"Apa maksudmu pengadilan?" tanyaku, bingung.
Dia tersenyum samar. "Pengadilan waktu. Tempat di mana semua detik yang kau habiskan akan bersaksi. Detik-detik yang kau habiskan dengan kebahagiaan akan menjadi saksi yang membela. Tapi detik-detik yang kau isi dengan kebencian, penyesalan, atau kebodohan---mereka akan menuntutmu."
Aku merasa darahku mendingin. "Dan hukumannya apa?"
Dia memandang jauh, seolah mencari jawabannya di udara malam. "Hukumannya sederhana: kau harus hidup dengan bayangan itu. Tahun-tahun yang kau bunuh akan menjadi beban yang kau bawa, hingga kau belajar untuk tidak mengulanginya."
Aku pulang malam itu dengan kepala penuh bayangan. Pria tua itu tidak meminta apa-apa dariku, tapi aku merasa seperti telah meninggalkan sesuatu di mejanya---sesuatu yang lebih berat daripada uang.
Di kamar, aku duduk di depan kalender yang tergantung di dinding. Satu lembar terakhir menunggu, putih dan kosong. Aku memandangi tanggal 31 Desember, merasa seolah-olah ada sesuatu yang bersembunyi di balik angka-angka itu.
Aku meraih pena dan mulai menulis. Aku tidak tahu apa yang aku tulis---mungkin sebuah janji untuk diriku sendiri, mungkin sekadar doa yang tidak pernah selesai. Kata-kata mengalir seperti air, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada sesuatu yang keluar dariku, sesuatu yang telah lama tertahan.
Ketika selesai, aku menatap kertas itu lama, sebelum akhirnya melipatnya dan menyelipkannya di bawah bantal.
Malam itu, aku bermimpi tentang meja hitam di pasar malam, dan seorang pria tua yang terus berbicara tentang tahun-tahun yang mati. Tapi kali ini, di mimpiku, dia tidak sendirian. Di belakangnya, berdiri semua tahun yang telah aku lalui, menatapku dengan mata kosong.
Dan di antara mereka, aku melihat tahun ini---rapuh, lemah, tapi tersenyum.
Pagi pertama Januari datang dengan cahaya yang berbeda. Aku membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk. Ada suara kembang api sisa malam tadi, suara yang terdengar seperti gumaman terakhir dari sebuah perayaan yang telah berlalu.