Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tahun yang Mati

6 Desember 2024   07:04 Diperbarui: 6 Desember 2024   07:11 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Desember selalu datang seperti utusan tak diundang, membawa kabar bahwa segalanya akan berakhir, entah bahagia, hampa, atau getir. Aku berdiri di balkon kos kecilku, menatap langit malam yang kelabu. Ada semacam kekosongan di udara, sesuatu yang lebih berat dari dinginnya angin yang meniup lemah tirai jendela. Suara kembang api sesekali meledak di kejauhan, tapi tak ada satu pun yang memantul di atas kepalaku.

Di jalanan, orang-orang berlalu-lalang, mengenakan jaket tebal dan senyum tipis, seperti mereka tahu sesuatu yang aku tidak tahu. Mereka membawa balon, trompet, atau sekadar kantong belanja yang penuh dengan janji-janji akhir tahun. Aku mencoba membayangkan apa yang mereka pikirkan. Mungkin, mereka percaya bahwa tahun baru adalah pengampunan, sebuah kesempatan untuk menghapus dosa-dosa yang mereka buat selama dua belas bulan terakhir. Tapi bagiku, Desember hanyalah bulan dengan lembaran kalender paling kosong.

Aku mengunci pintu balkon dan meraih jaket. Ada sesuatu yang memanggilku keluar, sesuatu yang tidak bisa kujelaskan.

Di pasar malam akhir tahun, aku berjalan tanpa tujuan. Kaki-kaki ini membawa tubuhku seperti punya pikirannya sendiri. Lampu-lampu neon berkedip malas, mengelilingi penjual makanan, mainan, dan segala macam benda yang tidak kuinginkan. Di sebuah sudut, seorang anak kecil meniup trompet, menghasilkan suara nyaring yang membuatku sedikit meringis.

Aku berhenti di depan seorang penjual kembang api. Anak-anak kecil berdiri di sana, mata mereka penuh dengan antusiasme. Tapi aku tidak bisa melihat itu. Aku hanya melihat tangan kecil mereka yang menukar uang dengan ledakan sementara. Apa yang mereka pikirkan? Apakah ledakan itu cukup untuk menerangi sesuatu di dalam jiwa mereka?

"Mas mau beli?" suara si penjual membangunkanku dari lamunan. Aku menggeleng. "Tidak, hanya lihat-lihat."

"Beli saja, mas. Tahun baru ini katanya ada keberuntungan besar." Aku tertawa kecil, tanpa benar-benar merasa lucu.

Keberuntungan besar? Rasanya aku telah menghabiskan tahun ini mengejar keberuntungan kecil yang terus saja melarikan diri.

Aku terus berjalan.

Di ujung pasar malam itu, aku melihat sesuatu yang aneh. Sebuah meja kecil dengan kain hitam yang menutupi, nyaris tak terlihat di bawah bayangan pohon. Di belakang meja itu, seorang pria tua duduk diam. Tidak ada lampu neon, tidak ada suara keras, hanya lentera kecil di mejanya. Di depannya, ada papan kayu bertuliskan: "Dengar Cerita Tahun yang Mati."

Aku berhenti. Apa maksudnya? Pria itu mengangkat pandangannya, matanya seperti terbuat dari malam itu sendiri. "Mau dengar cerita?" tanyanya. Suaranya rendah, seperti bisikan yang menyelinap di antara suara-suara bising pasar.

"Cerita tentang apa?" tanyaku.

"Cerita tentang tahun yang mati. Bukankah kau ingin tahu apa yang terjadi pada waktu yang kau buang?"

Aku menatapnya lama. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa telanjang, seolah dia tahu bahwa aku telah melewati tahun ini tanpa benar-benar hidup.

"Berapa bayarannya?"

Dia tersenyum kecil. "Tidak ada. Cerita ini hanya butuh telinga yang mau mendengar."

Aku duduk di kursi di depannya, dan dia mulai berbicara.

"Setiap tahun, Desember datang dengan rahasianya sendiri," katanya. "Bagi sebagian orang, Desember adalah perayaan; bagi yang lain, ia adalah hukuman. Tapi apa pun itu, setiap Desember selalu ada yang mati. Tahun-tahun yang kau pikir telah berlalu, sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi. Mereka menunggu di suatu tempat, seperti hantu yang ingin menyelesaikan urusan mereka."

Dia berhenti, menatapku. "Apa kau pernah merasa bahwa waktu seakan mengejarmu?"

Aku mengangguk, meskipun tidak yakin apa yang dia maksud.

"Ketika tahun ini mati, ia akan kembali sebagai ingatan, sebagai bayangan yang terus menghantui langkahmu. Kau mungkin tidak melihatnya, tapi dia ada di sana---di balik keputusan yang kau tunda, di dalam mimpi yang kau abaikan, di setiap momen yang kau sia-siakan. Dan setiap Desember, tahun-tahun ini berkumpul, menggelar pengadilan di belakang pintu yang tidak terlihat."

"Apa maksudmu pengadilan?" tanyaku, bingung.

Dia tersenyum samar. "Pengadilan waktu. Tempat di mana semua detik yang kau habiskan akan bersaksi. Detik-detik yang kau habiskan dengan kebahagiaan akan menjadi saksi yang membela. Tapi detik-detik yang kau isi dengan kebencian, penyesalan, atau kebodohan---mereka akan menuntutmu."

Aku merasa darahku mendingin. "Dan hukumannya apa?"

Dia memandang jauh, seolah mencari jawabannya di udara malam. "Hukumannya sederhana: kau harus hidup dengan bayangan itu. Tahun-tahun yang kau bunuh akan menjadi beban yang kau bawa, hingga kau belajar untuk tidak mengulanginya."

Aku pulang malam itu dengan kepala penuh bayangan. Pria tua itu tidak meminta apa-apa dariku, tapi aku merasa seperti telah meninggalkan sesuatu di mejanya---sesuatu yang lebih berat daripada uang.

Di kamar, aku duduk di depan kalender yang tergantung di dinding. Satu lembar terakhir menunggu, putih dan kosong. Aku memandangi tanggal 31 Desember, merasa seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi di balik angka-angka itu.

Aku meraih pena dan mulai menulis. Aku tidak tahu apa yang aku tulis---mungkin sebuah janji untuk diriku sendiri, mungkin sekadar doa yang tidak pernah selesai. Kata-kata mengalir seperti air, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada sesuatu yang keluar dariku, sesuatu yang telah lama tertahan.

Ketika selesai, aku menatap kertas itu lama, sebelum akhirnya melipatnya dan menyelipkannya di bawah bantal.

Malam itu, aku bermimpi tentang meja hitam di pasar malam, dan seorang pria tua yang terus berbicara tentang tahun-tahun yang mati. Tapi kali ini, di mimpiku, dia tidak sendirian. Di belakangnya, berdiri semua tahun yang telah aku lalui, menatapku dengan mata kosong.

Dan di antara mereka, aku melihat tahun ini---rapuh, lemah, tapi tersenyum.

Pagi pertama Januari datang dengan cahaya yang berbeda. Aku membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk. Ada suara kembang api sisa malam tadi, suara yang terdengar seperti gumaman terakhir dari sebuah perayaan yang telah berlalu.

Aku meraih kertas di bawah bantal dan membacanya lagi. Kata-kata itu sederhana, tapi entah bagaimana, terasa seperti mantra:

"Jangan bunuh tahun ini. Jangan biarkan dia menjadi bayangan yang lain. Hidupkan dia."

Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa Januari bukanlah pengampunan atau penundaan hukuman. Januari adalah kelahiran. Sebuah kesempatan untuk akhirnya hidup, sebelum semuanya kembali mati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun