Setali tiga uang, pengembangan sukuk hijau relevan dengan isu perubahan iklim yang sedang mengemuka saat ini. Sejalan pula dengan target pemerintah dalam mencapai inklusi keuangan sebesar 90 persen pada 2024.
Peran Bank Sentral
Sejatinya, Indonesia telah menjadi 'role-model' dengan menerbitkan sukuk hijau ritel pertama di dunia pada 2019.
Selanjutnya, mengacu pada KTT G20 tahun lalu, sukuk hijau akan terus didorong sebagai instrumen operasi moneter. Sebagai pemangku kebijakan moneter, Bank Indonesia setidaknya memiliki tiga peran krusial dalam pengembangan sukuk hijau.
Pertama, pengembangan sektor hijau. Bank Indonesia harus bahu membahu dengan pemerintah dalam mengembangkan sektor hijau.
Praktiknya, mempromosikan secara rutin industri hijau dalam sektor rewenable energy dan transportasi yang tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca.
Pemberian subsidi atau insentif kepada pelaku industri hijau juga bisa menjadi daya tawar. Harapannya, akan terjadi peningkatan proyek hijau yang dapat diinvestasikan. Pasar sukuk hijau yang berkembang secara luas akan menjadi 'magnet' bagi investor global.
Kedua, mengkomunikasikan penggunaan instrumen keuangan yang berkelanjutan. Faktanya, kesadaran masyarakat terhadap produk keuangan ini masih tergolong relatif rendah.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengedukasi masyarakat agar berinvestasi pada proyek yang tidak berdampak negatif terhadap lingkungan.
Ketiga, mendorong digitalisasi sukuk hijau dengan peran sebagai regulator sekaligus fasilitator dalam mengembangkan ekosistem financial technology.
Gayung bersambut, pada awal Mei 2023, Bank Indonesia bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menggelar Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) dengan tema "Synergy and Innovation of Digital Economy: Fostering Growth". Adanya event tersebut, diharapkan akan membuka jalan akselerasi digitalisasi sukuk hijau.