Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kita Putus

28 Januari 2021   23:01 Diperbarui: 28 Januari 2021   23:08 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Kita Putus
Penulis : Hening Nugroho

"Giliranmu!"

"Giliranku?"

"Iya, emang kamu belum tahu?"
Ucok menggeleng

"Sekarang waktumu presentasi!"

"Presentasi apa?" Ucok penasaran sekaligus ketakutan maklum guru di depannya
sangar, wanita, masih muda tapi galak, namanya Bu Ita, mukanya judes abis,
alisnya tipis seperti habis dikerok lalu diukir pakai pensil alis, bibirnya agak tebel, matanya tajam seperti burung hantu. 

Ivan hampir kehabisan kata, "ayo cepet sono maju!" bisiknya agak keras dengan mata
melotot, "pidato pakai Bahasa Inggris," kata Ivan pelan. 

Ucok kalangkabut, belum dipersiapkan apa materinya karena satu hari yang lalu dia
tidak masuk kelas, sakit. Dan temannya pun tidak kasih tahu kalau ada tugas segenting itu. Bisa jadi tidak hanya genting tapi amat genting. Guru yang satu ini sangat senewen, bila ada yang ketahuan tidak mengerjakan tugas maka tidak ada kompromi lagi nilainya langsung nol. 

"Ucok pleasee... " 

Guru yang senewen itu sudah memanggil-manggil, gila suaranya seperti auman singa yang siap menyantap. Ucok pun ketakutan, empat pilar ketrampilannya beladiri tiba-tiba saja langsung rontok, Pencak silat, Taekwondo, Karate, dan Kung Fu langsung gugur cuma menghadapi suara wanita itu. Gurunya sendiri.

"Yes Ma'am," jawab Ucok lugas tapi cenderung dibuat-buat, sadar kalau tugasnya  belum dikerjakan, tangannya seperti sibuk mencari sesuatu di dalam tas, dibongkar, sedikit akting, diaduk-aduk lalu dirampasnya satu lembar kertas tulis bergaris berisi penuh dengan tulisan. Tapi entah tulisan apa itu, Ucok buru-buru menarik kertas itu ditunjukkan di depan orang-orang biar terkesan anak yang rajin selalu mengerjakan tugas gurunya. 

Namun semua orang ternyata ketipu, belum tahu akal bulus si Ucok, kawannya yang duduk bersebelahan,Ivan, kelihatan cengar-cengir. Kertas itu ternyata berisi kata-kata gombal untuk pacarnya sendiri : 

"halo sayang, lagi apa, sudah makan belum, kita ketemuan yuk, dan berakhir dengan kalimat cinta yang sudah karatan, "I Love You," disusul gambar hati diwarnai spidol pink.

What! Berarti Ucok bohong. Sudah jelas.
Gaya Ucok ternyata manipulasi, dia berdiri dari kursinya, bersembahyang dalam hati,
"ya Tuhan jangan sampai ketahuan," kepalanya nunduk tidak berani menatap gurunya langsung, jalannya menyilang-nyilang seperti orang ngompol. 

Selembar kertas yang baru dia
ambil dipegang tangan kanannya dan kertas yang berisi kata-kata gombal itu dia sembunyikan biar tidak kelihatan, dibalik, dan dilekatkan di depan dada. Nyaris Ucok berjalan seperti orang idiot.

Di depan kelas Ucok berdiri terpaku, matanya tidak jelas menatap kemana, mondar-mandir kesana-kesini, ternyata, aduh, bukannya menatap gurunya malah menatap pujaan hatinya yang duduk di kursi paling depan. Baru kali ini dia bisa menatap wajah pujaannya itu kalau sedang serius di kelas, cantiknya luar biasa, Ucok baru satu minggu menambatkan cinta dengannya, namanya Vera. 

Lengkapnya Vera Intan Purnamasari Mewangi Sepanjang Hari, panjang betul, namun teman satu kelas musyawarah sepakat manggil Vera cuma dengan sebutan VIP, singkatan dari Vera Intan Purnamasari. Dialah sang Primadona sekolah, tak cuma pintar, tapi juga cantik, punya segudang prestasi, bapaknya orang kaya, ibunya Kepala Polisi, macam-macam bisa dipenjara.

"Pleasee... " kata Bu Ita sedikit membentak.

Ucok kaget, lamunannya buyar, mengerling ke arah Gurunya yang hampir geregetan
karena Ucok sudah berdiri terlalu lama di depan kelas. Padahal giliran yang lain belum, sudah terkencing-kencing.

"Ucok, hurry up!" perintah Bu Ita lagi

"Yes Ma'am," Ucok tegang, keringetan, tak tahu harus berbuat apa. 

Sementara sang kekasih geregetan, dalam hatinya bilang, "goblok!" seperti tak
mengenal siapa yang sedang berdiri di depan kelas itu, kekasihnya sendiri. 

"Ucok!" bentak Bu Ita dengan keras, kali ini sambil menggebrak meja, sangarnya
kelihatan.

Ucok loncat, jantungnya hampir copot, "Yes Ma'am," lagi-lagi cuma jawaban seperti
itu.

Vera tak sabar, naik pitam, "Hey Ucok! what are you waiting for?"

Ucok memicingkan matanya ke arah Vera, aneh ada yang tak beres dengan diri Vera,
berkali-kali Ucok mengedipkan mata ke arah Vera tapi Vera tak merespon. Ucok seolah tak  
mengenal diri Vera yang sebenarnya, apa mungkin karakternya berbeda ketika sedang di kelas. Raut wajah Vera tampak serius bukan main, matanya melototi Ucok.

Saking jengkelnya Vera menghambur ke depan kelas menghampiri Ucok dengan
gagah berani.

"Wah gawat!" ucap Ivan

"Coba lihat kerjaanmu!" Vera langsung merampas kertas Ucok yang sejak tadi
dilekatkan di dadanya. Ucok pasrah lagian Vera tahu surat apa itu, tak mungkin dia
melaporkan kepada Bu Ita. Tapi wajah Vera memerah, bukannya merah malu tapi merah
muram. Tak serius, suka bercanda, kata Vera dalam hatinya. Vera bergegas menyerahkan
kertas itu kepada Bu Ita.

"Ver?" Ucok ingin menghalangi tapi apa daya.

"Ini Bu kerjaan Ucok," Vera menyerahkan kertas itu.

Bu Ita melotot, melihat kertas itu seperti melihat mangsanya yang siap untuk
diterkam.

"Ini apa Cok?" tanya Bu Ita pelan, sabar, menahan amarah. Kertas itu ditunjukkan di
depan kelas, hukuman moral bagi yang tidak mengerjakan tugas. 

Serentak semua penghuni kelas itu merebahkan kepalanya, menajamkan mata,
mengintip tulisan yang ada di dalam kertas itu, tapi yang paling jelas dilihat adalah simbol hati. Semua murid tertawa, meneriaki, memberi ejekan. Ucok berdiri lemas satu jam penuh di depan kelas. Itulah hukumannya.

***

Istirahat jam pertama, memasuki jam kedua, semua murid sudah tahu, ada pelajaran Matematika. Ucoklah jagoannya sekarang, pengajarnya kali ini berbeda, lelaki paruh baya yang punya tinggi badan hampir menyentuh langit pintu, 187 cm. Semua murid menghargai Bapak yang satu ini, namanya Pak Min, jebolan UGM, Cumlaude, semua orang menjulukinya Bapak Kalkulator, bisa dibayangkan hitungannya sangat cepat dan akurat, seperti kereta express. Dan ketika memberi nilai maka hanya satu orang yang selalu dapat nilai sepuluh, Ucok. Si anak kesayangan Pak Min. Tak ada yang bakal jadi pesaingnya kali ini.

Pak Min berjalan ke kelas, jalannya lambat sekali seperti siput. Sementara dua orang
berisik sedang mengatur strategi di dalam kelas merencanakan sesuatu, angin berbisik menghembuskan adanya aroma balas dendam, entah pada siapa.

"Ini tikus putih, kasih mana?"

"Lacinya aja."

Semua murid bergegas masuk ke kelas, dan seperti biasanya, jalannya melenggak-lenggok bak artis ibukota, mukanya menebar pesona, harumnya semerbak, kulitnya putih minta ampun, Vera duduk di kursinya lalu merogoh tas di dalam laci, dan sontak Vera balik lagi berdiri, kalangkabut, seperti kerasukan setan, tapi bukan, ternyata tikus putih kecilsedang merambati tangan Vera.

Vera belingsatan mengusir tikus putih itu. Ruangan kelas jadi riuh, semua tertawa tapi
hanya satu orang yang tampak menyembunyikan muka, sesekali mengintip, matanya mencuri-curi. Sudah jelas, tanpa ampun, dengan muka garang Vera mendatangi orang itu.

 "Ucoook, ini ulahmu?" kata Vera dengan keras, kelihatan sangat marah.
Yang ditunjuk diam saja, Vera terus mengejar siapa dalangnya, matanya beralih
menatap Ivan yang duduk di samping Ucok. 

"Ivan, kamu yang taruh tikus itu?"
Ivan geleng kepala. Diam. 

"Katakan Van siapa yang taruh tikus itu di dalam laciku?" Vera marah besar, dia terus
menginterograsi Ivan, dipaksa berkata jujur. 

Masih, tak ada yang mengaku.
Vera menarik nafasnya, mengeluarkan jurus jitu, sekarang suaranya pelan namun lebih mengancam, "Ivan, katakan siapa yang taruh tikusitu?" tanpa emosi, sabar banget.
Ivannya masih bungkam.

"Kalau kamu tidak mau katakan, oke, aku mau laporkan ke guru BP!!"

DUARRR ...

Ivan kepojok, Vera mengancam, wataknya agak nekat, itu yang sangat ditakuti Ivan.
Lagipula Ivan tidak mau berulah dengan guru BP itu, Ivan tahu konsekuensinya jika
bermasalah dengan guru BP, minta ampun galaknya, bahkan melebihi Bu Ita yang sangar itu, penguasanya adalah seorang laki-laki, matanya juga tajam, kalau menatap orang kepalanya agak ditundukkan sedikit, agak sipit, mulutnya lebar, badannya sedang, tak besar atau kecil setinggi orang dewasa saja, dan yang paling nyentrik bagian rambutnya, kalau ditelan bulat-bulat mirip Yakuza.

Akhirnya Ivan menyerah, tidak mau menyimpan rahasia lebih lama, tangannya
menuding Ucok yang berada diseberangnya.
Vera muntab, wajahnya tidak lagi aduhai, malah lebih mirip serigala yang lagi meringis. 

Tangan Vera melayang.

"Plaak," Vera menampar Ucok

"KITA PUTUS!"

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun