Dalam kehidupan sosial, etnis Tionghoa dianggap pelit, kikir, didekati kalau ada maunya dan dilabeli dengan stempel kafir oleh kalangan tertentu. Pendeknya mendapat perlakuan yang berbeda. Padahal yang pelit dan kikir tidak selalu mereka yang beretnis Tionghoa. Di luar sana sangat banyak yang lebih pelit dan kikir, apalagi ngebos.
Di ruang kantor penulis, dalam hal lagu misalnya, masyarakat tidak keberatan apabila lagu berbahasa India, Jepang, Korea, dan Inggris diputar. Namun akan menjadi berbeda dan aneh ketika lagu berbahasa Mandarin diputar, keadaan menjadi canggung sekali. Bahasa Mandarin menjadi olok-olokan dan etnis Tionghoa menjadi objek bullyan. Apa hal itu lucu?
Tentu hal di atas bagi sebagian masyarakat etnis Tionghoa tidak diambil pusing khususnya mereka yang terdidik, ada perasaan iba dan kasihan sebetulnya kepada pengolok-pengolok itu. Namun, bagi mereka yang kurang terdidik, bukankah olok-olok akan menjadi suatu kepahitan dan menimbulkan rasa sakit hati?
Penceramah muslim asal India, Zakir Naik, dikecam karena pernyataannya yang menyarankan untuk mengusur minoritas China dari negara Malaysia. Beliau menyatakan bila ingin mengusur dirinya yang merupakan 'tamu', minta tamu lama (China, Aseng, atau Tionghoao) harus pergi lebih dulu.
Mungkin sampai saat ini etnis Tionghoa masih dianggap sebagai 'tamu', tamu yang tidak tahu kapan akan pulang dan tamu yang tidak tahu diri karena tinggal terlalu lama di negara orang. Begitukah?
Baca juga: Pandemi dan Pesan Simbolik 75 Tahun Indonesia Merdeka
Keempat, banyak abdi negara yang sebenarnya 'bukan pengabdi negara'.
KKN menjadi salah satu contohnya. Contoh lainnya yang tidak KKN tapi semi KKN yaitu bermain dalam anggaran perjalanan dinas. Memanipulasi harga tiket penginapan dan memanipulasi biaya transportasi juga minyak merupakan contoh yang tidak dapat dibantah.
Perjalanan dinas fiktif, laporan tanpa dokumentasi, dan banyak lagi contoh lainnya. Sepertinya praktek semi KKN ini sudah menjadi Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM), layaknya tubuh seseorang yang sudah terkena virus HIV, tercemar semua!
Pernah suatu ketika seorang pejabat di sebuah lembaga saat menyampaikan materi berkata "Orang yang bekerja di instansi pemerintahan itu tulus bekerja untuk rakyat, kalau swasta belum tentu. Orang-orang swasta itu melihat sesuatu harus ada untungnya, tidak murni mereka bila bekerja untuk rakyat".
Setujukah dengan pernyataan pejabat di atas? Ada benarnya, namun banyak salahnya. Menurut penulis, terlalu lancang seseorang berbicara seperti itu. Pada kenyataannya banyak orang di sektor swasta (seca kuantitas) menolong sesama manusia dan bahkan berbuat lebih banyak daripada orang-orang yang ada di sektor pemerintahan.
Penyebutan atau penggolongan antara negeri dan swasta tidak boleh dipakai secara keliru. Penggolongan penyebutan ini harus dipakai secara bertanggung jawab.