Mohon tunggu...
Henik sriwahyuni
Henik sriwahyuni Mohon Tunggu... Guru - Mengajar di SMP Swasta, Ingin belajar menulis agar tak sia-sia Tuhan memberi kecerdasan, walau cerdasku belum sepadan tuntutan Alam

Lahir di wlingi Blitar pada 13 April 1975,Istri dan ibu dari 3 Arjuna dan 1 Srikandi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Virus dari Masa Lalu

18 Desember 2021   20:40 Diperbarui: 31 Desember 2021   20:00 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jauhi anakku, kau mengincar harta kami ya, anakku tak sepadan denganmu".  Ah... Kata itu, terlintas lagi di memoriku.  Saat itu aku dan Heri, sedang menari sambil lempar selendang.  Acara bujang gadis di Kampungku.  Acara malam pengantin Kak Mahda tetanggaku.  "Lagian anakku, anak tertua, tak sembarangan aku memilih menantu".  Untung saja, aku dididik kerja keras sejak kecil, hingga tuduhan keji itu bisa kuabaikan, walau akupun malu saat itu. 

Sejak kejadian itu, keluargaku memindahkan sekolahku.   Agar aku fokus dengan pendidikankku.  Aku juga bertekad jika belum sarjana aku tak kan pulang ke kampungku.  Aku ikut pamanku di Metro Kibang Lampung Timur. 

Tuhan punya rencana, yang tak terduga. Keluargaku buka usaha di Lampung Timur.  Akhirnya kami sekeluarga pindah. Sejak saat itu aku tak pernah kontak, Apa lagi bertukar berita. 

Namun takdirku, kembali ke Natar.  Karena jodohku orang Natar.  Tuhan mengapa setelah sekian lama aku harus terhubung dengan keluargannya lagi. 

Pagi-pagi, sambil ngeteh bareng,  ku utarakan ke suamiku.  Melalui penjelasan yang cukup panjang.  Diskusipun   cukup lama.  Akhirnya suami memberi ijin dengan berbagai syarat.  Suamiku pun menghubungi beberapa sepupuku menanyakan, kebenaran ceritaku.  Atas pertimbangan kemanusiaan,  Akhirnya ku Wa Heri,  minta info ruang dan nomor kamar.  Ternyata masih di ICU. Hal ini membuat suamiku makin merestui aksi kemanusiaanku, walau tak bisa mengantarku. 

Jarak rumahku dengan RS tidak jauh, cukup 40 menit, sampai.Kebetulan parkiran motor tepat di depan IGD.  Baru saja selesai ku lepas helmku.   "Makasih Ra, kamu benar-benar datang".   "Upps... ",  aku  terkejut ,   "Kamu Her!, banyak berubah ya kamu".  "Kamu juga,  tambah....tapi tetap cantik kok,Heeeh", Ucapnya sambil mengacak rambutnya sendiri. 

Setelah cukup basa-basi,  dia mengajakku nenuju lGD,  langsung ke  sebuah kamar, tepatnya ruang ICU.  Tampak seorang wanita, yang tak berdaya dengan berbagai selang dan peralatan medis yang tak kutahu namanya.  Pipinya sangat tirus, badannya sangat kurus, kulitnya lebih hitam dari yang kulihat 30 tahun yang lalu.

 Ku sentuh tangannya. "Ibu, ini aku Rara, benarkah ibu ingin jumpa denganku? ", bisikku.  Perlahan matanya terbuka, aku dekatkan lagi wajahku.  "Ibu ini Rara".  Bibirnya nampak bergetar, tangan kanannya menyentuh pipiku.   "Ra.. Ra.... Inikah.... benarkah? ",  tanyanya lirih, hampir tak terdengar andai wajahku tak mendekat padanya.   "Maafkan aku, aku kena karma karena menghinamu dulu",  ucapnya terbata sambil menitikan bulir-bulir bening di sudut matanya.   "Aku sakit, harta kami habis, menantuku meminta cerai, karena ngak tahan hanya di rumah merawatku".  "Jika Gusti Allah mundut, aku ikhlas setelah dengar maafmu, Nak",   dengan susah payah Bliau bercerita.   Akupun berkaca-kaca, sambil mengusap-usap punggung telapak tangannya. 

Setelah menarik napas dalam-dalam,  ku berbisik padanya.   "Ibu tak ada yang perlu di maafkan,  aku dan keluargaku tak pernah mengingat cerita masa lalu".  "Sekarang ibu istirahat, lupakan semuanya kita mulai dari Nol lagi, insyaallah aku akan membawa Bapak dan Mamak kemari",  ucapku sambil memberi senyuman termanis yang kumiliki. "Terimakasih, kau sunguh baik hati aku menyesal menyia-nyiakanmu, namun aku bersyukur Gusti Allah Paringgi kesempatan meminta maafmu".   Ku usap air matanya,  Ia ngengam erat tanganku. "Istirahatlah  Bu,   Jangan banyak bicara lagi".  Ia menganguk dan memejamkan mata. 

Setelah beberapa saat.   "Nampaknya Ibu sudah tertidur,sebaiknya aku pamit, Insyaallah akan ku bawa keluargaku mennjenguk Ibu,secepatnya",  Pamitku pada Heri.    Aku beranjak keluar ruangan, Heri mengikutiku. 

"Sebentar Ra,mohon waktu lagi, sebentar saja". Sampai di halaman IGD, Heri menghentikan langkahku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun