Indonesia Belum Sungguh-Sungguh Merdeka!
Oleh Hendy Adinata
74 tahun, sebuah angka yang apabila dimaknai pastilah sebuah kurun waktu yang tidak sebentar. Selama itu juga ada banyak nuansa yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Baik suka dan duka, baik isu-isu yang sifatnyanya sederhana sampai dengan yang sifatnya memecah belah bangsa pun sempat hadir dan membuat rakyat tidak tenang.
Dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, kata merdeka menjadi sebuah kata kunci yang sentral dan berpuncak pada tanggal 17 Agustus. Melihat kondisi nyata bangsa ini, sebuah pertanyaan terlontar, "Benarkah Indonesia telah merdeka?" Atau malah pernyataan "Indonesia Belum Sungguh-Sungguh Merdeka!"
Kata merdeka sering dipahami oleh masyarakat awam secara politis, yaitu terlepasnya suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain dan menjadi bangsa yang berdiri sendiri. Bangsa yang berdiri sendiri ini bebas untuk menentukan bagaimana hari depannya dan mau seperti apa ia.
Pengertian di atas tidak salah, penulis mengutip dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, leluasa, dapat berbuat sekehendak hati. Berdasarkan pengertian ini, jelas ada indikator dan syarat apabila suatu bangsa ingin dikatakan merdeka. Dan bila dikatakan lepas dari penjajah, maka bangsa Indonesia sudah dapat dikategorikan sebagai bangsa yang telah merdeka.
Namun, penulis memandang bahwa kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bukanlah kemerdekaan yang sesungguhnya. Bangsa ini hanya merasakan beberapa cuil dari apa yang disebut sebagai bangsa dengan keadaan yang merdeka.
Ada beberapa alasan mengapa bangsa Indonesia tidak sungguh-sungguh merdeka.
Baca juga: Doa dan Harapanku: Ingin Mengalami dan Menyaksikan Seabad Indonesia Merdeka
Pertama, masih ada banyak kaum intelektual yang meranggapan bahwa Indonesia akan lebih baik bila dijajah oleh Bangsa Inggris daripada Bangsa Belanda.
Jika pernyataan seperti ini terus digulirkan, maka tidak salah apabila penulis mengatakan bahwa bangsa ini sebagian besar masih bermental 'inlander' (sebutan ejekan bagi penduduk asli di Indonesia/pribumi oleh orang Belanda pada masa penjajahan Belanda) atau orang-orang budak.
Di dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, dituliskan bahwa orang Eropa menganggap manusia pribumi itu seperti monyet. Mereka menggunakan setelan jas pun hanyalah moyet yang berpakaian jas, mereka berbicara dan bergaya hidup seperti orang Eropa pun, mereka tetaplah monyet yang berbicara dan bergaya. Mereka bisa makan hidangan yang sama dengan orang Eropa pun mereka tetaplah monyet. Intinya monyet tetaplah monyet. Ungkapan yang merendahkan dan sangat menghina sebenarnya.
Pendeknya mental inlander tidak cocok dimiliki oleh seseorang yang statusnya adalah majikan dan orang-orang merdeka. Memang negara Singapur maju, negara Australia maju, tapi faktanya tidak semua bangsa jajahan Inggris maju, misalnya Zimbabwe dan Burma. Hal ini membantah anggapan yang menyatakan bahwa bangsa jajahan Inggris maju semua.
Bangsa yang maju pastilah bukan bangsa yang terjajah. Mental suka membanding-bandingkan ini jelas tidak sehat malah sebaliknya salah dan tidak patut untuk dipertahankan pada bangsa yang katanya 'sudah merdeka selama 74 tahun'.
Bukan penjajah yang membuat negara jajahan maju (rugi besar), melainkan bangsa yang dijajah itu sendiri yang membuat dirinya maju. Keinginan untuk merdeka membuat bangsa jajahan berjuang dan memanfaatkan kesempatan demi kesempatan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Harusnya visi seperti itu yang menjadi motor penggerak dalam memajukan bangsa, bukan yang terus membanding-bandingkan!
Kedua, banyak anak bangsa yang lebih cinta akan budaya luar daripada budaya yang ada di dalam bangsanya sendiri.Â
Ini merupakan krisis terbesar bangsa ini. Anggapan 'orang kuno/ketinggalan zaman', tidak diimbangi dengan kesadaran dan pemahaman mengapa budaya itu harus dilestarikan. Pemerintah dan orang-orang tua sesungguhnya pun tidak terlalu mengerti sehingga tidak dapat berbuat banyak.
Dalam industri hiburan, tiap orang bebas untuk memilih (sebagai penikmat seni) apa yang dianggapnya menarik. Namun, sangat miris ketika jumlah peminat tari kontemporer asal negara tertentu lebih banyak peminatnya dari tari klasik (tari etnis).
Dalam hal seni tari, masyarakat atau pemerintah lebih memilih mementaskan tarian kontemporer karena dianggap lebih mudah dan akrab disbanding tarian klasik yang kaku. Padahal seni tari klasik memiliki makna yang lebih dalam tentang kehidupan dan rasa syukur yang diungkapkan masyarakat lewat tarian, terutama kalangan ningrat.
Saat ini kita dapat jumpai di mana-mana, seorang etnis tertentu lebih akrab dengan budaya negara Korea Selatan, Jepang atau Amerika. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah dididik tentang budaya sendiri dan lebih banyak menerima budaya luar. Salah siapa?
Perasaan tidak tergantung kepada pihak lain tidak hadir di sektor ini. Masyarakat kita tidak cukup untuk hidup dengan jati dirinya sendiri sehingga masih 'tergantungan' (bukan terbuka, tapi tergantung) kepada sajian dari luar.
Tentu ada yang salah di sini. Budaya etnis sendiri makin terlupakan, sedangkan budaya bangsa lain makin berkembang tanpa kontrol dan lama-kelamaan budaya lokal tersebut akan punah. Bila tidak segera ditanggulangi, mungkin ketakutan ini akan menjadi kenyataan dalam 10 tahun yang akan datang.
Ketiga, masih adanya diskriminasi terhadap etnis/golongan tertentu di tanah air.
Penulis ambil contoh masyarakat etnis Tionghoa. Mungkin mereka yang paling mengerti akan hal ini.
Dalam kehidupan politik, masyarakat etnis Tionghoa selalu di jadikan kambing hitam, isu asing dan 'aseng' kerap kali digoreng dan nyata-nyatanya isu tersebut sangat laku untuk dibeli.
Dalam kehidupan sosial, etnis Tionghoa dianggap pelit, kikir, didekati kalau ada maunya dan dilabeli dengan stempel kafir oleh kalangan tertentu. Pendeknya mendapat perlakuan yang berbeda. Padahal yang pelit dan kikir tidak selalu mereka yang beretnis Tionghoa. Di luar sana sangat banyak yang lebih pelit dan kikir, apalagi ngebos.
Di ruang kantor penulis, dalam hal lagu misalnya, masyarakat tidak keberatan apabila lagu berbahasa India, Jepang, Korea, dan Inggris diputar. Namun akan menjadi berbeda dan aneh ketika lagu berbahasa Mandarin diputar, keadaan menjadi canggung sekali. Bahasa Mandarin menjadi olok-olokan dan etnis Tionghoa menjadi objek bullyan. Apa hal itu lucu?
Tentu hal di atas bagi sebagian masyarakat etnis Tionghoa tidak diambil pusing khususnya mereka yang terdidik, ada perasaan iba dan kasihan sebetulnya kepada pengolok-pengolok itu. Namun, bagi mereka yang kurang terdidik, bukankah olok-olok akan menjadi suatu kepahitan dan menimbulkan rasa sakit hati?
Penceramah muslim asal India, Zakir Naik, dikecam karena pernyataannya yang menyarankan untuk mengusur minoritas China dari negara Malaysia. Beliau menyatakan bila ingin mengusur dirinya yang merupakan 'tamu', minta tamu lama (China, Aseng, atau Tionghoao) harus pergi lebih dulu.
Mungkin sampai saat ini etnis Tionghoa masih dianggap sebagai 'tamu', tamu yang tidak tahu kapan akan pulang dan tamu yang tidak tahu diri karena tinggal terlalu lama di negara orang. Begitukah?
Baca juga: Pandemi dan Pesan Simbolik 75 Tahun Indonesia Merdeka
Keempat, banyak abdi negara yang sebenarnya 'bukan pengabdi negara'.
KKN menjadi salah satu contohnya. Contoh lainnya yang tidak KKN tapi semi KKN yaitu bermain dalam anggaran perjalanan dinas. Memanipulasi harga tiket penginapan dan memanipulasi biaya transportasi juga minyak merupakan contoh yang tidak dapat dibantah.
Perjalanan dinas fiktif, laporan tanpa dokumentasi, dan banyak lagi contoh lainnya. Sepertinya praktek semi KKN ini sudah menjadi Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM), layaknya tubuh seseorang yang sudah terkena virus HIV, tercemar semua!
Pernah suatu ketika seorang pejabat di sebuah lembaga saat menyampaikan materi berkata "Orang yang bekerja di instansi pemerintahan itu tulus bekerja untuk rakyat, kalau swasta belum tentu. Orang-orang swasta itu melihat sesuatu harus ada untungnya, tidak murni mereka bila bekerja untuk rakyat".
Setujukah dengan pernyataan pejabat di atas? Ada benarnya, namun banyak salahnya. Menurut penulis, terlalu lancang seseorang berbicara seperti itu. Pada kenyataannya banyak orang di sektor swasta (seca kuantitas) menolong sesama manusia dan bahkan berbuat lebih banyak daripada orang-orang yang ada di sektor pemerintahan.
Penyebutan atau penggolongan antara negeri dan swasta tidak boleh dipakai secara keliru. Penggolongan penyebutan ini harus dipakai secara bertanggung jawab.
Pelaku KKN yang kecil-kecilan banyak yang tertanggap oleh KPK, namun pelaku KKN yang kelas besar masih sulit untuk dijerat karena permainan mereka terlalu bagus. Mereka merupakan orang-orang berintelektual tinggi yang licin. Abdi negara yang sebenarnya bukanlah pengabdi negara. Mereka adalah pengabdi uang dan tidak melayani sepenuh hati. Mereka adalah mafia-mafia bertopeng birokrat.
Pelaku KKN kelas besar masih bisa bergerak, namun pelaku semi KKN adalah bagian yang sampai saat ini masih sangat leluasa dalam bergerak.
Selain KKN, praktek 'ngebos' oleh pimpinan yang tidak bisa bekerja namun punya jabatan masih sangat sering ditemui. Memiliki penyakit berat namun masih dipertahankan. Untuk yang satu ini penulis sangat terganggu, harusnya orang-orang yang menempati posisi strategis adalah mereka yang bisa bekerja, bukan mereka yang tidak bisa bekerja dan hadir di sana untuk mengamankan sebuah kepentingan!
Rekrutmen pimpinan dan staf haruslah bermartabat, bila sejak rekrutmen saja sudah tidak berasaskan jujur dan adil, bagaimana bisa berbicara bekerja untuk rakyat? Apakah rakyat bisa percaya dengan kata-kata pimpinan yang lahir dari rekrutmen yang tidak jujur? Kita akan menjawab tidak, namun siapa berani?
Bila bangsa ini ingin merdeka, maka setiap birokrasi harus lepas dari penjajahan.
Kelima, bangsa ini belum terlepas dari kebodohan.
Pemerintah berkata ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, namun perpustakaan di daerah tingkat kabupaten saja tidak terurus. Bangunan yang tidak terurus, tampilannya buruk, koleksi buku di dalam sana yang masih minim, pengurus di sana sendiri tidak melakukan banyak hal untuk menularkan minat baca kepada masyarakat selain mengoperasikan kendaraan bertuliskan 'Perpustakaan Keliling'. Miris memang, ingin mencerdaskan manusia yang banyak, namun satu bangunan perpustakaan saja tidak mencerminkan satu bangunan yang bila orang masuk ke dalamnya akan bertambah wawasannya.
Bagaimana masyarakat dapat lepas dari belenggu kebodohan, selamanya mereka akan terjajah dengan wawasan yang dangkal. Peran serta masyarakat (civil society) dalam roda pemerintahan masih minim karena masyarakat kurang terdidik wawasan kebangsaannya, yang terdidik adalah wawasan untuk menghasilkan uang.
Keenam, bangsa ini masih belum merdeka walau sudah banyak sarjana.
Rumah-rumah terpagar tinggi, masing-masing orang mengamankan diri dan harta bendanya karena belum aman dan belum terlindung.
Banyak lulusan perguruan tinggi tidak mencerminkan diri sebagai seorang sarjana, tidak mampu menulis dan memberi opini. Perkotaan dengan bangunan-bangunan yang buruk secara tampilan, seperti di sana tidak ada sarjana arsitek. Murid-murid sekolah tidak suka belajar dan membaca seperti di sekolah-sekolah tidak ada sarjana pendidikan (penulis ambil contoh dua saja).
Di Jakarta dan daerah lainnya banjir masih terjadi, padahal sudah banyak sarjana dan lulusan prodi penataan kota.
Mereka yang mahir dan punya kualitas sebaliknya menjadi blunder bagi negara. Para ahli hukum bermain menjadi mafia hukum dan tidak menjalankan fungsi pro bono (fungsi edukasi dan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu dengan tidak memungut biaya dari klien/dengan biaya pribadi). Akibatnya masyarakat takut mencari advokat, karena belum-belum sudah berpikir harus bayar mahal.
Skripsi sebagai tugas akhir mahasiswa hanya berisi kutipan dari para ahli dan minim opini. Ketika ditanya mengapa skripsi itu isinya kutipan semua, mana pendapat dari sang mahasiswa? Sang mahasiswa hanya menjawab, saya hanya 'menyimpulkan'.
Seharusnya level seorang sarjana adalah dapat berpikir mandiri, tidak tergantung pada definisi seseorang. Sarjana harus bisa menulis opini di surat-surat kabar, bisa menulis buku dan bisa membagikan ilmunya ketika berdiri di hadapan sekelompok masyarakat.
Dalam sebuah universitas terbuka, mahasiswa dibantu oleh pengurus dan tutornya dalam menjawab soal ujian. Ini terjadi dan dengan alasan 'kasihan mereka yang sudah bayar'. Apakah lulusan seperti ini ada hari depan? Atau hanya menambah jumlah pengangguran? Dengan kualitas seperti ini, sarjana seolah-olah merupakan barang obral dari perguruan tinggi saja.
Penutup
Penulis ingin membagikan isi dari alinea ke-4 Pembukaan UUD Tahun 1945. Di sana dikatakan bahwa:
Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Sudahkah alinea ke-4 Pembukaan UUD Tahun 1945 tersebut tercapai? Jawabannya belum dan masih sangat jauh.
Bangsa ini belumlah merdeka dengan sungguh. Di usia yang ke-74 tahun, sudah seharusnya bangsa Indonesia meninggalkan pola lama. Setiap masyarakat baik yang terdidik maupu terbelakang harus bisa mencintai bangsa ini dan mulai bertindak.
Penulis juga belum merdeka, karena hari ini masih harus menulis.
Mari kita bangun bangsa ini dengan sungguh-sungguh. Dirgahayu Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H