Aku berhenti. Apa maksudnya? Pria itu mengangkat pandangannya, matanya seperti terbuat dari malam itu sendiri. "Mau dengar cerita?" tanyanya. Suaranya rendah, seperti bisikan yang menyelinap di antara suara-suara bising pasar.
"Cerita tentang apa?" tanyaku.
"Cerita tentang tahun yang mati. Bukankah kau ingin tahu apa yang terjadi pada waktu yang kau buang?"
Aku menatapnya lama. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa telanjang, seolah dia tahu bahwa aku telah melewati tahun ini tanpa benar-benar hidup.
"Berapa bayarannya?"
Dia tersenyum kecil. "Tidak ada. Cerita ini hanya butuh telinga yang mau mendengar."
Aku duduk di kursi di depannya, dan dia mulai berbicara.
"Setiap tahun, Desember datang dengan rahasianya sendiri," katanya. "Bagi sebagian orang, Desember adalah perayaan; bagi yang lain, ia adalah hukuman. Tapi apa pun itu, setiap Desember selalu ada yang mati. Tahun-tahun yang kau pikir telah berlalu, sebenarnya tidak pernah benar-benar pergi. Mereka menunggu di suatu tempat, seperti hantu yang ingin menyelesaikan urusan mereka."
Dia berhenti, menatapku. "Apa kau pernah merasa bahwa waktu seakan mengejarmu?"
Aku mengangguk, meskipun tidak yakin apa yang dia maksud.
"Ketika tahun ini mati, ia akan kembali sebagai ingatan, sebagai bayangan yang terus menghantui langkahmu. Kau mungkin tidak melihatnya, tapi dia ada di sana---di balik keputusan yang kau tunda, di dalam mimpi yang kau abaikan, di setiap momen yang kau sia-siakan. Dan setiap Desember, tahun-tahun ini berkumpul, menggelar pengadilan di belakang pintu yang tidak terlihat."