tengok bukunya, dan cling, sekali tunjuk saya sudah menemukan jawabannya. Padahal tulisannya jelas-jelas kelihatan. 

Saya tetap merasa, les privat bukanlah solusinya dari masalah belajar yang dialami anak ini. Les privat pastilah to the point untuk mengerjakan soal dan memahami materi. Sedangkan anak ini bermasalah pada motivasi belajarnya. Dan karena ini masuk ranah psikologi, saya pikir solusinya harus dari orang tua dan diri anak itu sendiri. Merekalah yang harus berperan melakukan pendekatan agar anaknya mengerti pentingnya belajar, pentingnya ilmu dan pendidikan untuk masa depannya. 

Saya juga menyarankan kepada teman saya itu agar anaknya diberi sedikit kesempatan untuk hidup susah. Jika mereka terbiasa diladeni, sekolah diantar-jemput, makanan enak selalu siap tersedia, kamar ber-AC nan nyaman, segala kebutuhan dipenuhi, bahkan ibunya yang siap membelikan ke mana saja. Saya pikir gaya pengasuhan seperti ini bisa menjadi bumerang buat orang tuanya. Dan itu sudah tampak pada anak teman saya itu. Dia terbiasa ditolong. Sehingga mencari jawaban di tulisan buku bacaan pun dia enggan. Inginnya saya tinggal tunjuk, menjawabkan, dan dia mengulangi saja atau menulis ulang. 

Di akhir pertemuan, saya ulangi mengatakan bahwa kalau ingin terus belajar bersama saya, harus tahan banting. Harus mau menulis ulang rumus. Mau mengerjakan soal urut, detil dan tanpa trik singkat. Mau membaca ulang, mencari kata kunci dan membuat mind map.  

Dan ternyata, kalimat terakhir saya waktu itu membuat anak teman saya tidak mau kembali lagi ke rumah.

Begitulah :)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun